Ijtihad Pada Masa Tabi'in

PENDAHULUAN

Dalam bidang fiqh  seperti  juga  dalam  bidang-bidang  yang lain   masa  Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat Nabi dan masa tampilnya imam-imam  madzhab.  Di  satu  pihak masa  itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat Nabi, di lain pihak pada  masa  itu  juga  mulai  disaksikan munculnya  tokoh-tokoh  dengan sikap yang secara nisbi lebih mandiri, dengan penampilan kesarjanaan  di  bidang  keahlian yang lebih mengarah pada spesialisasi.
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim  ditangan  para Sahabat  Nabi).  Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan masa  Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut" yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap  sebagai masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam,dan ketiga masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut  salaf (Klasik).
       
            Walaupun  begitu  tidaklah  berarti  masa generasi kedua ini bebas   dari   persoalan   dan   kerumitan.   Justru   sifat transisional  masa  ini  ditandai  berbagai gejala kekacauan pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari  sisa  dan kelanjutan  berbagai  konflik politik, terutama yang terjadi sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III.  Tumbuhnya partisan-partisan  politik  yang  berjuang  keras memperoleh pengakuan dan legitimasi bagi  klaim-klaim  mereka,  seperti Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian  itu  antara  lain menjadi  sebab  bagi  berkecamuknya praktek pemalsuan hadits atau penuturan dan cerita tentang  Nabi  dan  para  sahabat. Melukiskan   keadaan   yang  ruwet  itu  Musthafa  al-Siba'i mengetengahkan keterangan di bawah ini.
       
           Tahun  empat  puluh  Hijriah  adalah  batas  pemisah  antara kemurnian   Sunnah  dan  kebebasannya  dari  kebohongan  dan pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya  Sunnah  itu serta    digunakannya   sebagai   alat   melayani   berbagai kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya setelah  perselisihan  antara  'Ali  dan  Mu'awiyah  berubah menjadi peperangan dan yang  banyak  menumpahkan  darah  dan mengorbankan   jiwa,   serta   setelah   orang-orang  Muslim terpecah-pecah menjadi  berbagai  kelompok.  Sebagian  besar orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh  dendam  terhadap 'Ali  dan  Mu'awiyah  sekaligus  setelah  mereka itu sendiri sebelumnya  merupakan  pendukung  'Ali   yang   bersemangat. Setelah   'Ali   r.a.   wafat   dan   Mu'awiyah  habis  masa kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi  (Ahl al-Bayt)  bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan  taat pada Dinasti Umayyah.


















PEMBAHASAN

A.    Ijtihad Pada Masa Tabi'in

Menurut ahli seorang anggota majma' al-buhust al-islamiyah universitas Al-Azhar, ijtihad yang terjadi pada masa tabi'in adalah ijtihad mutlak yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan seorang mujtahid terlebih dahulu dan yang secara langsung diarahkan membahas, meneliti, dan memahami yang benar.

Ikatan hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat seorang sahabat nabi yang diduga bersandar kepada sunah yang karena beberapa sebab sunnah itu tak muncul sebelumnya kemudian pada zaman tabi'in itu lebih-lebih zaman tabi'in al-tabi'in, suasana lebih mengizinkan untuk muncul misalnya perubahan politik, dan perpindahan kekuasaan dari kaum umawi ke kaum 'Abbasy, telah membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan. Meskipun sesungguhnya kaum 'Abbasy, telah membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan. Meskipun sesungguhnya kaum 'Abbasy banyak meneruskan wawasan hukum keagamaan kaum umawi sebagai pendukung Ahlusunnah waljamaah.

Kaaum abbasi lebih banyak dan lebih tulus dan perhatian mereka pada masalah-masalah keagamaan daripada kaum umawi, sikap berpegangan kepada syari'a ini bagi kaum abbasi berarti pengokohan legitimatis politik dan kekuasaan mereka (dibandingkan dengan kedudukan kaum umawi, dan dihadapkan kepada oposisi kaum syi'a dan khawarij). Tetapi disamping itu sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi perkembangan kajian agama dan ini pada urutannya memberi peluang lebih baik pada para sarjana untuk menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan riwayat dan hadist usaha secara resmi pembukuan sunnah (yang kemudian menjadi sejajar dengan hadist), telah mulai tumbuh sejak 'Umar ibn 'Abd-al'Aziz menjelang akhir kekuasaan umawi. Usaha ini memperoleh dorongan baru, dan merangsang tumbuhnya berbagai aliran pemikiran keagamaan, baikyang bersangkutan dengan bidang politik, teologi, dan hukum, maupun yang lain.

B.    Wawasan Hukum Zaman Tabi'in

Antara Islam sebagai agama dan hukumterdapat kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal di Madinah nabi SAW. Yang melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kokoh pada periode yang pertama itu.

Dasar-dasar itu memang tak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika maka sejak nabi di Makkah mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep sebagai berikut :
a.    Tentang harta yang halal dan yang haram
b.    Keharusan menghormati hak milih sah orang lain
c.    Mengurus harta anak yatim secara benar
d.    Perlindungan terhadap kaum wanita dan janda
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan nabi itu berhasil digunakan atau diamalkan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik imperium Islam yang meliputi daerah antara nil sampai amodaria, dan kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung liberia sampai lembah sungai indus.

Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar bahwa letak kekuasaan Islam sifatnya yang akomodatif terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat (.(صحيح لكل الزمان والمكان

Penetapan hukum (Al-tasyri') Islam merupakan merupakan salah satu berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci Islam dan yang memberi gmabaran segi ilmiah dari tugas suci tersebut. Penetapan hukum keagamaan murni seperti hukum ibadah tak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Baik dari kitab ataupun sunnah, atau dengan suatu ijtihad yang keluar dari lingkaran tugas penyampaian (tabligh) dan penjelasan (tabyin) tidaklah nabi berbicara atas kemauan sendiri, tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya seperti firman Allah (QS. Al-Najm/53:34).
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita mampu menyimpulkan bahwasannya ijtihad yang terjadi pada masa para tabi'in adalah ijtihad yang bersifat mutlak yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa adanya ikatan pendapat seorang mujtahid terlebih dahulu dan pada saat itu suasana yang nampak di kalangan tabi'in lebih mengizinkan untuk muncul beberapa problematika diantaranya perubahan suatu politik dan perpindahan kekuasaan dari kaum umawi ke kaum abbasy.

0 Komentar