Sejarah Hadits Prakodifikasi Pada Masa Nabi Saw,Sahabat dan Tabi’in

Sejarah  Hadits Prakodifikasi Pada Masa Nabi Saw, Pada masa Sahabat dan Tabi’in
Oleh:

Dosen Pembimbing: Ust. Damanhuri MA

I.                   PENDAHULUAN

Apabila kita menggunakan kata sejarah, kita secara naluri berfikir masa lampau, ini adalah sebuah kekeliruan. Sebab sejarah sebenarnya adalah sebuah jembatan yang menghubungkan masa lampau dan masa kini dan sekaligus menunjukan arah masa depan.

Hadist adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prakodifikasi. Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah prakodifikasi hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin.

Tiada gading yang tak retak, begitulah pepatah mengatakan. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya.

II.                PEMBAHASAN

A.    Sejarah  Hadits Prakodifikasi Pada Masa Nabi Saw, Pada masa Sahabat dan Tabi’in

1.      Hadist pada Masa Rasulullah SAW

Membicarakan hadits pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadits.

Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam. Ajaj al-khotib menjelaskan, bahwa proses terjadinya hadis bisa jadi timbul dari berbagai sisi yakni ada tiga sisi:

a.       terjadi pada nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain.misalnya, suatu ketika nabi nabi melewati pedagang makanan dalam karung, beliau memasukkan tangan beliau ternyata basah, lantas beliau bersabda:

ليس منا من غش

Tidak tergolong umatku ( umat yang mendapat petunjuk) manusia yang menipu.(HR. Ahmad )

b.      terjadi pada sahabat atau kaum muslimin karena mengalami suatu problem masalah kemudian bertanya kepada rosulullah. Banyak sekali hadis yang timbul disebabkan dari pertanyaan seorang sahabat, kemudian menjawab dan memberi penjelasan-penjelasan.

c.       Segala amal perbuatan dan tindakan nabi dalam melaksanakan syari’ah islamiah baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat, kemudian mereka sampaikan kepada para tabi’in[2].

2. Cara Rasulullah menyampaikan hadist

Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau  selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia.[3] Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rosulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir (ikhadz)[4]

3.      Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist

       Perhatian sahabat terhadap hadis sangatlah tinggi terutama diberbagai majlis nabi atau tempat untuk menyampaikan risalah islamiah seperti masjid, halaqoh ilmu, dan berbagai tempat yang dijanjikan rosulullaoh. Perhatian mereka sangat tinggi untuk diingat dan disampaikan kepada sahabat yang tidak bisa hadir. Dan juga sahabat yang tidak bisa hadir sangat antusias sekali dengan mencari informasi tentang apa yang disampaikan oleh rosululloh.

       Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits  bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena  radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.[5]

Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan Al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan Al-Quran.[6]

4. Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW

Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana Al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua factor ;

a.      para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang.

b.      karena adanya larangan menulis hadis nabi.

Abu Sa’id Al-Khudry berkata bahwa Rosululloh SAW bersabda:

لا تكتبوا عني شيٌا الا القران ومن كتب شيُا فليمحه

“Janganlah menulis sesuatu dariku selain Al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya”. ( H.R Muslim )[7]

Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan Al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan Al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.

5. Aktifitas Menulis Hadist

Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rosulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi SAW.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis hadist  menjelang akhir kehidupan Rosulullah.[8]

Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist  yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:


 لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.

” Jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry).
        Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist,diantaranya:

a.       Dari Abu Hurairah bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat Anshor menyaksikan hadis Rosululloh tetapi tidak hafal, kemudian bertanya kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian mengadu pada Rosululloh tentang hafalannya yang minim tersebu. maka Nabi SAW. bersabda


استع على حفظك بيميىنك

“ Bantulah hafalanmu dengan tanganmu ”. (HR. At-Tirmidzi)

b.      Dari Abu Hurairah pada saat Nabi menaklukkan Mekkah,beliau berdiri dan berkhotbah, maka berdirilah seorang laki-laki yaman yang bernama Abu Syah dan bertanya: ” Tuliskanlah aku”.? Maka Rosululloh bersabda:

اكتبوا لابي شاة وفي رواية احمد :اكتبوا له

Tuliskanlah untuk Abi Syah (HR.Al- Bukhori dan Abu Dawud). Dalam riwayat Imam Ahmad: Tuliskanlah dia.

Dari hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:

a.       Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.

b.      Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.

c.       Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.[9]

2) Hadist Pada Masa Sahabat

Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah periode setelah wafatnya Rasulullah Saw., yang biasa kita kenal dengan masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H. sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.

a.      Keadaan hadis dimasa Sahabat

Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya:


عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّه

”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku ” (H.R Malik).[10]

Setelah nabi Muhammad SAW wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadis, karena banyak problem yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelomok orang yang murtad, timbulnya peperangan ini mengakibatkan banyak penghafal Al-Qur’an gugur dimedan peperangan sehingga jumlah orang yang hafal Al-Qur’an bertambah sedikit dan juga banyak orang asing yang dating kearab dan mereka tidak tau bahasa arab, sehingga takut Al-Qur’an tercampur aduk dengan hadis sehingga para sahabat berkonsentrasi bersama Abu Bakar untuk membukukan hadis.

Imam Hakim meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad dari siti ‘Aisyah ra., ia berkata:” Ayahku telah mengumpulkan 500 hadist dari Nabi Saw., setiap malam ia mengulang-ulang beberapa kali…, setelah itu ia membakarnya. [11]

Umar bin Khatab ra. Pernah ingin mengumpulkan dan menulis hadist, beliau bermusyawarah dengan para sahabat Rasul lainya dan mereka menyetujui ide tersebut. Kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Namun, rupanya Allah belum menghendaki.[12]Kemudian ia berkata:” Aku ingin menulis sunnah, setelah itu aku ingat kaum sebelum kamu sekalian menulis kitab, mereka memfokuskan pada tulisan itu, kemudian ia meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur kkitab Allah (al-Quran) dengan yang lain selamanaya.[13]

b.      Periwayatan hadis

Penyampaian periwayatan dilakukan secara lisan dan hanya jika benar diperlukan saja yaitu ketika uma islam benar-benar memerlukan penjelasan hokum. Kedua khoifah diatas menerima hadis dari orang perorang dengan sarat disertai saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika disertai dengan sumpah disamping saksi. Oleh karena itu, pada masa khulafa Ar-Rosyidin ini disebut sebagai masa pembatasan periwayatan ( taqlil Ar- riwayah ).

Pada mulanya para sahabat melarang untuk menulis hadis akan tetapi setelah mereka merasa telah tidak ada yang dikawatirkan tentang campur aduknya Al-Qur’an maka sedikit banyak sahabat telah menulis hadis tapi dibuat sebagai simpanan, seperti sahabat Abdulloh bin mas’ud, Ali bin Abi Tholib, Hasan bin Ali, Muawiyah, Abdulloh Bin Abbas, Abdulloh bin Umar, Anas bin Malik dan lain- lain.[14]



3. Hadits pada masa tabi’in

          Tabi’in telah belajar kepada para sahabat, sehingga ia banyak mengetahui hadist Rasulullah dari para guru-guru mereka (sahabat), disamping itu mereka mengetahui para sahabat tentang keengganan menulis hadist dan sahabat memperbolehkannya, sehingga karakter tersebut diwariskan kepada para tabi’in besar, sehingga masa ini belum ada hadist yang terkodifikasikan.[15]sehingga pada abad ke-4 maka para sahabat banyak yang memulai untuk pengkodifikasian hadis, sehingga pada abad ini dikenal dengan masa kejayaan sunnah.



III.                         SIMPULAN

Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya, berikut uraiannya.
A.  Hadist Pada Masa Rasul SAW
Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu:

1.      Cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka seperti pasar, dan lain-lain.

2.      Pemeliharaan hadist melalui hafalan dan tulisan.

B.     Hadist Pada Masa Sahabat

Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :

1.      Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.

2.      Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.

3.      Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat.
C.  Hadist pada masa tabi’in       

Pada masa ini juga kejadianya seperti pada masa sahabat, sehingga belum ada hadist yang terkodifikasi. karena para tabi’in mengangggap bahwa nabi masih tidak secara jelas menyuruh untuk menulis hadis, sehingga ap yang dilakukan para tabi’n sama dengan para sahabat.

          Jadi para sahabat maupun tabi’in sama – sama mengandalkan hafalan, tetapi masih ada yang menulis hadis tapi itu Cuma sebagai perantara saja, yaitu untuk menunjang hafalan tapi setelah itu disuruh membakarnya.begitulalh perjalanan prakodifikasi baik pada masa sahabat maupun tabi’in tidak banyak perubahan, merka masih ,mengandalkan hafalan.

Daftar Rujukan

Imam Malik. Muatha. Maktabah Syamilah. Vol 2 hlm. 900.

Syuhbah M.M Abu Syuhbah. 1999.Kutubus Sittah.Terjemahan oleh Ahmad Usman. Surabaya: Pustaka     Progressif.

Muhammad Ajjaj al-Khatib. 1998. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Kairo: Maktabah wahbah.

Mushtafa as-Suba’i. 2003 Assunnah. Kairo: Dar-Assalam.
Mana’ al-Qathan. 1989. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Maktabah Wahbah.

Subhi al-Shalih. 1997.Ulum al-hadist wa Mushtalahuhu. Beirut: Dar al-Ilmi Li al-malayin.



[1] Makalah ini disuguhkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Takhrij al-Hadist tahun ajaran 2011/2012.

[2] Ajaj Al-khotib, as-sunnah.. hal 44-48

[3] Mushtafa al-Suba’i. Assunnah. Kairo: Dar-Assalam. 2003. Hlm. 66.

[4] Mushtafa al-Suba’i. Assunnah. Kairo: Dar-Assalam. 2003. Hlm. 66.

[5] Ibid..

[6] Mana’ al-Qathan. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Maktabah Wahbah. 1989. hlm. 106

[7] An-nawawi, shohih Muslim bi Syarh.., jilid 9, kitab Al-‘Ilm no17,hal 316

[8] Imam al-Turmudzi meriwayatkan  bahwasanya Sa’ad bin Ubaidah al-Anshari memiliki shahifah (lembaran) hadist dan sunah Rasulullah, dan imam Bukhari meriwayatkan bahwa shahifah (lembaran) milik  Abdullah bin Abi ‘aufa yang telah ditulis oleh sendiri melalui bacaan-bacaan Sahabat. Tsamurah bin Jundub (w. 60 H) ia telah mengkoleksi banyak hadist dalam salinan besar yang diwariskan kepada anaknya, Sulaiman.Sahabat Jabir (w. 78 H) juga memiliki shahifah, diriwayatkan oleh imam Muslim, shahifah tersebut berisi tentang manasik haji, isi sebagian hadist-hadistnya waktu Rasulullah khutbah pada waktu haji wada’. Tabi’in yang memiliki shahifah yaitu Qatadah bin Sudaisi (w. 118 H). Shahifah yang terkenal pada masa Nabi Saw. yaitu “Ashahifah al-Shadiqah” yang telah ditulis  dari Rasullullah Saw. kita ketahui bahwa hadist telah ditulis dan dicatat pada zaman Nabi Saw., sahabat, tabi’in tapi belum terkodifikasi secara lengkap.Subhi al-Shalih. Ulum al-hadist wa Mushtalahuhu. Beirut: Dar al-Ilmi Li al-malayin. 1997. hlm. 23-30.

[9] Muhammad Ajjaj al-Khatib. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Kairo: Maktabah wahbah. 1998.hlm. 303-309.

Lihat Mana’ al-Qathan. Op. Cit. halaman 106.

[10] Imam Malik. Muatha. Maktabah Syamilah. Vol 2 hlm. 900.

[11] Muhammad Ajjaj al-Khatib. Op. Cit. halaman 309-310..

[12] M.M Abu Syuhbah. Kutubus Sittah.Terjemahan oleh Ahmad Usman. 1999. Surabaya: Pustaka Progressif. Hlm. 23.

[13] Muhammad Ajjaj al-Khatib. Loc. Cit.

[14] Al-,azhami, dirosat fi Al-HadisAn-nabawi wa tarikhtadwiih,juz 1, hal. 92-167

[15] Tabi’in besar yang melarang penulisan hadist diantarnaya, ‘Ubaidah bin ‘amar al-Salmany al-Mawardi (w. 72 H.), Ibrahim bin Yazid al-Tamimi (w. 92 H.), Jabir bin Zaid ( w.93 H.) dan Ibrahim al-Nakha’i (w. 96 H.), larangan tersebut  karena kehati-hatian mereka. Ibid. halaman 322.

0 Komentar