PENDAHULUAN
Sejak empat belas abad yang silam, al-Qur’an telah menginformasikan bahwa ajaran Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah sebagai rahmat bagi semesta alam (lihat al-Qur’an surat al-An’am ayat: 107). Sayyid Qutb, Ibn Jarir al-Thabary dan Ahmad Mustafa al-Maraghy, sebagai mufassir berpendapat bahwa maksud rahmat ini adalah dapat di terima oleh seluruh umat manusia, apakah mereka dari kalangan mukmin maupun mereka yang bukan mukmin. Dalam arti lain bahwa, rahmatan li al-‘alamin bisa bermakna bahwa ajaran Islam sejak diturunkannya telah memiliki karakteristik sebagai ajaran yang abadi, sempurna dan universal.
Kebanyakan kalangan muslim percaya bahwa salah satu aspek penting untuk mengetahui keuniversalan ajaran Islam tersebut adalah adanya dorongan untuk senantiasa mencari ilmu pengetahuan dimana saja dan kapan saja umat Islam berada. Dengan adanya dorongan dari ayat-ayat al-Qur’an maupun dalam al-Hadits yang menganjurkan umat Islam agar mencari ilmu pengetahuan inilah yang menyebabkan lahirnya beberapa disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam, dimana salah satu di antaranya adalah lahirnya ilmu tasawuf yang akan dibahas dalam isi makalah ini. Ilmu tasawuf sesungguhnya ialah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam yang utama, selain ilmu Tauhid (Ushuluddin)dan ilmu Fiqih. Yang mana dalam ilmu Tauhid bertugas membahas tentang soal-soal I’tiqad (kepercayaan) seperti I’tiqad (kepercayaan) mengenai hal Ketuhanan, kerasulan, hari ahir, ketentuan qadla’ dan qadar Allah dan sebagainya. Kemudian dalam ilmu Fiqih adalah lebih membahas tentang hal-hal ibadah yang bersifat dhahir (lahir), seperti soal shalat, puasa, zakat, ibadah haji dan sebagainya. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf lebih membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak, budi pekerti, amalan ibadah yang bertalian dengan masalah bathin (hati), seperti: cara-cara ihlash,khusu’, taubat, tawadhu’, sabar, redhla (kerelaan), tawakkal dan yang lainnya.
Sesuai dengan beban tugas yang diberikan kepada penulis untuk membahas tentang Bidang Studi Ilmu Tasawuf, maka dalam makalah ini sengaja di batasi uraian pengembangnnya hanya sekitar : Sejarah perkembangan Tasawuf yang meliputi: Tentang pengertian tasawuf, asal usul tasawuf, tokoh-tokoh tasawuf dan pokok-pokok ajarannya.
SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF
Pada dasarnya sejarah awal perkembangan tasawuf, adalah sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi saw. Hal ini dapat dilihat bagaimana peristiwa dan prilaku kehidupan Nabi saw. sebelum diangkat menjadi rasul. Beliau berhari-hari pernah berkhalwat di Gua Hira’, terutama pada bulan ramadlan. Disana Nabi saw lebih banyak berdzikir dan bertafakkur dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan diri Nabi saw. di Gua Hira’ inilah yang merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Dalam aspek lain dari sisi prikehidupan Nabi saw. adalah diyakini merupakan benih-benih timbulnya tasawuf, dimana dalam kehidupan sehari-hari Nabi saw. sangatlah sederhana, zuhud dan tak pernah terpesona oleh kemewahan duniawi. Hal itu di kuatkan oleh salah satu do’a Nabi saw. , beliau pernah bermohon yang artinya: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin”. (HR. al-Tirmizi, Ibn Majah, dan al-Hakim).
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya (periode kedua setelah periode Nabi saw.) ialah periode tasawuf pada masa “Khulafaurrasyidin” yakni masa kehidupan empat sahabat besar setelah Nabi saw. yaitu pada masa Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, dan masa Ali ibn Abi Thalib. Kehidupan para khulafaurrasyidin tersebut selalu dijadikan acuan oleh para sufi, karena para sahabat diyakini sebagai murid langsung Nabi saw. dalam segala perbuatan dan ucapan mereka jelas senantiasa mengikuti tata cara kehidupan Nabi saw. terutama yang bertalian dengan keteguhan imannya, ketaqwaannya, kezuhudan, budi pekerti luhur dan yang lainnya.Salah satu contoh sahabat yang dianggap mempunyai kemiripan hidup seperti Nabi saw. adalah sahabat Umar Ibn al-Khattab, beliau terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, ia terkenal kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan pernah suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah (Amirul Mukminin), ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.
Selain mengacu pada kehidupan keempat khalifah di atas, para ahli sufi juga merujuk pada kehidupan para “Ahlus Suffah” yaitu para sahabat Nabi saw. yang tinggal di masjid nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin namun senantiasa teguh dalam memegang akidah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Diantara para Ahlus Suffah itu ialah,sahabat Abu Hurairah, Abu Zar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Muadz bin Jabal, Imran bin Husain, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman dan lain-lain.
Perkembangan tasawuf selanjutnya adalah masuk pada periode generasi setelah sahabat yakni pada masa kehidupan para “Tabi’in (sekitar abad ke-1 dan abad ke-2 Hijriyah), pada periode ini munculah kelompok(gerakan) tasawuf yang memisahkan diri terhadap konflik-konflik politik yang di lancarkan oleh dinasti bani Umayyah yang sedang berkuasa guna menumpas lawan-lawan politiknya. Gerakan tasawuf tersebut diberi nama “Tawwabun” (kaum Tawwabin), yaitu mereka yang membersihkan diri dari apa yang pernah mereka lakukan dan yang telah mereka dukung atas kasus terbunuhnya Imam Husain bin Ali di Karbala oleh pasukan Muawiyyah, dan mereka bertaubat dengan cara mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabin ini dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang ahir kehidupannya terbunuh di Kuffah pada tahun 68 .H.H H.
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya adalah memasuki abad ke-3 dan abad ke-4 Hijriyah. Pada masa ini terdapat dua kecenderungan para tokoh tasawuf. Pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang di dasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang biasa di sebut dengan “Tasawuf Sunni” dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti : Haris al-Muhasibi (Basrah), Imam al-Ghazali, Sirri as-Saqafi, Abu Ali ar-Ruzbani dan lain-lain.Kelompok kedua, adalah yang cenderung pada kajian tasawuf filsafat, dikatakan demikian karena tasawuf telah berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Adapun tokoh-tokoh tasawuf filsafat yang terkenal pada saat itu diantaranya: Abu Yazid al-Bustami (W.260 H.) dengan konsep tasawuf filsafatnya yang terkenal yakni tentang “Fana dan Baqa” (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi), serta “Ittihad” (Bersatunya hamba dengan Tuhan). Adapun puncak perkembangan tasawuf filsafat pada abad ke-3 dan abad ke-4, adalah pada masa Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H ), ia merupakan tokoh yang dianggap paling kontroversial dalam sejarah tasawuf, sehingga ahirnya harus menemui ajalnya di taing gantungan.
Periode sejarah perkembangan tasawuf pada abad ke-5 Hijriyah terutama tasawuf filsafat telah mengalami kemunduran luar biasa, hal itu akibat meninggalnya al-Hallaj sebagai tokoh utamanya. Dan pada periode ini perkembangan sejarah tasawuf sunni mengalami kejayaan pesat, hal itu ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh tasawuf sunni seperti, Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H.), seorang penentang tasawuf filsafat yang paling keras yang telah disebarluaskan oleh al-Bustani dan al-Hallaj. Dan puncak kecemerlangan tasawuf suni ini adalah pada masa al-Ghazali, yang karena keluasan ilmu dan kedudukannya yang tinggi, hingga ia mendapatkan suatu gelar kehormatan sebagai “Hujjatul Islam”.
Sejarah perkembangan tasawuf selanjutnya adalah memasuki periode abad ke-7, dimana tasawuf filsafat mengalami kemajuan kembali yang dimunculkan oleh tokoh terkenal yakni Ibnu Arabi. Ibnu Arabi telah berhasil menemukan teori baru dalam bidang tasawuf filsafat yakni tenyang “Wahdatul Wujud”, yang banyak diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Ibnu Sab’in, Jalaluddin ar-Rumi dan sebagainya. Kecuali itu pada abad ke-6 dan abad ke-7 ini pula muncul beberapa aliran tasawuf amali, yang ditandai lahirnya beberapa tokoh tarikat besar seperti: Tarikat Qadiriyah oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Bagdad (470-561 H.), Tarikat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’I di Irak (W.578 H.) dan sebagainya. Dan sesudah abad ke-7 inilah tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau toh ada hal itu hanyalah sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya.
PENGERTIAN TASAWUF
Secara etimologi (dari segi bahasa), sedikitnya ada 7 macam asal kata Tasawuf, diantaranya: (1) Tasawuf berasal dari kata Saff, yang artinya barisan dalam shalat berjamaah. Alasannya adalah bahwa seorang sufi itu memiliki iman yang kuat dan selalu memilih sah terdepan dalam shalat berjamaah. (2) Tasawuf berasal dari kata Saufanah, yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Saudi Arabia. Pengambilan kata ini karena kebanyakan orang-orang sufi itu memakai pakaian berbulu dan hidup dalam kegersangan fisik. (3) Tasawuf berasal dari kata Suffah, artinya pelana kuda yang biasa digunakan oleh para sahabat Nabi saw. yang miskin untuk bantal tidur diatas bangku batu yang terdapat di samping masjid nabawi (Madinah). (4) Tasawuf (Sufi) adalah merujuk pada kata Safwah, yang berarti sesuatu yang terpilih atau yang terbaik. Karena diyakini bahwa seorang sufi itu biasa memandang dirinya sebagai orang pilihan atau oarang yang terbaik. (5) Tasawuf juga berasal dari akar kata Safa atau Safw, artinya bersih atau suci, maksudnya seorang sufi itu kehidupannya di arahkan pada pensucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. (6) Tasawuf yang dalam bahasa Yunani berasal dari kata Theosophi (Theo=Tuhan, dan Sophos=Hikmah), artinya hikmat Ketuhanan, dengan alasan karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah Ketuhanan. (7) Dan Tasawuf juga berasal dari akar kata Suf, artinya Wol atau kain kasar dari bulu domba. Disebut demikian , karena orang-orang sufi itu kebanyakan memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang, sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan yang biasa dilawankan dengan pakaian sutra yang biasa di pakai oleh orang-orang kaya.
Adapun pengertian Tasawuf secara Terminologi (menurut arti istilah), terdapat beberapa pendapat dari para tokoh, diantaranya: (1)Menurut Abu Yazid al-Bustami secara luas mendefinisikan bahwa, tasawuf itu mencakup tiga aspek penting, yakni melepaskan diri dari perangai yang tercela, menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan mendekatkan diri kepada Tuhan. (2) Ma’ruf al-Karkhi (W.200 H.) mendefinisikan bahwa, Tasawuf ialah mengambil hakikat dan tidak tamak dari apa yang ada dalam genggaman tangan makhluk. (3) Hamka, memberi istilah bahwa, Tasawuf adalah membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau alam, supaya dia mudah menuju pada Allah Swt. (4) Adapun yang dimaksud dengan istilah sufi, menurut Sahl at-Tustari ialah orang yang bersih dari kekeruhan , penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah Swt. Dan baginya tiada beda antara harga emas dengan pasir.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa yang di maksud dengan tasawuf ialah suatu ketekunan dalam beribadah, persembahan yang berhubungan langsung dengan Allah (sufi), menjauhkan diri dari hal kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang di buru oleh kebanyakan manusia, seperti kelezatan dan harta benda dan selalu menghindarkan diri dari makhluk di dalam berkhalwat (mengasingkan diri) untuk beribadah.
ASAL-USUL TASAWUF
Teori mengenai asal timbulnya tasawuf atau munculnya aliran sufisme dalam Islam terdapat beberapa perbedaan, diantaranya:
- Adanya pengaruh Kristen, yakni dengan faham menjahui dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara. Dalam literatur Arab terdapat tulisan tentang “Rahib” yang mengasingkan diri di padang pasir Saudi Arabia, lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilah yang berlalu, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan. Hampir ada kesamaan dengan Zahid dan Sufi dalam Islam, dimana mereka meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, hal itu diyakini adalah atas pengaruh cara hidup para rahib Kristen tersebut.
- Pengaruh Falsafah Mistik Pythagoras. Falsafah Mistik Pythagoras berpendapat, bahwa roh manusia itu bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh, kesenangan roh yang sebenarnya adalah di alam samawi. Manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan kehidupan materi yaitu dengan jalan Zuhud, untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, inilah menurut sebagian orang yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
- Falsafah Emanasi Plotinus. Falsafah Emanasi Plotinus mengatakan bahwa, wujud ini memancar dari Zat Tuhan yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya kealam materi, roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ketempat asalnya roh harus lebih dulu di bersihkan. Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan Tuhan.
- Ajaran Budha Dengan Faham Nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham Fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
- Ajaran Hinduisme. Ajaran Hindu yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.
- Menurut Harun Nasution. Teori-teori yang menyatakan bahwa ajaran tasawuf itu di pengaruhi oleh unsur-unsur asing, sebagaimana uraian keterangan di atas,adalah sulit dibuktikan kebenarannya. Sebab dalam ajaran Islam sendiri terdapat ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang menggambarkan tentang dekatnya manusia dengan Tuhannya. Diantaranya terdapat dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 186 menunjukkan, yang artinya: “Dan apabila hamba-hamba Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat”. Dalam ayat yang lain seperti al-Qur’an Surat Qaff ayat 16, juga menyebutkan yang artinya: “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.
TOKOH-TOKOH TASAWUF DAN POKOK-POKOK AJARANNYA
Dalam kajian ilmu tasawuf, telah lahir beberapa ulama dalam bidang Tasawuf, mereka diantaranya yang sangat terkenal ialah:
- Syeikh Hasan Basri (wafat 110 H.)
- Syeikhah Rabiatul Adawiyah (wafat 135 H.)
- Syeikh Sufyan Tsuri (wafat 161 H.)
- Syeikh Ibrahim bin Adham (wafat 161 H.)
- Syaikh Syaqiq al-Balakhi (wafat 195 H.)
- Syeikh Ma’ruf al-Kharkhi (wafat 200 H.)
- Syeikh Siri Siqthi (wafat 257 H.)
- Syeikh Dzun Nun al-Mishri (wafat 245 H.)
- Syeikh Juneid al-Bagdadi (wafat 297 H.)
- Syeikh Abu Yazid al-Busthami (wafat…H.)
- Syeikh Abu Thalib al-Makki (wafat 386 H.)
- Syeikh al-Qusyairi (wafat 465 H.)
- Hujatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (wafat 505 H.)
- Syeikh Husain bin Mansur al-Hallaj (wafat 309 H.)
- 15.Syeikh Ibnu Arabi dan masih banyak yang lainnya.
Adapun pokok-pokok ajaran dari para tokoh tersebut di atas, dalam makalah ini hanya akan di kutip dari sebagaian pendapat saja, diantaranya:
- Sufyan as Sauri, seorang tokoh sufi dari kalangan tabi’in yang terkenal kealimannya, mendasarkan pokok ajaran tasawufnya berdasarkan zuhud dan wara’. Zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sedang Wara’ dalam konsep tasawuf artinya, selalu menjauhi hal-hal yang tidak baik (meninggalkan segala hal yang di dalamnya terdapat “Subhat” atau keragu-raguan).
- Dzun Nun al-Mishri, adalah disamping seorang sufi, ia juga seorang ahli kimia. Dalam tasawuf ia dikenal sebagai peletak dasar ajaran tentang “makrifat”, menurutnya pengetahuan tentang Tuhan itu mempunyai tiga tingkatan, yaitu: (1) Pengetahauan awam, yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan perantaraan ucapan kalimat Syahadat. (2) Pengetahuan Ulama, yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan alat logika dan akal. (3) Pengetahuan sufi (‘arif), yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan hati sanubari. Pengetahuan sufi ini di sebut juga dengan “makrifat”, yaitu kemampuan hati sanubari untuk melihat Tuhan.
- Hasan al-Basri, seorang sufi yang pernah belajar tentang ilmu kerohanian kepada sahabat Ali Bin Abi Thalib, adalah seorang yang paling masyhur dalam konsep zuhudnya. Dimana ia mendasarkan konsep zuhudnya itu dengan “Khauf” yaitu takut dengan kemurkaan Allah, dan “Raja’” yaitu senantiasa mengharapkan karunia Allah Swt. Oleh sebab itu al-Basri pernah mengatakan : Jauhilah dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya mematikan.
- Rabiatul Adawiyah, seorang anak keluarga miskin yang hidup sebagai hamba sahaya, kemudian menjalani hidup zuhud, hari-harinya dihabiskan diatas tikar sajadah. Yang mendorong Rabiah Adawiyah berlaku demikian, karena mempunyai keyakinan bahwa bersatunya hamba dengan Tuhannya adalah terletak pada “Mahabbah” atau rasa cinta yang benar kepada Tuhan. Sehingga tak ada yang tersisa lagi waktu dan ruang hatinya selain rasa cinta kepada Allah Swt. Konsep Mahabbah (cinta) Rabiah Adawiyah ini tergambar dalam salah satu syairnya yang terkenal, seperti: “Tuhanku, jika ku puja Engkau karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika ku puja Engkau karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari padanya. Tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dari diriku”.
- Abu Yazid al-Bustami, seorang tokoh sufi filsafat yang paling berani, hal ini seperti tercermin dalam konsep ajarannya tentang “As-Sakr” (mabuk Ketuhanan), “fana” dan “Baka” (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi) dan konsep ajarannya tentang “Ittihad” (bersatunya dengan Tuhan). Ia pernah mengucapkan kata-kata terkenal dalam dunia tasawuf seperti, : “Sesungguhnya Aku adalah Allah, Tiada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku”. Ucapan demikian biasa di sebut “Syatahat” (bentuk tunggal dari kata, Syatah) yaitu ucapan seorang sufi ketika ia dalam keadaan “Ekstase” (mabuk Ketuhanan).
- Abu Hamid al-Ghazali (Imam al-Ghazali), seorang yang mendapatkan gelar “Hujjatul Islam” karena keluasan ilmunya, mendasarkan pokok ajaran tasawufnya pada bentuk maqamat dan ahwal, melalui tahapan-tahapan latihan jiwa dan rohaniah tertentu, sehingga seorang akan sampai pada tingkatan “fana”, “tauhid” , “makrifat” dan “sa’adah” (kebahagiaan abadi). Dalam konsep makrifat, al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang yang mempunyai makrifat tentang Tuhan, adalah “arif”, dimana mereka tidak akan mengatakan dalam ucapannya itu : “Ya Allah atau Yaa Rabb”, karena memanggil Tuhan dengan cara yang demikian berarti Tuhan itu jauh berada dibelakang tabir, pada hal seorang yang sedang duduk berhadapan dengan temannya, mereka tidaklah akan memanggil temannya itu. Dan makrifat bagi al-Ghazali juga bisa sampai kepada memandang wajah Allah Swt.
- Husain bin Mansur al-Hallaj, seorang yang mengembangkan konsep tasawuf dengan ajaran tentang “al-Hulul”, yaitu faham yang menyebutkan bahwa Tuhan itu memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu di lenyapkan. Bagi al-Hallaj bahwa, didalam diri manusia itu terdapat sifat-sifat kemanusiaan (an-nasut) dan sifat-sifat Ketuhanan (al-Lahut), bila manusia telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya dengan jalan fana, maka yang tinggal di dalam dirinya hanyalah sifat-sifat Ketuhanan. Ketika itulah Tuhan akan masuk di dalam diri manusia yang di sebut “al-Hulul”. Teori lain yang di kembangkan al-Hallaj ialah teori tentang “Hakikat al-Muhammadiyah” (Nur Muhammad), Dimana Nur Muhammad adalah tidak mengalami kematian, karena bersifat qadim, sebagaimana qadimnya Zat Tuhan.
- Ibnu Arabi, seorang tokoh tasawuf filsafat yang mendasarkan konsep tasawufnya tentang “Wahdatul Wujud”, yakni suatu teori yang memandamng bahwa wujud mutlak dan hakiki itu adalah Allah Swt. Sedangkan wujud “ka’inat” (alam) ini hanyalah wujud “majazi” (kiasan)yang bergantung pada wujud Tuhan. Dengan demikian pada dasarnya wujud yang sebenarnya adalah satu, yaitu wujud Allah Swt.Fenomena alam yang serba ganda ini hanya merupakan wadah tajali (penampakan lahir dari) Allah Swt.
0 Komentar