Istihsab dalam Ushul Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN

Pada masa sekarang ini banyak sekali bermunculan masalah-masalah baru yang belum jelas dasar hukumnya, untuk itu diperlukan pemikiran dan penggalian hukum syari’at. Ushul fiqh dipandang sangant perlu, karena dari ushul fiqh tersebut dapat melahirkan hukum yang sesuai dengan masa sekarang ini.
Ushul fiqh merupakan salah satu kajian ilmu yang komplek, yang tidak mudah untuk dipelajari, karena itu kami memandang perlunya memahami Istishab, sebagai dasar untuk mempelajari ushul fiqh lebih mendalam.
Adapun sistematika penyusunan dan hal-hal yang akan pemakalah sajikan dalam bentuk makalah ini sebagai berikut:
    Pengertian Istishab
    Macam-macam Istishab
    Kehujjahan Istishab
    Pendapat ulama tentang Istishab
    Kesimpulan

Besar harapan makalah ringkas ini mudah-mudahan dapat bermanfaat khusus bagi diri saya pribadi dan umumnya bagi orang lain, dan tak lupa saya masih meminta kritik dan masukannya yang bersifat juang dari dosen pembimbing dan teman-teman seperjuangan guna memperbaiki hasil karya tulis saya yang mendatang. Akhirnya selamat membaca mohon maaf bila ada kesalahan.

BAB II
PEMBAHASAN

ISTISHAB SEBAGAI DALIL
1.    Pengertian Istishab
Istishab menurut etimologi berarti menyesuaikan sesuatu.  Sedangkan menurut terminologi ahli ushul fikih istishab adalah memberlakukan hukum suatu peristiwa sesuai dengan keadaannya semula (hukum asal), selama tidak ada dalil yang menentukan hukum lain yang berbeda dengan hukum asal tersebut.  Misalnya, orang yang sudah berwdhu kemudian ia meragukan apakah sudah batal atau belum, maka hukum yang masih berlaku disini adalah belum batal wudlunya selama belum terbukti dengan jelas bahwa ia sudah batal.
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nya dalam Al-qur’an dan As-sunnah,juga tidak ditemukan dalil syara’ yang mengitlak-kan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh, berdasarkan qaidah:

الأصل فى الأشياء الإباحة       

Yaitu ibarat suatu keadaan, pada saat Allah SWT. Menciptakan sesuatu yang ada dibumi secara keseluruhan. Maka selama tidak ada dalil yang menunjukan atas perubahan dari kebolehannya, keadaan sesuatu dihukumi dengan sifat asalnya.

Dan apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan makan dan minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak ditemukan dalam suatu dalil syara’ maka hukumnya adalah boleh. Kebolehan adalah pangkal (asal), meskipun tidak terdapata dalil yang menunjukan akan kebolehannya. Dengan demikian pangkal segala sesuatu itu adalah boleh. Allah Swt telah berfirman dalam kitab Al-Qur’an:
    •                
a.    Macam-macam Istishhab
Kalangan ahli ushul fikih membagi istishab sebagai berikut :

الآصل براءة الذمّة
1)    Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Atas dasar inilah maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada bukti bahwa ia telah berbuat salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh orang lain telah berbuat salah maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum tanpa adanya bukti yang jelas. Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل فى لأشياء الإباحة حتّى يدلّ الدليل على التحريم


2)    Istishab al-Ibahah al-Ashliyyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh). Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah muamalah. Misalnya mengenai makanan dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala sesuatu yang ada di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia, sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah ayat 29 sebagai berikut :
    •      
3)    Istishab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut
    Yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yng mencabutnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan itu tetap berlaku sampai terbukti adanya perceraian. Hal ini sesuai dengan kaidah :

الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن
4)    Istishab al-Washfi
    Yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang menunjukan air tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal. 

2.    Kehujjahan Istishab
Menurut Muhammad Abu Zahrah,  para ulama sepakat untuk menjadikan tiga macam istishab. Yang pertama sebagai hujjah dalam hukum Islam. Sedangkan istishab  macam yang keempat, yaitu istishab al-washfi, dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut :
1)    Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa istishab tersebut bisa dijadikan landasan secara mutlak, baik dalam mempertahahnkan hak yang sudah ada maupun dalam memunculkan hak yang baru. Misalnya, dalam kasus orang hilang menurut istishab masih dianggap hidup. Dalam hal ini berlaku baginya segala hal bagi orang yang hidup, seperti harta dan istrinya masih dianggap miliknya. Dan jika ada ahlli warisnya yang wafat maka dia berhak mendapat harta warisan sesuai dengan kadar bagiannya.
2)    Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa istishab al-washfi  hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, dan tidak bisa untuk memunculkan hak yang dianggap baru.
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul berkata,”Sesunggguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selam tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dari pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan bagi mereka.
Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa mengetahui ketiadaannya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan.  Maka kepemilikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut.
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri  sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja,  dianggap tetap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari orang yang terkena tunuttan utang piutang atau ketetapan apa saj yang dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya asal sesuatu itu adalh ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Istishab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat antara lain sebagai berikut, ”Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:

الأصل فى الأشياء الإباحة       
    Pendapat yang dianggap benar adalah Istishab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishab itu adalah tiada lain menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.




3.    Pendapat Ulama tentang Istishab
Ulama Hanafiyah menetapkan bajwa Istishab itu merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Iatishab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau yng tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.












BAB III
KESIMPULAN

Istishab dari segi esensinya bukanlah merupakan dalil fiqh, bukan pula merupakan sumber istinbath hukum. Akan tetapi pada dasarnya, adalah pemakaian dalil yang berdiri sendiri dan penetapan hukum-hukum yang sudah positif, yang tidak mengalami perubahan. Istishab dipakai sebagai sumber hukum sekiranya sekiranya disitu tidak ditemukan dalil lain. Oleh karena itu, para pemakai dalil istishab yang sedikit menggunakan sumber hukum yang lain, memperluas dalil ini. Begitu pula mereka yang menolak qiyas banyak menggunakan istishab dalam istidlal mereka. Madzhab Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah juga banyak menggunakan dalil ini , dan menetapkan hukum-hukm dalam banyak kasus yang tidak ditetapkan oleh Jimhur Ulama yang menggunakan qiyas. Setiap kasus yang ditetapkan oleh Jumhur dengan qiyas, diselesaikan oleh madzhab Dzahiriyah dengan memakai dalil istishab. Imam Syafi’I yang tidak menggunakan dalil Istihsan lebih banyak menggunakan istishab dibanding ulama madzhab Hanafi dan Maliki. Karena setiap kasus yang ketentuan hukumnya bisa dijawab dengan memakai dalil ‘Urf atau Istihsan, oleh Imam Syafi’i diselesaikan dengan Istishab.






Daftar Pustaka
Saiban, Kasuwi. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Malang:
Al Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh Al Islami, Beirut : Dar Al Fikr 1986
Muhammad, Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus 1999
Khalaf, Abd Al Wahab. Ilmu Ushul Al Fiqh. 1977, Cet ke-11
Syafi’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Pustaka Setia, Bandung 1999










0 Komentar