Penelitian Hadits Paranormal

BAB III
ANALISIS DATA
A.    Analisis Parsial
1.    Redaksi hadits
Seperti yang telah disebutkan di muka bahwa hadis yang akan diteliti adalah tentang hadis paranormal yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal. Setelah dilakukan penelusuran ke dalam kitab-kitab hadis standar, ditemukan 3 sanad, yaitu:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِى نَافِعٌ عَنْ صَفِيَّةَ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ أَتَى عَرَّافاً فَصَدَّقَةُ بِمَا يَقُولُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ يَوْماً ».(رواه أحمد)
Artinya: Abdullah telah bercerita kepada kami, ayahku telah bercerita kepada kami, Yahya bin Said telah bercerita kepada kami dari Ubaidillah Naïf` telah bercerita kepada kami dari Shofiah dari sebagian istri-istri Nabi Muhammad SAW dari Nabi Muhammad SAW, Nabi SAW bersabda: barang siapa yang pergi ke dukun/paranormal kemudian ia mempercayai perkataannya, maka shalat orang itu tidak diterima selama 40 (empat puluh) hari.   (HR. Ahmad).
SKEMA SANAD HADITS
Nabi Muhammad SAW
Sebagian istiri Nabi SAW
Shofiyah binti Ubaid
Nafi`Abu Abdillah
Ubaid bin Amr
Yahya bin Said
Ahmad bin Muhammad
Abdullah bin Ahmad

2.    Para Periwayat Dan Biografinya
a.    Nama: Aisyah binti Abu Bakr, Hafsah, bin Umar bin Khattab, Ummu Salamah.
b.    Nama: Shofiyah binti Ubaid bin Mas`ud
Tempat tinggal : Madinah
Tabaqat : 2, dari kibari at- tabi`in
Guru: Aisyah binti Abu Bakr, Hafsah, bin Umar bin Khattab, Ummu Salamah, dan Qasyim bin Muhammad bin Abu Bakr.
Murid : Nafi` Maula Ibnu Umar Musa bin Aqabah, Abdullah bin Dinar, Abdullah bin Syafwan bin Umayyah, Salim bin Abdillah bin Umar, Humaid bin Qaiyis al-A`raj dll.
Biografi:
Nama lengkapnya adalah Shofiah binti Abi Ubaid bin Mas`ud al-Assaqafiyah al-Madiniyah, sedangkan nama ibunya ialah Atiqah binti Asid bin Abi Ais bin umayyah.  ia menikah dengan Abdullah bin Umar bin Khattab pada masa khalifah kedua ini, dan ia juga saudara Mukhtar bin Abi Ubaid.
Pernikahannya dengan Abdullah bin umar, ia mempunyai putra-putri yang bernama Abu Bakar, abu Ubaidah, Waqid, Abdullah, Amr, Hafsyah dan Saudah . 
 
c.    Nama: Nafi`Abu Abdillah
Tempat tinggal: Madinah
Tabaqat: 3 wustha minat tabi`in

Guru: Shafiyah binti Ubaid, Ummu Salamah, Aisyah, Abu Haurairah, Abi Said al-Hudri, Mas`ruh, Mugirah bin Hakim, Abi Salamah bin Abdir Rahman. Dll.

Murid: Ubaid bin Amr al-Amri, Abdul Malik bin Jarij, Atha` al-Khurrasani, Abdul Karim Abu Umayyah al- Busro, Abdul Aziz bin Abi Ruwad, Amr bin Nafi`, Aqil bin Khalid dll.
Biografi :
Nafi’ lengkapnya bernama Nafi’ bin Hurmuz (ada yang mengatakan bin Kawus), seorang ahli fiqh. Nama julukannya adalah “Abu Abdillah al-Madini”. Abdullah bin Umar menemukannya dalam suatu peperangan ia senang akan kegemaran Nafi’ terhadap ilmu dan selalu menyiapkan diri dengan baik untuk meriwayatkan hadits. Ia berkata :“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada kita dengan Nafi”.
Nafi’ benar benar ikhlas dalam berkhidmat kepada Ibnu Umar majikannya selama 30 tahun. Sebagian ulama berpendapat bahwa Nafi’ berasal dari Naisabur, sedangkan ulama lain mengatakan ia dari Kabul. Adapun menurut Yahya bin Ma’in:” Nafi adalah seorang Dalam yang gagap bicara”.
Imam Malik bin Anas termasuk murid Nafi’ bahkan muridnya yang paling tetap, menurut an-Nasa’I, mengenai gurunya ini. Imam Malik berkata:” Apabila aku mendengan hadits dari Nafi’, dari Ibnu Umar, aku tidak perduli lagi, sekalipun aku tidak mendengarnya dari orang lain. Dari sini Imam Bukhari menetapkan bahwa sanad paling shahih adalah Malik dari Nafi’, dari Ibnu Umar.
     Nafi’ tidak hanya meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar tetapi juga mempunyai riwayat-riwayat yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri, Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Hafshah secara Mursal.
Yang meriwayatkan hadits dari dia ialah : Abdullah bin Dinnar, Az-Zuhri, al-Auza’I, Ibnu Ishaq, Shalin bin Kaisan, dan Ibnu Juraij.
Ibnu Umar sangat menyukainya, ada orang yang berani membayar 30.000 dinar untuk mendapatkan Nafi’ kemudian dimerdekakannya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirimnya ke Mesir dengan tugas mengajarkan hadits dan pengetahuan agama kepada penduduk negeri itu. Kemudian ia wafat pada tahun 117 H.
d.    Nama: Ubaid bin Amr bin Hafsyah bin Asyim bin Umar bin Khattab
Tempat tinggal: Madinah
Tabaqat: 5 syigarut tabi`in
Guru: Nafi` Abu Abdillah, Hisam bin Urwah, Abi Zubair al-Makki, Waqid bin Salamah, Muhammad bin Munkair, Muhammad bin Yahya bin Hibban, Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri, Amr bin Amr, Isa bin Abdillah Binanis al-Nashari dll.

Murid: Yahya bin Said al-Qutthan, Abu Khalid al-Ahmar, Abu Malik al-Janbi, Abu Isha` al-Fazari Yazid bin Zari`, Wahib bin Khalid, Hasyim bin Basyir, al-Lais bin Saad dll.
Biografi:
Nama aslinya adalah Ubaid bin Amr bin Hafsyah bin Asyim bin Umar bin Khattab al-Quraisy. Ia lahir pada tahun 101 H dan wafat pada tahun 180 H. Ia saudaranya Abdullah, Asyim dan Abu Bakar.

      Ia juga termasuk salah satu ulama besar di Madinah pada saat itu, dalam periwayatan haditsnya, kebanyak rijalul hadits berkomentar bahwa dia adalah  seorang perowi yang siqat.    

e.    Nama; Yahya bin Said bin Furuh al-Qutthan at-Tamimi,
Tempat tinggal: Basrah
Tabaqat: 9 atba` at-tabi`in
Lahir: 120 H.
Wafat: 198
Guru:  Ubaid bin Amr bin Hafsyah bin Asyim bin Umar bin Khattab, Usman bin As-wad, Atha` bin Saib, Abdul Malik bin Abi Sulaiman, Abi Malik Ubaidillah bin Akhnas, Ali bin Mubarak, Auf bin A`rabi, Awam bin Hamzah al-Mazani dll.

Murid:  Ahmad bin Hambal, Basyar bin Hilal as-Syawaf, Ibrahim bin Muhammad at-Taimi, Ahmad bin Abi Raja` al-Harwi, Sahal bin Shalih al-Anthaqi, Sufyan as-Sauri dll.
Biografi:
Nama sebenarnya adalah Abu Sa’id Yahya bin Sa’id bin Farukh at Tamimi al-Bashry al-Qaththan, seorang ulama dari kalangan Tabi’it Tabi’in ia dilahirkan pada tahun 127 H. dan wafat pada tahun 198 H.
Ia menerima hadits dari Yahya bin Sa’id al-Anshary, Ibnu Juraij, Sa;id bin Arubah, ats Tsaury, Ibnu Uyainah, Malik, Syu’bah dan lain lainnya.
Diantara murid murinya adalah Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madainy, Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Mandie, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dan lain lainnya.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa ia ulama besar di bidang hadits, kuat hapalannya, luas ilmunya serta dikenal dengan orang yang shalih, Hal ini diakui kebanyakan ulama hadits.
Ahmad bin HAmbal berkata,” Belum pernah aku melihat ulama yang sebanding dengan Yahya dalam segala kedudukannya”.
Ibnu Manjuwaih berkata,” Yahya al-Qaththan adalah penghulu ilmu, baik dalam bidang hadist maupun dalam bidang fiqih, dia yang merintis menulis hadist bagi ulama di Iraq dan ia tekun membahas tentang perawi perawi hadist yang tsiqah”.

f.    Nama: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad as-Saibani
Tempat lahir: Bagdad
Tabaqat: 10
Lahir;  164 H
Wafat; 241
Guru: Yahya bin Said al-Qutthan, Yazid bin Harun, Abi Qasyim bin Abi Zanad, Abi Bakr bin Iyas, Ya`la bin Ubaid at-Thanafasi, Muhammad bin Abi A`di, Muad bin Muad al-Anbari, Nasyar Ibnu Bab dll.

Murid: Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Abbas bin Muhammad ad-Dauri, Thahir bin Muhammad bin Hasan al-Tamimi, Raja` bin Marja al-Hafid, Hambal bin Ishak bin Hambal dll.
Biografi:
Nasab dan Kelahirannya
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
g.    Nama: Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad as- Saibani
Tabaqat: 12
Tempat tinggal; Bagdad
Wafat: 290 H.
Guru: Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Ibrahim bin al-Hajjaj as-Syami, Hijaj bin Sair, Ishak bin Musa al-Anshar, Ja`far bin Muhammad bin Fudail, Sarij bin Yunus dll.

Murid; Ahmad bin Salman an-Nijaj, Isha` bin Ahmad al-Kadhi, al-Khudri bin Musanna al-Kindi, an-Nasai, Yahya bin Muhammad Shaid, Abdillah bin Sulaiman al-Fami dll.
Biografi:
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad as- Saibani, menurut Abu Ali bin Showaf  ia lahir pada tahun 213 H dan wafat pada tahun 209 H.  Ia putra sekaligus murid Imam Ahmad bin Hambal yang telah mendapat berbagai ilmu dari sang ayah.

Ia adalah seorang hafid hadits serta termasuk salah satu tokoh pembeharu di Iraq ,  oleh karena itu kebanyakkan ulama jarah wa taddil mengatakan bahwa ia adalah seorang perowi yang siqat.


3.    Uji Kethiqahan Para Periwayat

Nama: Aisyah Binti Abu Bakr, Hafsah bin Umar bin Khattab, Ummu Salamah.

Karena nama-nama di atas termasuk dalam katagori tingkatan sahabat, maka tidak diragukan lagi akan ketsiqatannya. Oleh karena itu diperlukan untuk dijelaskan lebih lanjut. 

Shofiyah binti Ubaid bin Mas`ud

Ahmad bin Abdullah al-Ajali berkata : ثقة
Ibnu Hibban bekata : ثقة
Menurut sebagian atau qil:  لها إدراك

Nafi`Abu Abdillah

Ibnu Hajar  : ثقة ثبت
Muhammad bin Said  : كان ثقة كثير الحديث
Ahmad bin Abdullah al-Ajali : ثقة
Imam an-Nasa`i  : ثقة
Ahmad bin Shalih al-Misri  :كان حافظا




Ubaid bin Amr bin Hafsyah bin Asyim bin Umar bin Khattab
Ahmad : ثقة
Ibnu Hajar :  صدوق
Abu Daud dan Imam an-Nasai : ثقة
Ibrahim bin Abdillah bin al-Junaidi : ليس به بأس
Ibnu Hibban  : يخطىء كثيرا

Yahya bin Said bin Furuh al-Qutthan at-Tamimi

Ibnu Hajar :  ثقة متقن حافظ إمام قدوة
Muhammad bin Said  : كان ثقة حجة
Ad-Daruqutni : حافظ
Abu Hatim  : ثقة حافظ
Imam an-Nasai  : ثقة ثبت مرضى

Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad as-Saibani
Ibnu Hajar : إمام ثقة حافظ فقيه حجة
As-sulami :ثقة 
Di dalam kitab taqribu at-tahdib : ثقة حافظ
Al-khatib :  كان ثقة ثبتا فهما
An-nasa`I  : ثقة
Ibnu Said  : ثقة ثبت صدوق كثير الحديث

Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad as- Saibani

Ibnu Hajar  :    ثقة
Ad-Daruqutni : ثقة
Abu Bakar al-Khatib  : كان ثقة ثبت,اماما فهما
Abu abdir rahaman  : ثقة
Abu Bakar al-Khilal  : كان عبد الله رجلا صالحا ، صادق اللهجة ، كثير الحياء

4.     Uji Persambungan Sanad

Metode untuk mengetahui muttashil dan tidaknya hadis tentang paranormal yang ditakhrij oleh Imam Ahmad di atas, maka bisa diteliti dengan cara berikut:
a.     Jenis lafadz tahammul dan ada'nya.
b.    Melihat pada hubungan guru dan murid.
c.    Membandingkan tahun lahir, dan tahun wafat para periwayat, serta tempat tinggal para periwayat.
Pertama: Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hambal, menerima hadits dari Ahmad bin Muhammad bin Hambal dengan menggunakan lafadz haddasana, maka tidak diperselisihkan lagi masalah ittishalus sanadnya, karena lafadz hadasana adalah tingkatan pertama dalam tahammul wal ada.` dan kedua perowi ini saling mengakui kalau di antara mereka adalah guru-murid.

Kedua: Ahmad bin Muhammad bin Hambal menerima hadits dari Yahya bin Said juga dengan menggunakan lafadz haddasana, jadi seperti keterangan di atas bahwa, di samping lafadz haddasana adalah top level dalam proses tahammul wal ada` dan tidak perlu dibahas panjang karena sudah jelas ittishalnya serta kedua perowi ini juga saling mengakui bahwa ada hubungan guru-murid.

Ketiga: Yahya bin Said, merima hadits dari Ubaid bin Amr dengan menggunakan lafadz an, menurut Thahhan lafadz tahammul wal ada.` dengan menggunakan an bisa dianggap ittishalus sanadnya, apabila memenuhi kriteria berikut ini: pertama perowi tidak termasuk dalam katagori mudallis, yang kedua bisa dimungkinkan pertemuan antara keduanya. Sekalipun periwayatan Ubaid kepada Yahya ini mengunakan an bukan berarti sanadnya tidak ittishal, dengan alasan pertama: kedua perowi ini tidak termasuk dalam katagori mudallis, kedua: pertemuan di antara mereka, adalah sangat mungkin karena Yahya mengakui Ubaid sebagai gurunya, sedangkan Ubaid juga mengakui Yahya sebagai muridnya.

Keempat: Ubaid bin Amr menerima hadits dari Nafi`Abu Abdillah, menggunakan lafadz haddasana, maka tidak perlu dipaparkan kembali, karena sudah tentu sanadnya ittishal.

Kelima: Nafi`Abu Abdillah menerima hadits dari Shofiyah binti Ubaid bin Mas`ud , dengan lafadz an, namun sanadnya ittishal karena kedua perowi ini tidak tadlis dan juga saling mengakui adanya guru-murid di antara keduanya.

 Keenam: Shofiyah binti Ubaid bin Mas`ud menerima hadist dari sebagian dari istri-istri Nabi SAW dengan lafadz an, tentu sanadnya ittishal karena pertama, gurunya adalah sahabat Nabi serta istri-istri Nabi sehingga tidak ada satupun ulama yang menjarah tingkatan sahabat. Kedua, istri-istri Nabi SAW yang menjadi gurunya Shofiyah, semua mengakui kalau mereka mempunyai murid yang bernama Shofiyah binti Ubaid bin Mas`ud.



5.    Uji  Kontra – Tidaknya Makna Hadith dengan Hadith lain atau dengan Makna Ayat al-Qur`an
Untuk melakukan analisis ada tidaknya syudzudz dalam hadih riwayat Ahmad, dilakukan dengan mendatangkan dan mengkonfirmasikan matan hadis dengan ayat Al-Quran dan sanad lain dalam satu tema yang makna matannya berlawanan dengan makna matan hadis yang diteliti.
Setelah peneliti mengamati dan membandingkan hadis ini dengan dalil-dalil naqli lain yang satu tema baik itu ayat Al-Quran maupun hadis lain yang memilki derajat lebih tinggi, maka peneliti berkesimpulan bahwa hadits ini terbebas dari unsur syadz.

6.    Uji Cacat – Tidaknya Redaksi Matan dan Makna Matan Hadith
Kalau kita lihat pada kajian teori di atas Illat (cacat) adakalanya pada sanad atau pada matan (redaksi) hadits, dan keduanya. Dalam penelitian ini kami simpulkan bahwa hadits tentang paranormal ini terbebas dari illat dari segi sanad, karena pada prinsipnya  perowi hadits ini adalah periwo tsiqat, dan sanadnya muttashil.

Kemudian kalau ditinjau dari segi matan, setelah kami membandingkan dengan hadits lain yang satu tema, kami tidak menemukan penambahan lafadz pada redaksi atau matan, oleh karena itu bisa dimpulkan bahwa hadist ini terbebas dari illat dari segi matan atau redaksi hadist. Di samping itu, matan hadis ini tidak mengandung makna yang bertentangan dengan akal, bahasa, ilmu pengetahuan dan fakta sejarah.

B.    Analisis Simultan
1.    Penyajian Jalur Lain Hadith
سنن البيهقى - (ج 2 / ص 344)
16938- أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الصَّفَّارُ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مِهْرَانَ الأَصْبَهَانِىُّ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عَوْفُ بْنُ أَبِى جَمِيلَةَ ح قَالَ وَأَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحُسَيْنِ الْقَاضِى بِمَرْوٍ حَدَّثَنَا الْحَارِثُ بْنُ أَبِى أُسَامَةَ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ خِلاَسٍ وَمُحَمَّدٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ».

المعجم الأوسط للطبراني - (ج 3 / ص 470)
1509 - حدثنا أحمد قال : نا أحمد بن عمرو بن عبيدة العصفري قال : نا سعيد بن عامر قال : نا شعبة ، عن سلمة بن كهيل ، عن أبي الزعراء ، عن عبد الله بن مسعود قال : « من أتى عرافا أو كاهنا ، فصدقه بما يقول ، فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم » « لم يرو هذا الحديث عن شعبة إلا سعيد »

2.    Pembahasan Derajat Hadith Secara Kualitas Dan Kuantitas
a.    Kualitas
Dari paparan data dan analisa tentang tsiqah al-rawi dan ittisal al-sanad dapat disimpulkan sebagai berikut:
1).    Dilihat dari kualitas periwayat dapat dinyatakan bahwa seluruh periwayat dalam sanad termasuk periwayat tsiqah.
2).    Semua periwayat dalam sanad bersambung sanadnya.
    Maka dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hadits tentang paranormal ini adalah shahihul –isnad.
Hadits tentang paranormal ini sejauh yang dikaji, ditemukan beberapa muttabi` dan sahid. Sehingga jumlah keseluruhan adalah 4 jalur sebagaimana yang terlampir di atas.

b.    Kuantitas
Sebagaimana yang terlampir di atas, bahwa rawi hadits ini tidak sampai pada batasan minimal hadits mutawatir, oleh karena itu hadits ini dinamakan hadits ahad.







SKEMA SANAD HADITS JALUR LAIN
Nabi Muhammad SAW
Sebagian istri Nabi SAW    Abu Hurairah    Abdullah bin Mas`ud
Shofiyah binti Ubaid     Muhammad    Abi Zarra`
Nafi`Abu Abdillah    Khilas    Salimah bin Kahil
Ubaid bin Amr    Auf    Su`bah
Yahya bin Said    Ruh bin Ubadah    Said bin Amir
Ahmad bin Muhammad     Haris bin Usamah    Ahmad bin Amr
Abdillah bin Ahmad    Abdullah bin Husain    Ahmad
    Auf bin Abi Jamilah  
    Ubaidillah bin Musa  
    Ahmad bin Mihran  
    Abu abdillah Muhammad Abu  Abdillah  
    Abu Abdillah al-Hafidz  

1 Komentar

  1. kurang lengkap ya,, tlong d tmbah lg..
    perktaan "ba'du azwajin nabi" ko bs pean simpulkan itu Aisyah? dr mana pengertian tersebut?

    BalasHapus