Kitab suci al-Qur’an merupakan kitab yang berisi berbagai petunjuk dan peraturan yang disyari’atkan dan al-Qur’an memiliki sebab dan hikmah yang bermacam. Dalam ayat-ayat al-Qur’an memiliki maksud-maksud tertentu yang diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan, turunnya ayat juga bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu. Susunan ayat-ayat dan surah-surahnya ditertibkan sesuai dengan yang terdapat dalam lauh al-mahfudh, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat satu dengan ayat yang lain dan antara surah satu dengan surah yang lain.
Oleh karena itu, timbul cabang ilmu dari ulumul Qur’an yang khusus membahas persesuaian-persesuaian tersebut, yaitu yang disebut ilmu munasabah atau ilmu tanaasubil ayati wassuwari. Orang yang pertama kali menulis cabang ilmu ini adalah Imam Abu Bakar an-Naisaburi (324 H). Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin al-Buqai yang menulis kitab “Nudzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari” dan as-Suyuthi yang menulis kitab “Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi Tanaasubil Aayati Wassuwari” serta M. Shodiq al-Ghimari yang mengarang kitab “Jawahirul Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”.
A. Pengertian Munasabah
Menurut bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya.
Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lainnya.
Karena itu sebagian pengarang menamakan ilmu ini dengan “ilmu tanasubil ayati was suwari”, yang artinya juga sama, yaitu ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lain.
Menurut istilah, ilmu munasabah / ilmu tanasubil ayati was suwari ini ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian al-Qur’an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus / antara abstrak dan konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma’lunya, ataukah antara rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi.
Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan parallel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhsish (pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti kebahagiaan setelah amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan al-Qur’an dan menjangkau sinar petunjuknya.
B. Dasar-dasar Pemikiran Adanya Munasabah Diantara Ayat-ayat / Surat-surat al-Qur’an
Asy-Syatibi menjelaskan bahwa satu surat , walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat , tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
Mengenai hubungan antara suatu ayat atau surat dengan ayat atau surat lain (sebelum atau sesudahnya) tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surat-surat yang bersangkutan. Ilmu al-Qur’an mengenai masalah ini disebut :
علم تناسب الأيات والسّور.
Ilmu ini dapat berperan mengganti ilmu asbabul nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tetapi kita bisa mengetahui adanya relevansi ayat itu dengan yang lainnya. Sehingga di kalangan ulama timbul masalah mana yang didahulukan antara mengetahui sebab turunnya ayat dengan mengetahui hubungan antara ayat itu dengan yang lainnya.
Tentang masalah ilmu munasabah di kalangan ulama’ terjadi perbedaan pendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya dengan ayat atau surat lain. Ada pula yang menyatakan bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Akan tetapi sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Ada pula yang berpendapat bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat yang lain.
Muhammad ‘Izah Daruzah mengatakan bahwa semula orang menyangka antara satu ayat atau surat dengan ayat atau surat yang lain tidak memiliki hubungan antara keduanya. Tetapi kenyataannya, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat itu ada hubungan antara satu dengan yang lain.
Sebagaimana contoh surat al-Fath, ada hubungannya dengan surat sebelumnya (surat al-Qital/Muhammad) dan dengan surat sesudahnya (al-Hujurat). Surat al-Fath diturunkan sesudah Nabi mencapai perdamaian Hudaibiyah dengan musyrikin Makkah dan umat Islam mendapatkan kemenangan setelah didahului dengan peperangan dengan musyrikin Arab, maka jelaslah ada hubungannya dengan surat sebelumnya (al-Qital/Muhammad). Setelah kemenangan di tangan Islam dan keamanan serta ketertiban masyarakat sudah mantap, maka turunlah surat al-Hujurat yang mengatur bagaimana seharusnya sikap umat Islam. Mengenai contoh antara ayat satu dengan ayat yang lain dapat dilihat pada uraian-uraian berikut:
Firman Allah dalam surat al-Ghasyiyah ayat 17-20
Ÿxsùr& tbrã�ÝàYtƒ ’n<Î) È@Î/M}$# y#ø‹Ÿ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ ’n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#ø‹Ÿ2 ôMyèÏùâ‘ ÇÊÑÈ ’n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#ø‹x. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ ’n<Î)ur ÇÚö‘F{$# y#ø‹x. ôMysÏÜß™ ÇËÉÈ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20)
Dalam ayat tersebut kelihatan tidak ada relevansinya dan perpaduan pikiran pada ayat tersebut. Sebab meninggikan langit terpisah dari menciptakan unta. Dan menegakkan gunung terpisah dari meninggikan langit dan juga menghamparkan bumi terputus dari menegakkan gunung. Akan tetapi al-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan 1:45, telah menunjukkan ada munasabah antara ayat-ayat itu. Pada waktu turun al-Qur’an masyarakat badui yang masih primitif, binatang unta adalah sangat vital untuk kehidupan mereka dan unta-unta itu membutuhkan air untuk minum. Oleh sebab itu, mereka sering memandang ke langit untuk mengharapkan hujan turun. Mereka juga memerlukan tempat tinggal untuk berlindung dan tiada lain adalah di gunung-gunung, kemudian mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk kelangsungan hidupnya.
Sebagaimana keterangan di atas bahwasanya mencari munasabah atau relevansi antara satu ayat dengan ayat yang lain tidaklah begitu sulit. Sebab pembicaraan kita sedikit yang tidak bisa dipahami dengan satu ayat saja, sehingga perlu ada ayat-ayat yang mengiringinya untuk menjelaskan maksud ayat yang terdahulu. Berbeda dengan mencari hubungan antara surat satu dengan surat yang lain terlihat adanya kesulitan. Oleh karena itu, hanya sedikit ulama tafsir yang mengungkapkan adanya munasabah atau relevansi antara surat satu dengan surat yang lainnya. Mereka cukup mencari-cari adanya dua lafadz yang serupa atau adanya dua ayat yang sebanding dalam kedua surat yang berurutan letaknya baik di permulaan, di pertengahan maupun di penghabisan surat .
Di bawah ini adalah beberapa contoh surat yang ada munasabah / relevansi.
1. Permulaan surat al-Baqarah
$O!9# y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu‘ ¡ Ïm‹Ïù ¡
“Alif laam miin. Kitab (Al Qur’an) Ini tidak ada keraguan padanya”.
Di dalam ayat ini terdapat isyarah kepada lafaz yang ada di dalam surat al-Fatihah ayat ke enam.
$tRω÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”
Di dalam surat ini seolah-olah ketika mereka mohon petunjuk ke jalan yang lurus yang mereka mohon itu adalah al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah jalan yang lurus dan tidak ada keragu-raguan di dalamnya seperti surat yang pertama.
2. Surat al-Isra’ yang dimulai dengan tasbih ada munasabah atau relevansi dengan surat al-Kahfi yang dimulai dengan tahmid. Sebab tasbih biasanya didahului dengan tahmid.
3. Surat al-Kautsar merupakan imbangan dari surat al-Ma’un. Sebab pada surat al-Ma’un terdapat tanda-tanda atau sifat-sifat orang munafik sebanyak empat, yaitu kikir, tidak sembahyang, melakukan shalat dengan riya’ (show) dan enggan mengeluarkan zakat. Maka di dalam surat al-Kautsar :
!$¯RÎ) š�»oYø‹sÜôãr& t�rOöqs3ø9$# ÇÊÈ
“Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak”. (QS. Al-Kautsar: 1)
Sebagai imbangan sifat kikir, dan lafadz فصل (maka shalatlah kamu) sebagai bandingan dengan meninggalkan shalat dan lafadz لربك (untuk keridhaan Allah bukan untuk manusia). Sebagai imbangan dengan sifat riya’, kemudian lafadz وانحر (berkurbanlah) sebagai imbangan sifat ingin memberi zakat dan yang dimaksud dengan وانحر ialah bersedekah dengan daging kurban.
Pencarian-pencarian ini yang dilakukan oleh ulama tafsir tidak sia-sia, sebab tidak sedikit manfaatnya bagi umat Islam yang bermaksud mendalami al-Qur’an. Berkah ketekunan ulama tafsir yang luar biasa itu mereka sendiri puas dan juga memberi kepuasan umat Islam. al-Qur’an mengandung macam hukum dan peraturan dan karena sebab-sebab yang berbeda-beda maka tersusunlah ayat-ayat al-Qur’an dengan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya dalam tiap-tiap surat . Sehingga apabila kita bisa mengetahui adanya munasabah/relevansi, maka kita tidak perlu mencari sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an satu persatu.
C. Macam-macam Munasabah
Munasabah / persesuaian / persambungan / kaitan bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya.
1. Macam-macam sifat munasabah
Jika ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu :
a. Persesuaian yang nyata (dzahirul irtibath) / persesuaian yang tampak jelas yaitu yang bersambungan atau persesuaian antara bagian yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat. Karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali. Sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain, maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu itu sebagai penguat, penafsir, penyambung, penjelasan, pengecualian / pembatasan dari ayat yang lain. Sehingga ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surat al-Isra’
z`»ysö6ß™ ü“Ï%©!$# 3“uŽó r& ¾Ínωö7yèÎ/ Wxø‹s9 šÆÏiB ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#t�ysø9$# ’n<Î) ωÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$#
“Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha”.
Ayat tersebut menerangkan Isra Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, ayat 2 surat al-Isra yang berbunyi :
$oY÷�s?#uäur Óy›qãB |=»tGÅ3ø9$# çm»oYù=yèy_ur “W‰èd ûÓÍ_t6Ïj9 Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î)
“Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami jadikan Kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil”.
Ayat tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa as. Persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua Nabi/Rasul tersebut.
b. Persambungan tidak jelas (khafiyyul istibadh) samarnya persesuaian antara pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat atau surat itu sendiri-sendiri baik karena ayat-ayat yang satu itu diathofkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surat al-Baqarah dengan ayat 190 surat al-Baqarah. Ayat 189 surat al-Baqarah tersebut berbunyi :
š�tRqè=t«ó¡o„ Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }‘Ïd àM‹Ï%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”.
Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit/tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.
Sedangkan ayat 190 surat al-Baqarah berbunyi :
(#qè=ÏG»s%ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# tûïÏ%©!$# óOä3tRqè=ÏG»s)ムŸwur (#ÿr߉tG÷ès? 4
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas”.
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya / hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut yaitu, ayat 189 surat al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 surat al-Baqarah menerangkan: sebenarnya, waktu itu haji umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
2. Macam-macam materi munasabah
Ditinjau dari segi materinya, maka munasabah itu ada 2 macam sebagai berikut :
a. Munasabah antar ayat yaitu munasabah / persambungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Munasabah itu bisa berbentuk persambungan-persambungan sebagai berikut :
1) Diathofkan ayat yang satu kepada ayat yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surat Ali Imran :
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $Yè‹ÏJy_ Ÿwur (#qè%§�xÿs? 4
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”.
Dengan surat Ali Imran ayat 102 :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qà)®?$# ©!$# ¨,ym ¾ÏmÏ?$s)è? Ÿwur ¨ûèòqèÿsC žwÎ) NçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡•B ÇÊÉËÈ
0 Komentar