IPNU Membumikan Ilmu Agama

 Oleh Caswiyono Rusydie Cw



PADA 9-12 Juli 2006, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) menyelenggarakan Kongres XV IPNU di Jakarta. Kongres tersebut merupakan momen yang sangat penting bagi organisasi ini untuk menata ulang organisasi dan merumuskan kembali formula dan paradigma gerakan yang hendak dilakukannya. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa IPNU sejak kelahirannya pada tahun 1954 menjadi bagian tak terpisahkan dari konstelasi gerakan pelajar di tanah air.



IPNU adalah organisasi pelajar yang sejak kelahirannya memang disiapkan sebagai wadah kaderisasi Nahdlatul Ulama (NU). Karena itulah agenda kaderisasi menjadi "titik tempur" utama, melahirkan kader yang tidak hanya tangguh secara intelektual dan memiliki keunggulan akhlak serta terampil berorganisasi, melainkan juga siap tempur di medan peradaban yang makin kompleks.



Untuk merealisasikan itu pertama yang mesti kita lakukan adalah penguatan organisasi. Tak dipungkiri masa transisi yang kini tengah dijalani memberikan konsekuensi yang tidak sedikit dalam ranah keorganisasian. Konseptualisasi IPNU setelah kembali ke pelajar belum selesai. "Bagaimana IPNU menunaikan tugasnya sebagai organisasi pelajar?" adalah pertanyaan fundamental yang mesti segera dicari jawabannya. Ada beberapa tawaran yang dapat penulis sampaikan.



Tawaran



Pertama, harus ada iktikad internal untuk melakukan pembenahan organisatoris. Konsekuensi "kembali ke pelajar" adalah mengembalikan basis organisasi ke sekolah dan pesantren. Mengembalikan IPNU ke "kandang"nya (sekolah dan pesantren) menjadi sangat urgen untuk melakukan kaderisasi di kalangan remaja terdidik. Hal ini berangkat dari kesadaran pelajar adalah "investasi masa depan" bagi NU (dan bangsa). Sementara kenyataan pelajar NU sebagai kekuatan masa depan kini tidak mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama, terutama dalam hal penanaman nilai dan gerakan.



Oleh karena itu dibutuhkan organisasi yang secara intensif menjadi wadah aktualisasi bagi pelajar dan santri NU. Akibat tidak adanya perhatian dan pembinaan yang khusus, tidak sedikit kalangan muda terdidik ini yang mengalami "pembusukan" di tengah jalan.



Untuk merealisasikan agenda ini, maka IPNU harus "berekspansi' ke sekolah dan pesantren. Namun tidak cukup dengan begitu saja. Apa yang harus dilakukan setelah masuk sekolah dan pesantren? Masuknya IPNU ke sekolah dan harus disertai dengan tawaran yang "menggiurkan" bagi proses pendewasaan siswa. Di sinilah harus ada revitalisasi peran.



Demikian juga di pesantren. Tidak menyelesaikan masalah hanya dengan "berekspansi" ke lembaga pendidikan tradisional itu. Lebih dari sekolah, masuknya IPNU ke pondok pesantren dihadapkan dengan tugas yang cukup berat. Sebagai lembaga pendidikan tertua, pesantren menyimpan potensi besar bagi keilmuan agama. Jika konsep pengembangan keilmuan agama yang ditawarkan IPNU di bawah kualitas pesantren, tentu ia menjadi tidak menarik.



"Perkawinan"



Tugas besar lainnya adalah melakukan "perkawinan" intelektual, agar dunia pesantren tidak saja "melek", melainkan juga terbuka bagi penguasaan keilmuan umum. Hal ini menjadi penting sebagai "alat" pembumian keilmuan agama.



Kedua, dari sini, beranjaklah pada konsekuensi kedua, yaitu membangun gerakan berbasis keilmuan. IPNU mestinya ditempatkan sebagi lembaga pengaderan yang menekankan pada penguatan intelektualisme kader. Istilah "pelajar" menjadi ikon sendiri bagai agenda ini. Kegiatan dan aktivitas organisasi mesti dilandasi dengan basis intelektualisme yang tangguh.



Peran yang mesti dimainkan, salah satunya ditekankan pada peningkatan wawasan dan potensi keilmuan kadernya. Ini menjadi agenda kultural yang harus terus diperankan. Karena itulah perubahan orientasi gerakan menjadi niscaya dilakukan. Kecenderungan para kader untuk dipolitisasi dan memolitisasi organisasi akan terbendung oleh orientasi keilmuan ini. Hal ini menjadi makin penting mengingat pendirian IPNU dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk melakukan penguatan keilmuan generasi muda.



Ketiga, sebagai organ pelajar IPNU tentu tidak hanya berkungkung pada agenda internal NU. la harus disadari sebagai bagian dari gerakan pelajar di Indonesia. Sejak mula kelahirannya IPNU memang menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan kaum terpelajar yang mewarisi tradisi perlawanan terhadap kolonialisme, dalam bentuk apa pun.



Berangkat dari kesadaran inilah sudah saatnya IPNU membangun strategi gerakan yang jitu dalam menunaikan amanah kepelajarannya. Salah satu agenda menonjol yang mesti dilakukan adalah advokasi pelajar dan pendidikan.



Secara kultural, advokasi kepelajaran dilakukan dengan melakukan pendampingan terhadap para pelajar dalam menapaki tugasnya sebagai pelajar dan membentenginya dari arus pembusukan. Pada saat yang sama, secara struktural IPNU juga harus melakukan advokasi pendidikan. Agenda ini harus dilakukan karena meskipun "zaman" telah berubah, masih terlalu banyak kebijakan pendidikan kita yang merugikan dan tidak memihak rakyat kecil, dari biaya pendidikan yang melangit sampai yang belakangan sedang ramai adalah Ujian Nasional (UN) yang sesungguhnya melanggar UU Sisdiknas. Orde baru memang telah berlalu, tapi masih terlalu banyak "warisan" yang kita tanggung. Karena itulah berbagai kebijakan yang saat ini sudah tidak populer dan tidak relevan dengan demokratisasi harus dilawan.



Tentu, "perlawanan" ini dan semua agenda di atas dilandasi komitmen ideologis yang kuat. Karena itulah penguatan basis ideologi menjadi hal yang tak dapat ditawar lagi. Sebagai bagian integral dari kultur dan struktur NU, segenap gerak langkah dan "ideologi" IPNU harus tetap berada dalam bingkai besar ahl al-sunnah wa al jama'ah, atau yang kerap disebut dengan "Aswaja".

Aswaja sudah saatnya untuk dibumikan dan agar dapat dioperasionalkan dalam wilayah gerakan yang nyata. Dalam PD/ PRT-nya, IPNU menempatkan Aswaja sebagai asas, akan tetapi keberadaannya selalu melangit dan tidak aplikatif, sehingga sulit menjadi ideologi gerakan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya konseptualisasi mengenai hal itu. Padahal sesungguhnya Aswaja adalah aset ideologi yang sangat mahal dan autentik. Di dalamnya memiliki kekayaan nilai yang seharusnya mampu dibumikan hingga menjadi basis ideologis yang kuat, tentu dengan pemaknaan yang kontekstual.



Aswaja yang mestinya dimaknai dan dibumikan secara lebih konkret pada ranah sosial bukanlah Aswaja yang hanya dimaknai sebagai doktrin dan metode pikir (manhaj al-fikr) semata. Lebih dari sekadar itu, Aswaja seharusnya dijadikan sebagai motor perubahan (manhaj al-taghayyur). Karena jika Aswaja tetap dimaknai hanya sekadar mazhab yang beku dan stagnan, maka ia tidak akan mampu mengawal dan membawa perubahan menuju peradaban baru.



Berangkat dari kebutuhan itulah, adalah menarik untuk memikirkan kembali dan merekonstruksi Aswaja agar lebih aplikatif dan membumi. Tentu ini tugas berat yang akan memakan waktu tidak sedikit. Dibutuhkan kajian akademik dan konseptual serta pembacaan yang serius untuk membangun Aswaja agar dapat dijadikan sebagai landasan ideologis bagi setiap gerakan IPNU. Dengan basis idelogis inilah gerakan pelajar yang dimainkan IPNU akan lebih paradigmatik.



IPNU, dengan demikian, bukan hanya menjadi wadah bagi kader organisatoris yang mampu menjalankan fungsi organisasi dalam menjawab tuntutan perubahan; juga bukan hanya kader intelektual yang mampu menjawab problem keilmuan.



Lebih dari sekadar itu, IPNU akan menjadi wadah bagi kader bangsa yang memiliki kekokohan ideologis (Aswaja) untuk melakukan kerja-kerja peradabannya. Dari sinilah harapan IPNU menjadi organisasi gerakan pelajar menjadi mungkin. Tanpa kekuatan ideologi yang dimilikinya, mustahil sebuah gerakan bisa dilakukan dengan baik.



Ikhtiar membangun masa depan IPNU yang visioner, menurut penulis, mesti diawali dengan penguatan basis idelogis yang kokoh. IPNU yang diharapkan menjadi organ pelajar yang penting dalam konstelasi gerakan pelajar di Indonesia sangat mungkin melakukan hal itu. Sebagaimana NU yang telah memiliki pengakuan dan reputasi yang besar, sebagai anak kandungnya IPNU wajib meneruskannya dengan menyelamatkan tradisi dan menancapkan ideloginya di tengah perubahan masyarakat yang dahsyat ini.



Penguatan basis idelogis ini akan membuat kerja-kerja IPNU baik dalam ranah pengembangan organisasi, pengaderan, advokasi, maupun tugas-tugas kultural lain, akan mungkin dilakukan. Setelah basis idelogis ini dikuatkan, tugas selanjutnya adalah merancang kerja-kerja peradaban yang lebih luas.



Kongres XV IPNU - yang bersamaan dengan Kongres XIV IPPNU - di Jakarta kali ini, menjadi momen yang tepat untuk meneguhkan kembali ideologi dan paradigma gerakan yang hendak dilakukan. Semua itu dilakukan sebagai ikhtiar untuk mengokohkan eksistesinya sebagai bagian penting dalam konstelasi gerakan kaum pelajar di Indonesia. (11)



IPNU Menegaskan Visi Pendidikan

Oleh: M Rikza Chamami



DI tengah bencana yang melanda negeri ini, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama ( IPNU) pada 24 Februari 2005 berusia 51 tahun. Ini artinya organisasi yang lahir lewat Konbes PB Maarif di Semarang telah dewasa dan siap memberikan kontribusi positif kepada bangsa. Satu hal yang paling prinsip untuk diperjuangkan IPNU adalah soal pengembangan kependidikan dan kepemudaan, sebab dinamika organisasi ini tidak lepas dari dua peran itu.



IPNU lahir dari kegelisahan anak muda kaum tradisional (nahdliyyin) yang ber-ghiroh modern. Berkiblat pada semangat kaum Ansor dan Muhajirin di masa Nabi Muhammad yang bersemangat patriotik, maka kaum muda Nahdlatul Ulama (NU) kala itu juga mengorganisasi menjadi kelompok terpelajar. Sebelum IPNU berdiri, embrio organisasi pelajar di kalangan NU sudah bermunculan. Di Surabaya berdiri Tsamratul Mustafidin (11 Oktober 1936) dan Persatoean Santri NO (PAMNO 1941).



Di Madura ada ljtimauth Tholabiyah (1945) dan di Sumbawa juga berdiri Ijtimauth Tholabah NO (1946). Di Kediri terbentuk Persatuan Pelajar NO (Perpeno 1954) dan Ikatan Pelajar NO (IPINO 1945) di Medan.



Semenjak lahir hingga pada tahun 1988, IPNU merupakan organisasi pelajar. Akibat diberlakukannya UU No 5 tahun 1985, pada Kongres X di Jombang, IPNU berubah menjadi organisasi kepemudaan dengan singkatan Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Namun perannya saat menjadi organisasi kepemudaan menjadikan IPNU banyak ditarik-tarik pada dunia politik praktis. Oleh sebab itulah semenjak Kongres di Garut dan Makassar wacana kembali ke pelajar sudah mulai mencuat. Namun pengembalian IPNU ke pangkuan pelajar baru berhasil pada Kongres XIV di Surabaya 18-22 Juni 2003. Saat itulah IPNU kembali menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama.



IPNU juga dikenang sebagai lembaga yang membidani lahirnya pergerakan mahasiswa bernama PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). PMII lahir pada 21 Syawal 1379 H atau 17 April 1960 pada saat digelar Konperensi Besar I IPNU di Kaliurang Yogyakarta. Dokumen kenal lahir diabadikan di Taman Pendidikan Putri Khadijah Surabaya.



PMII lahir dari rentetan sejarah rahim Departemen Perguruan Tinggi IPNU, sehingga sering dikatakan PMII adalah NU, walaupun secara organisasi sudah independen. Sebelumnya, tekad bulat pendirian PMII melalui dialektika argumentasi yang sangat logis. Semua berpandangan pada satu mekanisme jamaah dan jam'iyyah, maksudnya kedua nilai kebersamaan dan nilai keorganisasian.



Dalam peta perjalanannya tersebut, IPNU sudah tiga fase mencari jati diri. Selama 34 tahun ia menjadi organ pelajar, 15 tahun menjadi organ pemuda, dan saat ini menginjak 2 tahun menjadi organ pelajar lagi.



Selain IPNU menjadi organ pelajar dan pemuda, dia juga menjadi bagian dari organisasi pergerakan dan pengaderan. Ini menunjukkan IPNU banyak memiliki karakter yang dihimpun dalam triloginya; belajar, berjuang dan bertakwa.



Dalam konteks kepelajaran, seorang pelajar tetap mempunyai tekad mandiri untuk mengorbankan jiwa dan pikirannya dengan prinsip kedekatan dengan Allah SWT.



Wawasan Keilmuan



Amanat yang dibawa dari Kongres Surabaya adalah lebih menegaskan visi pendidikan bangsa. IPNU meyakini pendidikan merupakan ranah terpenting dalam memajukan kualitas sumber daya manusia. Oleh karenanya peran IPNU secara organisatoris tidak lepas dari dunia pendidikan. Sedangkan problem pendidikan nasional saat ini sedang diuji dengan segala bentuk inovasi, misalnya diberlakukannya UU Sisdiknas, anggaran 20% dan UN (Ujian Nasional) yang masih kontroversial.



Persoalan lain adalah masih banyaknya buta huruf, anak putus sekolah, tawuran pelajar, kenakalan remaja, atau bahkan yang paling parah adalah meningkatnya angka sarjana pengangguran.



Sebagai organisasi kader dalam lingkungan NU, IPNU juga tetap menjalankan aktivitas pengaderan. Salah satu konsekuensi besar hasil Kongres Surabaya dan Rakernas Pekanbaru Riau adalah dalam bidang pengaderan yang menuntut penguatan sistem manajemen perawatan kader. Heterogenitas basis massa IPNU dengan latar belakang yang multikutural adalah persoalan tersendiri yang harus menjadi pertimbangan dasar dalam penyusunan program pengaderan.



Adanya prioritas bidang garap pelajar (siswa, santri, mahasiswa dan remaja) menuntut IPNU me-review kelaikan pengaderan sebagai piranti vital organisasi. Untuk itulah selain menjalankan fungsi pengaderan formal: Makesta, Lakmud dan Lakut, IPNU juga menggarap MOP (Masa Orientasi Pelajar)-atau di Jawa Tengah disebut Mosiba-sebagai rujukan dasar bagi pimpinan IPNU untuk masuk pada basis pelajar di sekolah-sekolah.



Hal tersebut bukan semata-mata karena keputusan Kongres XIV mempertegas IPNU sebagai organisasi palajar, . melainkan lebih pada upaya pencerahan pengaderan untuk merefleksi dan mengoreksi efektivitas pengaderan yang selama ini dilakukan.



Paradigma pendidikan terkait erat dengan pilihan paradigma perjuangan yang dipilih juga menentukan metode pendekatan pendidikan yang dilakukan. Paling tidak ada tiga paradigma perubahan sosial dalam dunia pendidikan; paradigma konservatif, paradigma liberal dan paradigma transformatif.



Di antara tiga paradigma itu, IPNU memilih perspektif transformatif sebagai landasan pengaderan. Dengan perspektif ini, maka paradigma pendidikan yang dipilih pun pararel dengan gerakan transformatif IPNU. Itu artinya, paradigma pendidikan IPNU memandang akar persoalan sosial terletak pada struktur sosial yang ada, di satu sisi, dan di sisi lain lemahnya kapasitas kepemimpinan perubahan masyarakat.



Dengan perspektif tersebut, maka paradigma pengaderan IPNU diarahkan untuk membentuk sikap kritis terhadap realitas sosial eksternal di satu sisi, dan membentuk kader yang ideologis, militan, kreatif, profesional, memiliki kapasitas manajerial dan kepemimpinan memadahi, dan berakhlakul karimah. Dalam konteks IPNU, maka kesadaran struktural yang dibangun, sesuai dengan fokus dan konsentrasi perjuangannya, minimal pada wilayah kebijakan pendidikan.



Paradigma pendidikan seperti itulah yang diyakini dapat membentuk kader IPNU yang mampu menjawab tantangan sosial eksternal sesuai dengan fokus gerakan perjuangan IPNU, sekaligus menjawab kebutuhan internal organisatoris IPNU. Selain itu, IPNU akan tetap bertekad untuk mengawal proses lancarnya pendidikan nasional. Hal ini telah banyak ditunjukkan oleh IPNU. Misalnya dalam kasus UAN 2003, IPNU ikut memberikan advokasi pelajar. Dalam rehabilitasi pasca Tsunami, IPNU juga turut andil banyak menangani pendidikan darurat di Aceh.



Berbasis Keorganisasian



Dalam formulasi orientasinya, IPNU mengenalkan wawasan keterpelajaran, di situ IPNU menempatkan organisasi dan anggota pada pemantapan diri sebagai centre of excellence pemberdayaan SDM terdidik yang berilmu, berkeahlian dan visioner. Wawasan ini meniscayakan karakteristik organisasi dan anggotanya untuk senantiasa memiliki hasrat ingin tahu, belajar terus - menerus dan menyintai masyarakat belajar.



Maka, yang tidak kalah penting adalah IPNU turut mempelopori pendidikan berbasis keorganisasian. Pelajar tidak hanya dijejali dengan materi kurikulum formal saja. Karena dalam kondisi itu, siswa akan punya kecenderungan untuk bosan dan sekolah terkesan hegemonis. Artinya bahwa sekolah tetap berdiri di atas garisnya untuk memberikan pengetahuan (transfer of knowledge value) dengan kegiatan belajar - mengajar secara terstruktur lewat kurikulum. Tetapi pihak sekolah tetap memberikan peluang besar kepada siswanya untuk berorganisasi.



Sekolah dan organisasi pelajar merupakan satuan yang tidak terpisah. Sekolah dengan mentransfer keilmuannya akan menghasilkan kepandaian (intelegensi). Sementara organisasi dengan kegiatan positif akan mencetak wawasan kedewasaan dan kemandirian. Kemandirian rangkaian kerja demikian dapat disebut sebagai pragmatisme institusi. Lembaga pendidikan mempunyai target untuk membuat siswa pandai dan dewasa.



Kebanyakan ''penyakit'' yang diderita lembaga pendidikan di Indonesia adalah alergi terhadap organisasi. Organisasi pelajar yang hidup di sekolah dianggap sebagai virus yang memperkeruh otak. Ada juga anggapan, pelajar akan terganggu konsentrasi belajarnya akibat organisasi. Tesa inilah yang harus dihilangkan dalam dunia pendidikan kita.



Desentralisasi pendidikan sangat memberikan ruang bagi pelajar untuk berkompetisi. Apalagi dengan Kurikulum Berbaris Kompetensi (KBK), pelajar akan dituntut untuk lebih mandiri dan hidup sesuai bidang keahlian yang dimiliki. Manakala sekolah tidak membuat wadah kreasi, ekspresi dan kompetisi, pelajar akan mengalami kesusahan dalam menatap masa depannya.



Ikhtiar yang paling kuat oleh IPNU adalah menghapus OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) di masing-masing lembaga pendidikan. Karena UU No 5 tahun 1985 yang memberlakukan wajib OSIS dan melarang selain OSIS hidup di sekolah adalah bagian dari hegemoni pemerintah dan di luar batas demokrasi. Selanjutnya sekolah bisa mendirikan organisasi sesuai dengan kompetensinya sendiri-sendiri. Misalnya dengan IPNU, IRM, PII dan lain-lain. Organisasi kultural tersebut akan lebih efektif dalam rangka mendidik wawasan kebangsaan dan prinsip persaudaraan.



Prinsip dasar IPNU dalam citra diri organisasi adalah memerankan fungsi manusia sebagai khalifah yang memiliki dimensi ilahiyah dan sosial (QS 2: 23 dan QS 11: 61). Oleh sebab itu pelaksanaan pendidikan bangsa ditata dengan visi persaudaraan, pengembangan dan pendewasaan. Dengan itu, paradigma pendidikan ala UNESCO dapat terpenuhi, yakni learning to live together, belajar untuk bisa hidup berdampingan dengan kelompok lain. (18)



-M Rikza Chamami, SPd I Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Wakil Ketua PW IPNU dan Pengurus DPD KNPI Jateng



Setelah IPNU Kembali ke Organisasi Pelajar

Oleh M Rikza Chamami



SEBUAH prestasi gemilang yang diraih pada Kongres IPNU 2003 di Surabaya adalah keberhasilan mengembalikan IPNU sebagai organisasi pelajar. Peralihan itu menunjukkan arti penting bagi proses kejelasan ''kelamin'' IPNU di masa mendatang.



Dalam menghadapi dinamika kehidupan akhir-akhir ini, tampaknya peran IPNU tidak cukup banyak didengar. Ia tampil sebagai organisasi yang berkiprah di kandangnya sendiri, dan belum banyak memberikan peran bagi publik. Hal ini banyak diakui oleh beberapa pihak, termasuk generasi muda NU sendiri.



Pertanyaannya kemudian, apakah ''kemandulan'' IPNU disebabkan tidak efektifnya segmen pelajar yang digarap? Atau justru diakibatkan faktor SDM yang tidak mampu mengaktualisasikan lembaga? Yang pasti bukan karena itu semua. Ketidakberdayaan IPNU diakibatkan oleh ketidakkonsistenan kadernya memegang khittah IPNU.



Seharusnya pascakongres dilakukan rencana strategis yang khusus memformulasikan visi kepelajaran yang dimilikinya. Selama tiga tahun berjalan, visi kepelajaran yang dimiliki IPNU mengambang, atau bahkan berjalan tanpa arah yang jelas. Ini sangat tampak ketika kader di ranting dan anak cabang belum begitu paham tentang perubahan kepanjangan akronim ''P'' dari ''putra'' ke ''pelajar''.



Melihat kondisi demikian, setidaknya ada dua PR yang perlu diselesaikan oleh IPNU. Pertama, menegaskan posisi organisasi kepelajaran yang telah diikrarkannya. Kedua, menggarap dunia kepelajaran secara serius agar peran IPNU semakin jelas. Kedua PR itu seyogianya bisa selesai sebelum Kongres XIV yang akan digelar Juli 2006.



Gerakan Intelektual



Posisi organisasi pelajar di Indonesia sangat efektif dalam menyokong SDM bangsa. Ia berdiri dan berkiprah menguatkan basis pendidikan dan segmen keilmuan. Pendidikan dan keilmuan itu akan menghadirkan karakter bangsa, semacam kemandirian, kesahajaan dan kesatuan persepsi. Jadi arah yang paling ideal bagi IPNU ke depan adalah mengembangkan format gerakan intelektual.



Kita bisa mencontoh Turki dan Mesir yang sadar akan kemundurannya. Ia masuk dalam periode kebangkitan Islam setelah ekspedisi Napolion di Mesir berakhir pada tahun 1801 M. Peristiwa itu membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat. Di sisi lain kemajuan dan kekuatan Barat tidak lagi dipungkiri.



Fenomena demikian menjadikan pemerintah dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mulai cari jalan untuk mengembalikan balance of power yang membahayakan Islam. Dengan demikian, timbullah apa yang disebut pemikiran aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam (Muslim Ishak: 1988).



Gerakan intelektual yang dimaksud adalah bagaimana IPNU mampu memberikan sumbangsih kepada kadernya untuk cinta ilmu sepanjang hayat dan melek terhadap modernisasi. Format gerakan yang nyata adalah doktrinasi arti penting ilmu modern untuk bekal di masa mendatang.



Selama ini, NU dipandang sebagai organisasi klasik yang hanya mampu mencetak kiai. Doktor dan profesor yang lahir dari NU juga masih minim. Dengan kiprah kepelajarannya, jiwa cinta ilmu bisa ditanamkan sejak dini kepada kadernya, baik dalam pengkaderan formal maupun nonformal.



Ke depan, IPNU tidak lagi bersusah payah mengadakan acara seremonial yang hanya berupa seminar atau semiloka, tetapi dengan SDM pendidikan yang kuat, IPNU mampu menawarkan gagasan brillian untuk disumbangkan pada bangsa.



Membangun Pelajar



Secara formal, IPNU sudah mempunyai departemen advokasi pelajar. Tetapi lembaga ini tidak berdaya sedikit pun, sehigga terkesan tidak efektif dan bahkan ada ide untuk menghapusnya. Penulis menilai lembaga tersebut masih sangat penting.



Persoalannya kemudian, bagaimana memberikan bekal dan otoritas penuh bagi kader yang mengelolanya. IPNU selayaknya mengambil peran strategis mendampingi kasus-kasus pelajar yang muncul di permukaan.



Ketika pelajar Aceh tidak begitu diperhatikan, IPNU tampil mendampingi mereka memperoleh hak pendidikan sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945. IPNU menegaskan sikapnya kepada Pemerintah agar membuat pendidikan darurat pascatsunami.



Yang sedang marak sekarang adalah ancaman moralitas pelajar dari bahaya budaya Barat, seperti kehidupan bebas, glamorisme, dunia malam, dan konsumerisme. IPNU seharusnya bermain untuk memfilter budaya itu dengan melakukan kajian-kajian akademis. IPNU tidak melarang budaya lain masuk, tetapi melakukan seleksi dengan melibatkan semua pelajar dan pemuda. Dengan demikian, budaya Indonesia akan tetap tumbuh subur.



Dengan peran demikian, IPNU mampu menjalankan amanatnya dalam membangun pelajar dengan nilai-nilai budaya luhur bangsa.



Manusia memang butuh pengalaman hidup. Begitu pula IPNU butuh pengalaman untuk menyelesaikan tugas utamanya dalam membangun pelajar Indonesia. (24)



-M Rikza Chamami SPdI, Wakil Ketua PW IPNU Jawa Tengah dan staf pengajar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.



Konferensi Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama DIY, yang terselenggara di komplek sekolah Insan Cendekia Turi, Sleman, pada 6-7 April 2007, memperbincangkan berbagai hal tentang dunia kepelajaran di DIY. Mulai dari hubungan IPNU dengan Ma’arif hingga bagaimana IPNU mulai menggarap kadernya disekolah unggulan. Acara yang dibuka oleh Dr. Mohammad Maksum selaku wakil dari PWNU DIY ini, dihadiri oleh seluruh perwakilan cabang IPNU dari kota maupun kabupaten di DIY.



Dalam sambutannya, Ketua PW IPNU DIY periode 2005-2007 Irfan Chalimi, mennyampaikan bahwa IPNU DIY harus terus semangat dan menggunakan nilai-nilai Aswaja sebagai landasan perjuangan organisasi. ”PW IPNU DIY belum berhasil secara utuh dalam mengkontekstualisasikan nilai-nilai Aswaja yang sesuai dengan lokalitas Jogjakarta sebagai kota pelajar”, ungkapnya. Irfan juga menyayangkan atas menurunnya semangat minat pelajar dari daerah di seluruh Indonesia untuk melanjutkan studinya di DIY, dikarenakan mahalnya biaya pendidikan, image Jogja sebagai kota pelajar luntur karena pergaulan bebas dikalangan pelajar Jogja.



Proses konferensi ini akhirnya memberikan amanah kepada rekan Ahmad Ghozi N.I, untuk menahkodai PW IPNU DIY periode 2007-2009. Ketua PW. IPNU DIY dipilih oleh perwakilan masing-masing PC IPNU se DIY. Dari hasil perolehan suara diperolah Ahmad Ghozi Nurul Islam sebagai ketua terpilih dengan memperoleh suara terbanyak, yaitu lima suara. Masuk dalam bursa pemilihan tersebut Arifudin 3 suara, Abdurrahman fauzi 1 suara, dan Ngatimin 1 suara.



Dalam sambutannya di acara penutupan yang dirangkai dengan bacaan Sholawat dan Dziba’ untuk mempertingati harlah IPNU dan IPPNU sekaligus maulud nabi Muhammad ini, Ghozi yang juga mahasiswa Filsafat UGM, menyampaikan tiga persoalan mendasar yang harus mampu dijawab oleh IPNU DIY kedepan. ”Ada tiga persoalan mendasar yang harus dijawab oleh PW IPNU DIY, kalau IPNU tidak mampu menjawab itu apalagi tidak mengetahuinya, maka segeralah kita salam tak usah tahiat akhir, artinya organisasi ini telah berakhir”, tuturnya. Tiga persoalan mendasar yang dimaksud adalah masalah komersialaisasi pendidikan yang semakin marak, penguatan kader NU baik jama’ah dan jam’iyah, dan terakhir adalah semakin terkikisnya tardisi-tradisi NU terutama dikalangan remaja karena pengaruh budaya global yang dilgelontorkan lewat media massa, baik cetak maupun elektronik.



Komersialisasi pendidikan baik yang dilakukan oleh negara maupun swasta menjadikan warga atau putra-putra terbaik NU di desa-desa terancam tidak akan bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi karena tidak mampu membayar SPP. Contoh paling sederhana adalah UGM setelah menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), banyak kader pelajar NU yang semakin kecil jumlahnya, juga IAIN setelah berganti menjadi UIN. ”Artinya ini merupakan proses marginalisasi sistemik yang harus difahami oleh IPNU dan NU secara umum”, demikian ungkap Ghozi yang juga mantan ketua IPNU Komisariat MAN Yogyakarta II.



Hasil Konferensi IPNU DIY, antara lain mengeluarkan beberapa rekomendasi yang diantaranya: meminta pemerintah DIY untuk mengembalikan Jogja sebagai kota pelajar. Menurut Abdurrahman S. Fauzi rekomendasi ini salah satunya dikarenakan oleh kegerahan peserta konferensi atas menurunnya image Jogja sebagai Kota pelajar di mata masyarakat Indonesia. ”Sekarang yang terjadi bukan jogja sebagai kota pendidikan melainkan Jogja sebagai supermarket pendidikan, karena itulah dengan rekomendasi ini kita berharap semoga pemerintah dan masyarakat bisa mengontrol dunia pendidikan sehingga pendidikan tidak hanya dipandang sebagai komoditas yang meraup keuntungan semata”, tegasnya.

Sementara itu, beberapa pimpinan cabang yang hadir dalam konferensi ini juga mengimbau kepada LP Ma’arif untuk melibatkan IPNU dalam melakukan proses kaderisasi kader-kader pelajar NU. Karena selama ini di DIY antara IPNU dan Ma’arif kurang berjalan secara sinergis dalam melakukan sistem kaderisasi terhadap pelajar NU. Selain itu, beberapa peserta yang hidir dalam konferwil ini, juga merekomendasikan agar PW IPNU DIY sesegera mungkin mengeluarkan sistem pengkaderan bagi sekolah-sekolah umum. ”Karena selama ini banyak kader-kader pelajar NU yang belum tergarap secara sistematis, terutama di sekolah-sekolah umum. Akibatnya banyak kader NU yang kehilangan identitas ke-NU-an nya ketika lulus sekolah”, ungkap Nur Faizin, peserta dari cabang IPNU Kota Jogjakarta.



Citra Diri PRINSIP PERJUANGAN IPNU (P2IPNU)

I. Mukadimah

Manusia adalah hamba Allah (abdullah) sekaligus pemimpin (khalifatullah filardh). Sebagai hamba, kewajibanya adalah beribadah, mengabdi kepada Allah swt, menjalankan semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.  Sebagai khalifah, tugasnya adalah meneruskan risalah kenabian, yakni mengelola bumi Alloh swt. Keduanya terkait, tidak terpisah, dan  saling menunjang. Mencapai salah satunya, dengan mengabaikan yang lain, adalah kemustahilan. Keduanya juga terikat oleh konteks kesejarahan yang senantiasa bergeser. Inilah amanah suci setiap insan.<br />Dalam kitab suci Al Qur’an, ditegaskan, makna manusia sebagai khalifah memiliki dimensi sosial (horizontal), yakni mengenal alam (QS 2:31), memikirkannya (QS 2: 164) dan memanfaatkan alam dan isinya demi kebaikan dan ketinggian derajat manusia sendiri (QS 11:61). Sedangkan fungsi manusia sebagai abdullah memiliki dimensi ilahiah (vertical) yaitu mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan ucapan di hadapan Allah swt. <br />Risalah ini sudah dimulai sejak dahulu kala, sejak nabi Muhammad saw memperkenalkan perjuangan suci yang mengubah peradaban gelap menuju peradaban yang tercerahkan. Tugas suci yang mulia ini telah dilaksanakan para pejuang, para leluhur  kita, yang menjawab tantangan zamannya, sesuai dengan dinamika zamannya. Sekarang, setelah sekian lama abad risalah tersebut berjalan, manusia dihadapkan oleh tantangan baru. Zaman telah bergeser. Seiring dengan itu juga terjadi pergeseran tantangan zaman. Tugas untuk menjawab tantangan ini, jelas, bukan tanggung jawab generasi terdahulu, melainkan tugas generasi sekarang.<br />Tantangan tersebut berada dalam  tingkatan internasional, nasional, dan lokal.  Tantangan tersebut mencakup dataran keagamaan, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pendidikan. Perkembangan sosial yang pesat dalam berbagai dataran tersebut tidak  identik dengan naiknya derajat peradaban manusia. Sebaliknya, berbagai ketidakadilan sosial yang begitu besar dan kasat mata kita temukan dalam setiap dataran. Karenanya, perjuangan keislaman dalam konteks kebangsaan Indonesia senantiasa bergulir setiap waktu, tidak pernah usai. Saat ini, tantangan itu begitu nyata, begitu berkesinambungan dan meluas. Sebagai generasi pelajar yang mewarisi ruh perjuangan panjang di negeri ini, IPNU terpanggil untuk memberikan yang terbaik bagi tanah air tercinta. Bagi IPNU, hal ini adalah tugas suci dan kehormatan yang diamanahkan oleh Allah swt. <br />Menghidupi cita-cita perjuangan dan tantangan sosial tersebut mendorong IPNU untuk merumuskan konsepsi ideologis  (pandangan hidup yang diyakininya) berupa Prinsip Perjuangan IPNU sebagai  landasan berfikir, analisis, bertindak, berperilaku, dan berorganisasi. Prinsip Perjuangan IPNU adalah perwujudan dari tugas pesan kenabian dalam konteks IPNU

II. Landasan Historis

1. Kondisi IPNU fase pendirian dan dinamika perubahan<br />IPNU yang lahir pada tanggal 24 Februari 1954 M, bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H, hingga menjelang kongres XI tahun 1988 mempunyai kepanjangan “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama". Sesuai dengan namanya, maka dalam rentang waktu tersebut, pembinaan IPNU tertuju hanya pada pelajar-pelajar NU yang masih muda dan duduk di bangku sekolah. Pusat keanggotaan IPNU berada di lingkungan sekolah milik NU. Perubahan zaman, situasi, dan kondidi yang bersifat dari dalam dan dari luar,  ikut mempengaruhi perkembangan organisasi.  Hal ini menuntut para pengurus IPNU untuk tanggap dan kritis terhadap perkembangan tersebut. Dari sinilah Kongress X IPNU akhirnya berhasil menetapkan Deklarasi Jombang tentang perubahan nama, sehingga menjadi “Ikatan  Putra Nahdlatul Ulama”. Dengan perubahan nama tersebut, maka perubahan dalam berbagai sektor pun tidak dapat dielakkan. Pembinaan IPNU tidak lagi hanya terbatas pada warga NU yang berstatus pelajar, melainkan mencakup semua putra NU.<br />

2. Kondisi  IPNU sebelum Khittah <br />IPNU adalah suatu organisasi kemasyarakatan (ormas) dan sangat diharapkan oleh Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi induknya, yang telah melangkah menuju kemajuan dan bahkan pernah mencapai zaman keemasan yang diakui masyarakat (pada masa keemasan NU). Keperkasaan IPNU sebagai kader pelajar NU dari berbagai disiplin ilmu pada akhirnya tidak dapat dipertahankan, sehingga berbagai  program yang telah digariskan oleh garis perjuangan dan strategi organisasi gagal diterapkan secara tuntas. Hal ini terjadi disebabkan oleh karena berbagai persoalan mendasar, sehingga kader-kader  NU yang sangat besar jumlahnya harus gugur perlahan tanpa sempat berkembang dan mewujudkan kemampuan yang dimilikinya. Salah satu akar dari kondisi tersebut, selain kondisi dari dalam tubuh IPNU yang belum memiliki kinerja yang kuat,  terkait erat dengan organisasi induknya NU, yang pada saat itu terbawa arus politik. Arus politik yang begitu besar menyebabkan perhatian dan penguatan terhadap umat menjadi melemah dan terbengkalai.  Inilah yang menciptakan iklim tidak sehat bagi organisasi, sehingga banyak yang jera terhadapnya. Pada sisi lain, tekanan politik terhadap NU memaksa kader IPNU harus memakai baju dan simbol lain dalam pergaulannya di masyarakat.<br />

3.  Kondisi  IPNU Setelah Khittah<br />Perkembangan IPNU pasca-Khittah NU dan Kongres Jombang sangat menggembirakan. Khittah NU telah menciptakan iklim yang mendukung bagi pengembangan organisasi dan pemberdayaan  masyarakat. Hal ini ditandai dengan dengan semaraknya kegiatan NU dan badan-badan otonomnya, termasuk IPNU. Usaha memperteguh organisasi, pengetahuan, dan pandangan hidup, dilakukan terus menerus untuk meningkatkan mutu organisasi. Sebagai badan mandiri NU, IPNU aktif melakukan kegiatan-kegiatan  antara lain penataan kembali perangkat-perangkat yang menunjang organisasi, kaderisasi, dan pengembangan rintisan kerja sama dengan berbagai pihak. Namun demikian, disadari hal-hal tersebut belum mencapai yang terbaik.<br /><br /><br /><br />

4. Kondisi IPNU era Reformasi<br />Di era reformasi IPNU dituntut  lebih cepat responsif di tengah arus perubahan yang tidak menentu, di tengah iklim pragmatisme sesaat dalam berpolitik, dan kebebasan. Pada era ini muncul kesadaran bersama untuk mengembalikan IPNU pada garis kelahirannya, yaitu kembali ke basis Pelajar dan santri yang telah ditinggalkan. Kesadaran ini  diperkuat dengan munculnya Deklarasi Makassar pada kongres IPNU XIII di Makassar. <br />Kesemuanya tadi mendorong IPNU untuk kembali pada tujuannya semula. Sebab disadari bahwa ternyata selama ini IPNU belum banyak memberikan kontribusi bagi kader, masyarakat, dan negara. Disadari pula bahwa Pelajar dan Santri, sebagai kader yang memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan, masih membutuhkan pembinaan dan pengarahan yang tepat. Sehingga dirasa mendesak adanya suatu rumusan pandangan hidup organisasi berupa Prinsip Perjuangan IPNU untuk meningkatkan peran serta dalam pembangunan bangsa. <br /><br />II. LANDASAN BERFIKIR<br />Sebagaimana ditetapkan dalam khittah 1926, Aswaja (Ahlussunnah wal jamaah) adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak bagi warga Nahdliyin. Sikap dasar itu yang menjadi watak IPNU, dengan watak keislamannya yang mendalam dan dengan citra keindonesiaannya yang matang. Semua itu kemudian diwujudkan dalam berfikir dan bersikap serta bertindak.<br />Cara Berfikir: Cara berfikir menurut IPNU sebagai gambaran dari ahlussunah wal jama’ah adalah cara berfikir teratur dan runtut dengan memadukan antara dalil naqli (yang berdasar Al qur’an dan Hadits) dengan dalil aqli (yang berbasis pada akal budi) dan dalil waqi’i (yang berbasis pengalaman). Karena itu, di sini, IPNU menolak cara berpikir yang berlandaskan pada akal budi semata, sebagaimana yang dikembangkan kelompok pemikir bebas (liberal) dan kebenaran mutlak ilmu pengetahuan dan pengalaman sebagaimana yang dikembangkan kelompok pemikir materialistis (paham kebendaan). Demikian juga IPNU menolak pemahaman zahir (lahir) dan kelompok tekstual (langsung dari teks), karena tidak memungkinkan memahami agama dan kenyataan sosial secara mendalam.<br />         Cara Bersikap: IPNU memandang dunia sebagai kenyataan yang beragam; karena itu keberagaman diterima sebagai kenyataan. Namun juga bersikap aktif yakni menjaga dan mempertahankan kemajemukan tersebut agar kehidupan harmonis (selaras), saling mengenal (lita’arofu) dan memperkaya secara budaya. Sikap moderat (selalu mengambil jalan tengah) dan menghargai perbedaan menjadi semangat utama dalam mengelola kemajemukan tersebut. Dengan demikian IPNU juga menolak semua sikap yang mengganggu keanekaragaman atau keberagaman budaya tersebut.<br />          Cara Bertindak: Dalam bertindak, aswaja mengakui adanya kehendak Allah (taqdir) tetapi aswaja juga mengakui bahwa Allah telah mengkaruniai manusia pikiran dan kehendak. Karena itu dalam bertindak aswaja IPNU sebagaimana dirumuskan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, tidak bersikap menerima begitu saja dan menyerah kepada nasib dalam menghadapi kehendak Allah, tetapi berusaha untuk mencapai taqdir Allah dengan istilah kasab (usaha). Namun demikian, tidak harus berarti bersifat antroposentris (mendewakan manusia), bahwa manusia bebas berkehendak (seperti Qodariyah). Tindakan manusia tidak perlu di batasi dengan ketat, karena akan dibatasi oleh alam, oleh sejarah. Sementara Allah tidak dibatasi oleh faktor-faktor itu. Dengan demikian tindakan aswaja IPNU bukan tindakan yang sekuler melainkan sebuah proses pergerakan iman yang mengejawantah dalam seluruh aspek kehidupan.<br /><br />

III. LANDASAN BERSIKAP<br />

Sebagai seorang kader IPNU dalam menjalankan kegiatan pribadi dan berorganisasi harus tetap memegang teguh nilai-nilai yang diusung dari norma dasar keagamaan Islam ala ahlussunnah wal jama’ah dan norma yang bersumber dari sikap kemasyarakatan. Landasan nilai ini diharapkan dapat membentuk watak diri seorang kader IPNU. <br />Nilai-nilai tersebut adalah:<br />1. Diniyyah/agama<br />a. Tauhid (at-tauhid) merupakan keyakinan yang kokoh terhadap Allah swt. Sebagai ruh dan sumber inspirasi berpikir dan bertindak.<br />b. Persaudaraan dan persatuan (al-ukhuwwah wal-ittihad) dengan mengedepankan sikap mengasihi (welas asih) sesama makhluk.<br />c. Keluhuran moral (al-akhlaqul karimah) dengan menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran  (as-shidqu). Bentuk kebenaran dan kejujuran yang dipahami:<br />As-shipqu ila llah.  Sebagai pribadi yang beriman selalu  melandasi diri dengan perilaku benar dan jujur, karena setiap tindakan  senantiasa dilihat sang khalik. <br />Ashidqu ila ummah, sebagai makhluk sosial dituntut bersikap kesalehan dalam bermasyarakat, jujur dan benar kepada masyarakat dengan senantiasa melakukan pencerahan terhadap masyarakat.<br />Ash shidqu ila an-nafsi, jujur dan benar kepada  diri sendiri merupakan sikap perbaikan diri dengan semangat peningkatan kualitas diri. <br />Amar ma;ruf nahy munkar, sikap dakwah selalu menyerukan kebaikan dan mencegah segala bentuk kemunkaran.<br /><br />2. Keilmuan, prestasi, dan kepeloporan<br />a. menunjunjung tinggi ilmu pngetahuan dan teknologi dengan semangat peningkatan kualitas SDM IPNU dan menghargai ahli-ahli atau sumber pengetahuan secara proporsional.<br />b. Menunjunjung tinggi nilai-nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala. <br />c. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat.<br />3. Sosial kemasyarakatan <br />a. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semangat mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.<br />b. Selalu siap mempelopori setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia.<br /><br />4. Keikhlasan dan loyalitas<br />a. menjunjung tinggi sifat keikhlasan dalam berkhidmah dan berjuang<br />b. menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa, dan negara dengan melakukan ikhtiar perjuangan di bawah naungan IPNU.<br /><br />IV. LANDASAN BERORGANISASI<br />1. Ukhuwwah <br />Sebuah gerakan mengandaikan sebuah kebersamaan, karena itu perlu diikat dengan ukhuwah (persaudaraan) atau solidaritas (perasaan setia kawan)  yang kuat (al urwatul wutsqo) sebagai perekat gerakan tersebut. Adapun gerakan ukhuwah  IPNU adalah meliputi :<br />a. Ukhuwwah Nahdliyyah<br />Sebagai gerakan yang berbasis NU ukhuwah nahdliyah harus menjadi prinsip utama sebelum melangkah ke ukhuwah yang lain. Ini bukan untuk memupuk fanatisme (keyakinan sempit) kelompok, melainkan sebaliknya sebagai pengokoh ukhuwah yang lain sebab hanya kaum nahdiyin yang mempunyai sistem pemahaman keagamaan yang mendalam dan bercorak sufistik (kesederhanaan) yang moderat dan selalu menghargai perbedaan serta gigih menjaga kemajemukan budaya, tradisi adat, kepercayaan dan agama yang ada.<br />Karena itu kader IPNU yang mengabaikan ukhuwah nahdiyah adalah sebuah penyimpangan. Sebab ukhuwah tanpa dasar aqidah yang kuat akan mudah pudar karena tanpa dasar dan sering dicurangi dan dibelokkan untuk kepentingan pribadi. Ukhuwah nahdliyah berperan sebagai penggodokan dan pemotongan ukhuwah yang lain. Karena ukhuwah bukanlah tanggapan yang bersifat serta merta, melainkan sebuah keyakinan, penghayatan, dan pandangan yang utuh serta matang yang secara terus menerus perlu dikuatkan.<br />b. Ukhuwwah Islamiyyah<br />Ukhuwah Islamiyah mempunyai ruang lingkup lebih luas yang melintasi aliran dan madzhab dalam Islam. Oleh sebab itu ukhuwah ini harus dilandasi dengan kejujuran, cinta kasih, dan rasa saling percaya. Tanpa landasan tersebut Ukhuwah Islamiyah sering diselewengkan oleh kelompok tertentu untuk menguasai yang lain, sehingga menjadi ukhuwah kusir kuda, yang satu menjadi tuan besar yang lain diperlakukan sebagai kuda tunggangan.<br />Ukhuwah Islamiyah semacam itu harus ditolak, sehingga harus dikembangkan ukhuwah islamiyah yang jujur dan amanah serta adil. Ukhuwah tersebut dijalankan untuk kesejahteraan umat Islam serta tidak diarahkan untuk menggangu ketentraman agama atau pihak yang lain. Dengan ukhuwah islamiyah yang jujur dan adil itu umat  Islam Indonesia dan seluruh dunia bisa saling mengembangkan, menghormati, melindungi serta membela dari gangguan kelompok lain yang membahayakan keberadaan iman, budaya dan masyarakat Islam secara keseluruhan.<br />c. Ukhuwwah Wathaniyyah<br />Sebagai organisasi yang berwawasan kebangsaan, maka IPNU berkewajiban untuk mengembangkan dan menjaga ukhuwah wathoniyah (solidaritas nasional). Dalam kenyataannya bangsa ini tidak hanya terdiri dari berbagai warna kulit, agama dan budaya, tetapi juga mempunyai berbagai pandangan hidup. <br />Bagi IPNU yang lahir dari akar budaya bangsa ini tidak pernah mengalami ketegangan dengan konsep kebangsaan yang ada. Sebab keislaman IPNU adalah bentuk dari Islam Indonesia (Islam yang berkembang dan melebur dengan tradisi dan budaya Indonesia) bukan Islam di Indonesia (Islam yang baru datang dan tidak berakar dalam budaya Indonesia). Karena itu IPNU berkewajiban turut mengembangkan ukhuwah wathoniyah untuk menjaga kerukunan nasional. Karena dengan adanya ukhuwah wathoniyah ini keberadaan NU, umat Islam dan agama lain terjaga. Dan bila seluruh bagian bangsa ini kuat, maka akan disegani bangsa lain dan mampu menahan serangan dari bangsa lain yang ingin menjajah bangsa ini. Dalam kepentingan itulah IPNU selalu gigih menegakkan ukhuwah wathoniyah sebagai upaya menjaga keutuhan dan menjunjung martabat bangsa Indonesia.<br />d. Ukhuwwah Basyariyyah<br />Walaupun NU memegang teguh prinsip ukhuwah Nahdliyah, Islamiyah dan Wathoniyah, tetapi NU tidak berpandangan dan berukhuwah sempit, melainkan tetap menjunjung solidaritas kemanusiaan seluruh dunia, menolak pemerasan dan penjajahan (imperialisme dan neoimperialisme) satu bangsa atas bangsa lainnya karena hal itu mengingkari martabat kemanusiaan. <br />Menggugat kenyataan ini maka penciptaan tata  dunia yang adil tanpa penindasan dan peghisapan merupakan keniscayaan. Menggunakan isu kemanusiaan sebagai sarana penjajahan merupakan tindakan moral yang harus dicegah agar tidak meruntuhkan martabat kemanusiaan.<br />Ukhuwah Basyariyah memandang manusia sebagai manusia tidak tersekat oleh tembok agama, warna kulit atau pandangan hidup; semuanya ada dalam satu persaudaraan dunia. Persaudaran ini tidak bersifat pasif (diam di tempat), tetapi selalu giat membuat inisiatif (berikhtiar) dan menciptakan terobosan baru dengan berusaha menciptakan tata dunia baru yang jauh dari penjajahan, yang lebih berguna bagi kondisi manusia masa kini dan yang akan datang.<br />2. Amanah<br />Dalam kehidupan yang serba bersifat duniawi (kebendaan), sikap amanah mendapat tantangan besar. Namun demikian perlu terus dipertahankan. Sikap amanah (saling percaya) ditumbuhkan dengan membangun kejujuran baik pada diri sendiri maupun pihak lain.<br />Sikap tidak jujur akan menodai prinsip amanah, karena itu pelakunya harus dikenai sangsi organisasi secara tegas. Amanah sebagai roh gerakan harus terus dipertahankan, dibiasakan dan diwariskan secara turun temurun dalam sikap dan perilaku sehari-hari. <br />3. Ibadah (pengabdian)<br />Berjuang dalam NU untuk masyarakat dan bangsa haruslah berangkat dari semangat pengabdian, baik mengabdi pada IPNU, umat, bangsa, dan seluruh umat manusia. Dengan demikian mengabdi di IPNU bukan untuk mencari penghasilan mencari pengaruh atau mencari jabatan. Tetapi memiliki tugas berat dan mulia. <br />Dengan semangat pengabdian itu mereka akan gigih dan ikhlas membangun dan memajukan IPNU. Tanpa semangat pengabdian, IPNU hanya dijadikan tempat mencari kehidupan, menjadi batu loncatan untuk memproleh kepentingan pribadi atau golongan. Selama ini IPNU terbengkalai karena hilangnya rasa pengabdian bagi para pengurusnya sehingga tidak giat di kantor, tidak mempunyai prakarsa menggerakkan kader organisasi dan tidak melakukan terobosan pemikiran atau langkah terobosan yang nyata, seperti penataan organisasi serta mengelola pola kerja.<br />Maka semangat pengabdian itu yang harus dinamakan dalam gerakan agar NU berkembang lebih dinamis dengan banyaknya sukarelawan yang siap berjuang mengembangkan organisasi.<br />4. Asketik (Kesederhanaan)<br />Sikap amanah dan pengabdian muncul bila seseorang memiliki jiwa asketik (bersikap zuhud/sederhana). Karena pada dasarnya sikap materialistik (hubbud dunya) akan menggerogoti sikap amanah dan akan merapuhkan semangat pengabdian, karena dipenuhi pamrih duniawi. Maka, sikap zuhud adalah suatu keharusan bagi aktivis IPNU. Sikap ini bukan berarti anti duniawi atau anti kemajuan, akan tetapi menempuh hidup sederhana, tahu batas, tahu kepantasan sebagaimana diajarkan oleh para salafus sholihin (orang-orang shaleh terdahulu) Dengan sikap asketik itu keutuhan dan mutu perjuangan IPNU akan terjaga, sehingga kekuatan moral yang dimiliki bisa digunakan untuk menata bangsa ini.<br />5. Non Kolaborasi<br />Landasan berorganisasi yang ke-5 ini perlu ditegaskan kembali, mengingat dewasa ini banyak lembaga yang didukung oleh pemodal asing yang menawarkan berbagai jasa dan dana yang tujuannya bukan untuk memandirikan, melainkan untuk menciptakan ketergantungan dan pengaburan terhadap khittah serta prinsip-prinsip gerakan NU secara umum, melalui campur tangan dan pemaksaan ide dan agenda mereka.<br />Karena itu untuk menjaga kemandirian, maka gerakan IPNU menolak untuk berkolaborasi (bekerja sama) dengan kekuatan pemodal asing baik secara akademik, politik, maupun ekonomi. Selanjutnya kader-kader IPNU berkewajiban membangun paradigma (kerangka) keilmuan sendiri, sistem politik dan sistem ekonomi sendiri yang berakar pada budaya sejarah bangsa nusantara sendiri.<br />6. Komitmen Pada Korp<br />Untuk menerapkan prinsip-prinsip serta menggerakkan roda organisasi maka perlu adanya kesetiaan dan kekompakan dalam korp (himpunan) organisasi. Karena itu seluruh korp harus secara bulat menerima keyakinan utama yang menjadi pandangan hidup (akidah ideologi) dan seluruh prinsip organisasi.<br />Demikian juga pimpinan tidak hanya cukup menerima ideologi akidah serta prinsip pergerakan tetapi harus menjadi pelopor, teladan dan penggerak prinsip-prinsip tersebut. Segala kebijakan pimpinan haruslah mencerminkan suara seluruh anggota organisasi. Dengan demikian seluruh korp harus tunduk dan setia pada pimpinan.<br />Dalam menegakkan prinsip dan melaksanakan program pimpinan harus tegas memberi ganjaran dan sanksi pada korp, demikian juga harus berani bersikap terbuka dan tegas pada pimpinan dan berani menegur dan meluruskan bila terjadi penyimpangan.<br />7. Kritik-Otokritik<br />Untuk menjaga keberlangsungan organisasi serta memperlancar jalannya program maka perlu adanya cara kerja organisasi. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kemandekan atau bahkan penyimpangan maka dibutuhkan semacam peraturan sebagai kontrol terhadap kinerja dalam bentuk kritik-otokritik (saling koreksi dan introspeksi diri). Kritik-otokritik ini bukan dilandasi semangat permusuhan tetapi dilandasi semangat persaudaraan dan rasa kasih sayang demi lancarnya roda organisasi IPNU.<br />

VI. JATI DIRI IPNU<br />

1. Hakikat dan Fungsi IPNU<br />

a. Hakikat<br />

IPNU adalah wadah perjuangan Pelajar NU untuk mensosialisasikan komitmen nilai-nilai keislaman, kebangsaan, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran dalam upaya penggalian dan pembinaan kemampuan yang dimiliki sumber daya anggota, yang senantiasa mengamalkan kerja nyata demi tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah wal jamaah dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 <br />

b. Fungsi <br />

IPNU berfungsi sebagai:<br />a. wadah berhimpun Pelajar NU untuk mencetak kader akidah.<br />b. Wadah berhimpun pelajar NU untuk mencetak kader ilmu<br />c. Wadah berhimpun pelajar NU untuk mencetak kader organisasi. <br />Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran panggilan dan pembinaan (target kelompok) IPNU adalah setiap Pelajar bangsa yang syarat keanggotaannya, sebagaimana ketentuan dalam PD/PRT IPNU<br />

2. Posisi IPNU<br />a. Interen (dalam lingkungan NU)<br />IPNU sebagai perangkat dan badan otonom NU, secara kelembagaan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan badan-badan otonom lainnya, yaitu memiliki tugas utama melaksanakan kebijakan NU, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Masing-masing badan yang berdiri sendiri itu hanya dapat dibedakan dengan melihat kelompok yang menjadi sasaran dan bidang garapannya masing-masing.<br />b. Eksteren (di luar lingkungan NU)<br />IPNU adalah bagian dari  generasi muda  Indonesia yang memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa dan Negara Republik Indonesia dan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya dan cita-cita perjuangan NU serta cita-cita bangsa Indonesia.<br />

3. Orientasi  (Tujuan) IPNU<br />Orientasi IPNU berpijak pada kesemestaan organisasi dan anggotanya untuk senantiasa menempatkan pergerakan pada ranah keterpelajaran dengan kaidah “belajar, berjuang, dan bertaqwa,” yang bercorak dasar dengan wawasan kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran.<br />a. Wawasan kebangsaan<br />Wawasan kebangsaan ialah wawasan yang dijiwai oleh asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang mengakui keberagaman masyarakat, budaya, yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, hakekat dan martabat manusia, yang memiliki tekad dan kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara berlandaskan prinsip keadilan, persamaan, dan demokrasi. <br /><br /><br />b. Wawasan keislaman<br />Wawasan keislaman adalah wawasan yang menempatkan ajaran agama Islam sebagai sumber dorongan dan ilham dalam memberikan makna dan arah pembangunan manusia. Ajaran Islam sebagai ajaran yang merahmati seluruh alam, mempunyai sifat memperbaiki dan menyempurnakan seluruh nilai-nilai  kemanusiaan. Oleh karena itu, IPNU dalam bermasyarakat bersikap tawashut dan I’tidal. Menunjung tinggi prinsip keadilan dan kejujuran di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bersikap membangun dan menghindari sikap tatharruf (ekstrem, melaksanakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kezaliman); tasamuh, toleran terhadap perbedaan pendapat, baik dalam masalah keagamaan, kemasyarakatan, maupun kebudayaan; tawazun, seimbang dan menjalin hubungan antar manusia dan Tuhannya, serta manusia dengan lingkungannya; amar ma’ruf nahy munkar, memiliki kecenderungan untuk melaksanakan usaha perbaikan, serta mencegah terjadinya kerusakan harkat kemanusiaan dan kerusakan lingkungan, mandiri, bebas, terbuka, bertanggung jawab dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.<br />c. Wawasan keilmuan<br />Wawasan keilmuan adalah wawasan yang menempatkan ilmu pengetahuan  sebagai alat  untuk  mengembangkan kecerdasan anggota dan kader. Sehingga ilmu pengetahuan memungkinkan anggota untuk mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya dan tidak menjadi beban sosial lingkungan. Dengan ilmu pengetahuan, akan mencetak kader mandiri, memiliki harga diri, dan kepercayaan diri sendiri dan dasar kesadaran yang wajar akan kemampuan dirinya dalam masyarakat sebagai anggota masyarakat yang berguna. <br />d. Wawasan kekaderan<br />Wawasan kekaderan ialah wawasan yang menempatkan organisasi sebagai wadah untuk membina anggota, agar menjadi kader–kader yang memiliki komitmen terhadap pandangan hidup dan cita–cita perjuangan organisasi, bertanggungjawab dalam mengembangkan dan membentengi organisasi, juga diharapkan dapat membentuk pribadi yang menghayati dan mengamalkan ajaran Islam ala Ahlussunnah wal jamaah, memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan utuh, memiliki komitmen terhadap ilmu pengetahuan, serta memiliki kemampuan teknis mengembangkan organisasi, kepemimpinan, kemandirian, dan populis.<br />e. Wawasan Keterpelajaran<br />Wawasan keterpelajaran ialah wawasan yang menempatkan organisasi dan anggota pada pemantapan diri sebagai center of excellence (pusat keutamaan) pemberdayaan sumberdaya manusia terdidik yang berilmu, berkeahlian, dan mempunyai pandangan ke depan, yang diikuti kejelasan tugas sucinya, sekaligus  rencana yang cermat dan pelaksanaannya yang berpihak pada kebenaran, kejujuran, serta amar ma’ruf nahi munkar. Wawasan ini mensyaratkan watak organisasi dan anggotanya untuk senantiasa memiliki hasrat ingin tahu, belajar terus menerus, dan mencintai masyarakat belajar. Mempertajam kemampuan mengurai dan menyelidik persoalan, kemampuan menyelaraskan berbagai pemikiran, agar dapat membaca kenyataan dan gerak kehidupan yang sesungguhnya; <br />terbuka menerima perubahan, pandangan dan cara-cara baru, menjunjung tinggi nilai, norma, kaidah dan tradisi serta sejarah keilmuan dan memandang ke masa depan.<br /><br />Ditetapkan Jakarta<br />        <br />

11 Juli 2006 MIPNU JEMBER



BAB 2

PENCARIAN WACANA BARU



MASA PERGULATAN (1981 - 1991)



Kongres VIII IPPNU



Pada tanggal 20-24 Juni 1981 IPNU dan IPPNU melangsungkan kongres di Cirebon, Jawa Barat. Upacara pembukaan yang dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 20 Juni sejak pukul 20.30 sampai 22.15 WIB diisi oleh sambutan-sambutan dari Ketua Umum PP IPNU dan IPPNU, H. Mahbub Junaidi yang dalam hal ini mewakili ketua umum PBNU, Dr. M. Tolchah Mansoer sebagai salah satu pendiri IPNU, dan walikota Cirebon. Sidang pleno pertama baru dilaksanakan keesokan harinya dengan pembagian peserta kongres menjadi tiga komisi yang terdiri atas: Komisi A yang membidangi organisasi dan PD/PRT, Komisi B membidangi Program Kerja, serta Komisi C membidangi Usul-usul Umum. Pada Komisi B dan C peserta dari IPNU dan IPPNU digabung menjadi satu.

 Beberapa keputusan penting yang dihasilkan dalam kongres VIII IPPNU ini antara lain: perubahan pasal 2 PD tentang Landasan Perjuangan dari Piagam Jakarta ke Pancasila dan UUD 1945, masuknya lambang secara langsung ke dalam PD/PRT, serta masalah warna seragam IPPNU.(1) Pada PD IPPNU hasil kongres 1976 pasal 2 tentang dasar berbunyi:



Organisasi berdasarkan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah serta menerima dan mempertahankan Undang-Undang Dasar RI '45 yang dijiwai Piagam Jakarta.(2)



Dalam kongres Cirebon pasal tersebut berubah menjadi:



Organisasi ini berdasarkan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dan menerima serta mempertahankan Undang-Undang Dasar '45 yang dijiwai Pancasila.(3)



Perubahan ini berkaitan dengan tekanan dari pemerintah dalam usaha mengurangi radikalisme politik yang dirasa masih tampak dalam penerimaan secara resmi Pancasila versi Piagam Jakarta ketimbang versi mukadimah UUD 1945 dalam asas organisasi. Tekanan ini tampak dari sikap pemerintah yang mempersulit panitia dalam mendapatkan izin penyelenggaraan kongres, walaupun pada akhirnya izin tersebut diberikan menjelang pelaksanan dan walikota Cirebon turut menghadiri acara pembukaan kongres. Tekanan ini juga berkaitan dengan didirikannya OSIS sebagai wadah resmi pembinaan pelajar walaupun pelaksanaannya belum efektif.

 Pada keputusan bersama tentang program kerja IPNU-IPPNU yang selanjutnya disebut Pola Umum Program Kerja Nasional (PUPKN), disebutkan bahwa program itu harus menjadi pedoman penyusunan dan pelaksanaan kegiatan organisasi pada seluruh tingkatan, mulai dari PP hingga PR. Program tersebut terlihat lebih detail daripada hasil kongres sebelumnya, khususnya dalam penjabaran tentang Pola Pelaksanaan Kegiatan yang meliputi identifikasi permasalahan, perumusan tujuan, penetapan sasaran, penetapan metoda pendekatan, ketentuan organisasi pelaksana, serta evaluasi dan laporan. Bentuk kegiatan dijabarkan dalam bidang-bidang: individu, organisasi, dakwah dan penerangan, serta olahraga dan seni. Secara lengkap bentuk kegiatan tersebut adalah:

1. Individu

a. Memantapkan ideologi Aswaja secara:

- Formal, dengan memasukkan pelajaran ke-NU-an di sekolah-sekolah LP Ma'arif

- Non formal, dengan pengajian, diskusi, dll.

b. Pengkaderan: mengikuti pedoman latihan pengkaderan dan kepemimpinan sebagaimana diputuskan dalam konbes di Banjarmasin tahun 1979 ditambah dengan silabus yang terarah.

2. Organisasi

a. Mengadakan konsolidasi dan tertib administrasi organisasi

b. Memantapkan eksistensi IPNU dan IPPNU

c. Memasyaratkan IPNU-IPPNU di pondok pesantren dan menyegarkan kembali IPNU-IPPNU di wilayah yang vakum, khususnya di luar Pulau Jawa. Menjajaki kemungkinan terbentuknya IPNU-IPPNU di Timor Timur.(4)

d. Menghidupkan kembali Korps Brigade Pembangunan IPNU-IPPNU

e. Menggalang kerja sama dengan organisasi pelajar lainnya.

3. Dakwah dan Penerangan

a. Merealisasikan hasil lokakarya IPNU-IPPNU tanggal 22-25 Juli 1978 di Jakarta tentang dakwah sebagai media kreativitas kaum remaja.

b. Ittihaadul Muballighin agar dimasukkan secara formal organisatoris sebagai neven jam'iyyah NU.(5)

4. Olahraga dan Seni

Pucuk Pimpinan agar melaksanakan Porseni tingkat nasional minimal satu tahun sekali dalam satu periode.

Dalam program kerja periode 1981-1985 ini disebutkan pula Sarana Penunjang kegiatan IPNU-IPPNU yaitu:

1. Organisasi induk yaitu jam'iyyah NU yang sudah dikenal dalam masyarakat.

2. Pengembangan kemampuan berpikir dan ideologi organisasi warga IPNU-IPPNU, peningkatan kreativitasnya melalui diskusi, klub studi, studi wisata, dll.

3. Praktek ketrampilan organisasi melalui latihan-latihan praktek di dalam organisasi kepengurusan.

4. Ikut aktif melibatkan diri dalam kegiatan kepemudaan di forum internasional.

5. Mengadakan atau ikut aktif dalam kegiatan sosial pada forum nasional.

6. Menyusun sejarah perjuangan IPNU-IPPNU dari masa ke masa.

7. Pucuk Pimpinan agar memelopori berlangsungnya kongres pemuda Islam se-Indonesia.



Kongres Cirebon ini berhasil memutuskan beberapa pokok pikiran yang meliputi bidang-bidang pendidikan, generasi muda, sosial ekonomi, kesadaran berpolitik, dan rekomendasi untuk PBNU. Beberapa hal yang menonjol dalam bidang pendidikan adalah rekomendasi bahwa pelajar yang memiliki nilai empat dalam mata pelajaran pendidikan agama hendaknya tidak dinaikkan ke kelas berikutnya karena akidah dan pengetahuan adalah dua hal yang berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan. Kongres meminta agar bulan puasa dijadikan sebagai hari libur resmi selama satu bulan penuh. Kongres menyoroti beredarnya buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan sejarah Indonesia yang isinya jelas-jelas bertentangan dengan akidah dan mengaburkan peranan umat Islam di Indonesia. Kongres meminta agar buku semacam itu ditarik dari peredaran. Pelajaran wiraswasta direkomendasikan oleh kongres untuk dimasukkan sebagai salah satu mata pelajaran di kalangan pelajar SLP dan SLA agar mereka memiliki bekal yang dapat digunakan untuk mengembangkan dirinya sendiri dalam masyarakat.

 Hal lain yang dibahas dalam pokok pikiran di bidang pendidikan adalah perlunya dibentuk "Student Bank" yang tugasnya mengalokasikan dana pengembangan sistem pendidikan nasional mengingat betapa minim anggaran pendidikan dalam APBN. IPNU-IPPNU menyorot tajam soal tidak diakuinya eksistensi organisasi pelajar di lingkungan sekolah selain OSIS, karena hal ini dapat menghambat penyaluran kegiatan ekstra kurikuler dan pengembangan minat para pelajar.



Dalam pokok pikiran mengenai generasi muda, disebutkan agar semua pihak mengurangi kecurigaannya terhadap gerak langkah generasi muda Islam karena hal ini jika dikembangkan justru menghambat proses pembangunan nasional. Justru organisasi yang bersifat sukuismelah yang seharusnya dihapuskan dari tanah air karena keberadaan mereka menghalangi terciptanya ukhwah Islamiah. Dalam rangka membangun persatuan dan kesatuan generasi muda Islam, IPNU-IPPNU mengajak seluruh pihak yang berkepentingan untuk mengadakan kongres nasional pemuda Islam.



Dalam bidang sosial ekonomi, IPNU-IPPNU menyorot banjirnya PMA (Penanaman Modal Asing) agar tidak malah justru merepatriasi keuntungan yang didapat ke negara asal, namun juga tetap memberikan keuntungan untuk pengembangan golongan ekonomi lemah. IPNU-IPPNU berharap agar program keluarga berencana dapat dilaksanakan secara merata baik kepada pribumi maupun non pribumi.



Menjelang Pemilu 1982, kongres berharap agar seluruh asas dalam pemilu hendaknya benar-benar dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintah. ABRI sebagai kekuatan inti pertahanan dan keamanan diharapkan mampu berperan sebagai stabilisator dan dinamisator perkembangan politik tanah air. IPNU-IPPNU juga mendesak kepada pemerintah untuk tidak menghalang-halangi para pelajar wanita yang hendak melaksanakan syariat Islam dalam berpakaian sebagai seorang muslimat, meskipun tidak sesuai dengan seragam sekolah yang bersangkutan. Kongres menegaskan agar pemerintah melalui Badan Sensor Film (BSF) betul-betul berperan sebagai penyaring budaya dan ideologi yang meracuni generasi muda. Kepada PBNU kongres meminta agar Aswaja dapat dijadikan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah di lingkungan NU. Sebagai sumbangan NU terhadap upaya mengatasi masalah ketenagakerjaan kongres meminta agar lembaga Sarbumusi dapat dihidupkan kembali.



Kongres VII IPPNU berakhir dengan penetapan Titin Asiyah Thohir yang sebelumnya menjabat Sekbid Organisasi sebagai Ketua Umum PP IPPNU periode 1981-1985. Untuk membantu penyusunan pengurus kongres menetapkan dua orang formatur. Berdasarkan hasil rapat formatur ini kemudian dibentuk kepengurusan PP sebagai berikut:

Dewan Pelindung:

Pengurus Besar NU

PP Muslimat NU



Dewan Pembina:

Dra. Misnar Ma'ruf

Dra. Muti'ah Muslih

Dra. Machsusoh Ujiati

Dra. Cholila Rodja



Ketua Umum: Titin Asiyah Thohir

Ketua I: Soraya Dewi Aziz

Ketua II: Mufidah



Sekretaris Umum: Ellyati Rosida

Sekretaris I: Poppy Huriyati

Sekretaris II: Latifah



Sekretaris Bidang:



Organisasi Kader & Alumni:

Siti Muthmainnah

Dede Mahmudah



Pendidikan Olahraga & Seni:

Isnaeni

Hilda Hidayat

Faizah Machfudz



Keuangan:

Anna Mursyad

Mardiyah



Logistik:

Upik Marnita

Anisah



Penerangan Pers & Dakwah:

Ruhaesti

Siti Djariyah



Di bawah pimpinan Titin, kegiatan IPPNU banyak diwarnai oleh usaha-usaha konsolidasi intern dan pembinaan pelajar seperti diadakannya lomba-lomba karya tulis dan mengintensifkan pembinaan siswa-siswa 'aliyah khususnya yang berada di pondok-pondok pesantren, SMU dan PGA. Sesuai dengan amanat kongres, PP turut serta dalam Konperensi Pemuda Asia Afrika di Hotel Indonesia, Jakarta. PP mengirimkan wakilnya dalam lokakarya KB yang diadakan BKKBN dan Penataran Pemuda P-4. Keterbatasan dana masih menjadi penghambat PP memenuhi undangan-undangan ke daerah sehingga tercatat turba hanya dilaksanakan ke Bandung dan Cirebon.(6)



Pada tanggal 6-7 Mei 1986 diadakan seminar yang menghasilkan Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Kearsipan IPNU dan IPPNU seluruh Indonesia. Dalam seminar ini dilakukan penyempurnaan rumusan administrasi lama hasil kongres Cirebon berdasarkan pemaduan pedoman surat-menyurat IPNU-IPPNU dan pembuatan surat dinas dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), Arsip Nasional, Sekretariat Jenderal DPR RI, dan Sekretariat Jenderal PBNU.





Menjadi Ikatan Putri-Putri NU



Sejak paruh kedua dekade 70-an pemerintah melalui Departemen P&K sudah memberlakukan kebijakan satu organisasi untuk para pelajar. Tampaknya ideologi pembangunanisme yang sangat menekankan stabilitas politik membuat pemerintah tidak mau beresiko membiarkan dunia akademik 'terkontaminasi' oleh unsur politik manapun sehingga tuntutan IPNU-IPPNU dalam kongres Cirebon untuk meninjau kembali kebijakan ini sama sekali tidak digubris. Pemerintah bahkan lebih jauh melangkah untuk melakukan penyeragaman politik dengan memperkenalkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh partai politik dan ormas di tanah air. Ide ini pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soeharto pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1982.(7) Walaupun akhirnya NU menerima kebijakan tersebut, prosesnya memakan waktu yang cukup lama. Berikut ini akan diuraikan secara singkat bagaimana NU menerima keputusan tersebut.



Sejak akhir tahun 70-an tekanan politik dari pemerintah yang dialami sejumlah lembaga NU di daerah, khususnya yang beroperasi langsung di tengah masyarakat, membuat mereka terpaksa melepaskan label NU. Menyusul perubahannya menjadi jam'iyah, NU menganggap perlu merespon berbagai tekanan diatas dengan menegaskan posisinya sebagai organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan melalui gerakan kembali ke khitthah 1926. Dalam musyawarah nasional alim ulama NU di Situbondo, Jawa Timur, tanggal 18-21 Desember 1983 ditetapkan pemulihan khitthah yang intinya berisikan dua hal yaitu: Pertama, diteguhkannya kembali peran ulama dalam kepemimpinan formal NU. Kedua, diputuskan bahwa NU sebagai jam'iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan lainnya.(8) Dalam menanggapi 'ajakan' pemerintah tentang asas tunggal, makalah K.H.Ahmad Siddiq yang menanggapi ajakan tersebut sebagai 'patut dipertimbangkan dengan wajar dengan kejernihan pikiran dan kesungguhan' mendapat tentangan yang keras dari anggota komisi khitthah munas. Setelah proses perdebatan yang menegangkan, melalui sebuah dokumen yang disebut "Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam", akhirnya Pancasila diterima sebagai asas tunggal oleh NU. Dalam hal ini NU adalah ormas Islam yang pertama kali menerima hal tersebut meskipun RUU Keormasan saat itu sedang dalam pembahasan di DPR. Dengan keputusan ini seluruh badan otonom di bawah NU terikat kewajiban untuk mengikutinya, tidak terkecuali IPNU-IPPNU.



Setelah UU nomor 8 tahun 1985 tentang Keormasan diundangkan, seluruh ormas di tanah air mau tidak mau harus mentaati berlakunya asas tunggal. Beberapa ormas Islam sempat menjadi korban dari berlakunya undang-undang ini. Diantara yang menonjol adalah Pelajar Islam Indonensia (PII) yang dibubarkan pemerintah karena menolak digantinya Islam menjadi Pancasila dalam asas organisasinya. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang semula menolak akhirnya dapat menerima keputusan tersebut, meskipun membuat himpunan mahasiswa ini mengalami perpecahan yang sangat parah menjadi kubu yang menerima versus kubu yang menolak. Belakangan kubu yang menolak menyebut dirinya sebagai HMI-MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) sedangkan kubu yang menerima lebih dikenal sebagai HMI-Dipo.(9)



IPNU dan IPPNU yang sejak semula memang sudah berpedoman pada hasil keputusan muktamar ke-27 NU di Situbondo dengan mudah mengikuti ketentuan tersebut.(10) Sebenarnya batas waktu penyesuaian diri terhadap UU Keormasan berakhir pada tanggal 17 Juni 1987, namun mengingat perubahan PD/PRT hanya bisa dilaksanakan dalam forum kongres, IPNU-IPPNU baru bisa menanggapinya melalui rapat pleno gabungan terbatas PP IPNU-IPPNU dan alumni di hotel Sahid Jaya, Jakarta pada tanggal 29-30 Desember 1986. Pertemuan itu melihat bahwa di dalam tubuh IPNU-IPPNU selama ini terjadi stagnasi pengkaderan. Pucuk Pimpinan organisasi banyak didominasi oleh para aktivis yang usianya sudah melebihi batas-batas yang wajar untuk sebuah organisasi pelajar. Oleh karena itu pertemuan menyepakati dijadikannya momentum kongres sebagai titik legitimasi untuk mengembalikan IPNU-IPPNU ke dalam tradisi kepelajaran sekaligus mempersiapkan perubahan asas organisasi. Ini artinya ingin menjadikan IPNU-IPPNU betul-betul organisasi anak-anak NU sebagaimana dimaksud oleh struktur kelembagaan organisasi di kalangan NU.(11) Hasil pleno gabungan itu mendorong dibentuknya panitia nasional kongres X IPNU dan IX IPPNU yang diberi hak mendayagunakan seluruh potensi organisasi untuk kesuksesan acara tersebut.(12)



Pada kongresnya yang berlangsung tanggal 29 Januari-1 Februari 1988 di PP Mamb'aul Ma'arif, Denanyar, Jombang, IPNU-IPPNU secara resmi mengubah asas organisasinya menjadi Pancasila. Sekitar 2000 peserta kongres menjadi saksi perhelatan nasional yang memang sudah ditunggu-tunggu sejak berakhirnya kepengurusan kongres Cirebon hampir tiga tahun silam. Nada perubahan asas itu memang sudah tampak dalam tema kongres yang bertajuk "IPNU dan IPPNU Menuju Tinggal Landas Pembangunan Bangsa Berdasarkan Pancasila". Hegemoni Orde Baru saat itu begitu kuatnya mencengkeram seluruh ormas sehingga dengan susah payah -sebagaimana kongres Cirebon- panitia kongres Jombang mengantongi izin, meskipun jelas-jelas panitia mencantumkan "Mensukseskan SU MPR RI 1988 bersama Orde Baru" sebagai sub tema. Perizinan yang dipersulit ini berkaitan dengan belum diubahnya asas organisasi secara resmi dalam PD IPNU-IPPNU menjadi Pancasila. Seperti dijelaskan sebelumnya, PD hanya dapat diubah dalam forum kongres, sedangkan batas waktu penyesuaian adalah pertengahan 1987. Oleh karena itu PP berinisiatif untuk mengajukan draf rencana perubahan PD -yang sedianya akan disahkan dalam kongres Jombang- kepada Depdagri sebagai bukti 'loyalitas' IPNU-IPPNU kepada pemerintah Orde Baru. Apa yang kemudian terjadi menunjukkan betapa intervensionisnya pemerintah terhadap kehidupan keormasan. Ini terlihat dari surat jawaban Direktorat Jenderal Sosial Politik Depdagri tanggal 31 Juli 1987 kepada PP IPNU yang secara rinci menyebutkan hal-hal berikut:



 ... mengenai pemberitahuan kepada pemerintah berikut lampirannya, ternyata masih terdapat hal-hal yang perlu mendapat penyempurnaan dan kelengkapan sebagai berikut:

1. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga:

- Pada Muqaddimah alinea IV Organisasi IPNU berasaskan Ketuhanan dst. s/d Rakyat Indonesia. Kalimat Ketuhanan s/d Rakyat Indonesia (cukup ditulis Organisasi IPNU berasaskan Pancasila) dan seyogyanya tidak dijabarkan.

- Bab III pasal AD Organisasi dst. s/d yang berasaskan Pancasila dan UUD '45. Kata "berdasarkan" sama pengertiannya dengan asas, oleh karena itu kata berdasarkan diganti dengan kata asas.

- UUD '45 seyogyanya tidak dicantumkan karena kalau dicantumkan pengertiannya sama dengan asas sedangkan UUD '45 bukan asas.

- Bab V pasal 5 berjudul Dasar Perjuangan, seyogyanya cukup ditulis Perjuangan. Organisasi ini mendasarkan perjuangannya kepada Pancasila dan UUD '45. Kata-kata "mendasarkan" sama pengertiannya dengan asas, jadi seyogyanya ditulis asas saja dan UUD '45 seyogyanya tidak dicantumkan karena bukan merupakan asas. Harap baca PP 18/85 pasal 4.(13)



Tekanan pemerintah untuk segera mengubah asas begitu kuatnya sehingga tak kurang dari Harmoko, Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan IV, menyempatkan diri menghadiri musyawarah generasi muda NU di Jawa Timur untuk 'mensosialisasikan' gagasan tersebut.



Dalam kongres ini, pasal 2 PD tentang dasar organisasi akhirnya diubah menjadi suatu bab tersendiri yaitu bab III tentang asas dan akidah yang terdiri dari dua pasal. Perubahan ini tampaknya mengikuti hal serupa dalam anggaran dasar NU, selengkapnya adalah:



Pasal 2

Organisasi ini berasaskan Pancasila



Pasal 3

Organisasi ini berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama'ah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanbali, Maliki, Hanafi dan Syafi'i.



Berkaitan dengan perubahan asas, di dalam pokok-pokok pikiran tentang pembaharuan dan penyegaran tekad IPNU-IPPNU dikemukakan:



Penataan organisasi sosial politik dan organisasi sosial kemasyarakatan mempunyai arti yang penting dalam meletakkan kerangka landasan pembangunan nasional. Oleh karena itu, penataan organisasi kemasyarakatan yang bersifat keagamaan maupun fungsional kepemudaan profesional yang diatur oleh UU No. 8 tahun 1985 mempunyai konsekuensi terhadap penataan dan pengembangan organisasi IPNU dan IPPNU meliputi Nama dan Asas, untuk mencapai pendayagunaan potensi anggotanya sebagai insan pembangunan. UU No. 8 tahun 1985 ... sebagai dasar hukum dalam upaya penataan, pembinaan, dan pengembangan yang mengandung nilai aktualisasi, pembaharuan dan penyegaran tekad organisasi IPNU dan IPPNU sebagai organisasi remaja ditingkatkan peranan dan fungsinya sebagai wadah berproses kaum muda untuk berprestasi.(14)



IPNU-IPPNU juga 'dipaksa' untuk secara resmi meneguhkan jati dirinya menjadi organisasi remaja ekstra sekolah setelah digagasnya OSIS sebagai wadah resmi pembinaan pelajar. Achsin Zaidi, Ketua Umum PP IPNU 1981-1988 dalam laporan pertanggungjawabannya menyatakan:



"Sebagaimana diketahui, sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang OSIS sebagai wadah resmi pembinaan pelajar, maka sejak saat itulah benih-benih likuidasi organisasi mulai terasa. Organisasi pelajar ekstra mulai kehilangan legitimasi pemerintah." (15)



Sedangkan dalam pokok-pokok pikiran tentang penyegaran tekad IPNU-IPPNU dikemukakan:



Dengan demikian perubahan nama dengan menggantikan kata pelajar menjadi putra dan putri merupakan langkah maju dan sama sekali tidak menghilangkan identitas dan eksistensi IPNU-IPPNU seperti semula, bahkan mempunyai jangkauan lebih luas karena IPNU-IPPNU akan melibatkan kaum remaja Indonesia, baik pelajar maupun bukan pelajar.(16)



Ketua Umum PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid, dalam sambutannya mengusulkan untuk mengubah nama IPNU dan IPPNU menjadi Ikatan Putra-Putri NU disingkat IPPNU meskipun akhirnya kongres tidak sepakat dengan usulan tersebut. Memasuki hari kedua, Mashudi Muchtar atas nama tim perumus membacakan "Deklarasi Jombang" yang berisi tentang perubahan nama yang sekaligus pengintegrasian IPNU dan IPPNU. Nama yang ditawarkan semula adalah Ikatan Remaja Nahdlatul Ulama (IRNU) dan Ikatan Putra-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Dalam sidang pleno gabungan usulan ini mendapat tentangan keras dari peserta kongres, khususnya utusan dari Jawa Tengah. Melalui juru bicaranya, Zahid Arafah, wilayah Jawa Tengah menolak tegas perubahan nama atau penggabungan. Hal itu dipandang tidak sejalan dengan semangat Doktrin Pekalongan yang sudah menegaskan bahwa kemajuan IPNU-IPPNU justru tercapai dalam bentuk organisasi yang terpisah.(17) Utusan dari Yogyakarta juga menyuarakan hal yang senada dengan Jawa Tengah. Ketegangan ini berlanjut hingga pada saat pemilihan ketua umum. Utusan dari Jawa Tengah baik IPNU maupun IPPNU meninggalkan ruang sidang dan mengirim nota kepada Pengurus Besar NU -tembusannya dikirim kepada pimpinan sidang pemilihan- yang isinya menyatakan tidak ikut memilih.(18) Peserta kongres terbelah. Di satu pihak ada yang dapat menerima penggabungan itu, di pihak lain banyak yang mendukung agar IPNU dan IPPNU tetap dipisahkan. Setelah argumentasi yang melelahkan, dalam kongres ini akhirnya diputuskan bahwa IPNU dan IPPNU secara organisatoris tetap terpisah dengan nama masing-masing berubah menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU).(19)



Gagasan untuk kembali kepada tradisi kepelajaran memang sudah cukup mendesak, mengingat jajaran Pucuk Pimpinan banyak diduduki oleh kader-kader berusia jauh di atas usia sekolah yang secara organisatoris lebih sesuai untuk anggota Fatayat atau Ansor. Menyusul hal tersebut gagasan peremajaan pengurus menjadi isu yang mengemuka dalam kongres Jombang -sebuah kenyataan yang sulit ditengah minimnya kader muda yang berpengalaman memegang tampuk kepengurusan, apalagi PD/PRT hasil kongres sebelumnya tidak memberikan batas usia sebagai syarat kepengurusan. Dari kenyataan ini, tampak bahwa program kaderisasi sebagai syarat utama kelanjutan suatu organisasi tidak berjalan dengan baik di IPPNU. Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintah sejak paruh kedua dekade 70-an yang semakin memarginalisasikan peran organisasi-organisasi pelajar ekstra sekolah. Bibit-bibit baru yang bergabung ke dalam IPPNU sejak masa itu turun drastis sehingga membuat kepemimpinan stagnan. Dalam kongres bersejarah -yang mengubah nama organisasi- itu IPPNU secara drastis mengubah batas usia kepengurusan menjadi setinggi-tingginya 25 tahun untuk seluruh tingkatan dari Pimpinan Wilayah hingga Pimpinan Ranting, sedangkan untuk Pucuk Pimpinan ditetapkan setinggi-tingginya 27 tahun. Kongres juga memasukkan 'keagamaan' sebagai klausul baru dalam sifat organisasi, menambah sifat sebelumnya 'kekeluargaan dan kemasyarakatan'.(20) Keputusan penting lainnya adalah kongres -sebagai permusyawaratan tertinggi organisasi- masih tetap dilaksanakan setiap empat tahun sekali.



Tidak seperti kongres-kongres sebelumnya, kongres Jombang ini tidak banyak menghasilkan rekomendasi kepada pihak luar. Hal paling menonjol dari rekomendasi itu adalah sorotan terhadap penjualan kupon "Porkas" atau "SOB" (Sumbangan Olahraga Berhadiah) yang lokasinya berdekatan dengan lokasi pendidikan dan peribadatan serta perlunya dirumuskan konsep dasar pendidikan nasional jangka panjang yang sistematik. Kepada PBNU, kongres berharap agar NU memiliki penafsiran tentang gerakan Syi'ah yang dianggap membahayakan akidah kader-kader NU. IPNU-IPPNU juga berharap agar PBNU merumuskan petunjuk pelaksanaan berkaitan dengan keputusan muktamar NU di Situbondo tentang gerakan kembali ke khitthah 1926.



Agenda terakhir kongres IX IPPNU adalah pemilihan ketua umum periode 1988-1992. Bertindak sebagai presidium sekaligus pimpinan sidang pemilihan adalah Ade Marina (PW IPPNU Jawa Barat) dengan dibantu oleh Neng Madinah, Faizah Idris (PP IPPNU), dan Ny. Shahib Bisri (alumni). Pemilihan ketua berlangsung hampir tanpa persaingan. Lamanya masa jabatan periode sebelumnya dan adanya gagasan peremajaan pengurus melalui pembatasan umur dalam PD/PRT yang baru membuat banyak pengurus PP periode 1981-1988 yang jenuh dan tidak lagi memenuhi syarat sehingga terpilih figur alternatif Ulfah Mashfufah dari panitia nasional kongres sebagai ketua umum merangkap ketua formatur. Untuk membantu ketua terpilih, kongres yang berlangsung tanggal 10-13 Jumadil Akhir 1408 H ini menetapkan Ade Marina, Siti Zainab (mewakili PC), dan Dra. Umroh Machfudzoh (alumni) sebagai formatur. Pelibatan alumni dalam pemilihan ketua dan penyusunan pengurus ini menunjukkan bahwa hubungan anggota dan alumni yang terbangun di dalam IPPNU begitu dekat. Di satu sisi fenomena ini merupakan hal menggembirakan yang menunjukkan bahwa silaturahmi yang terbangun di dalam IPPNU tidak akan terputus dengan selesainya keanggotaan. Kejadian insidental dalam kongres ini juga menunjukkan betapa besar perhatian alumni di saat-saat IPPNU mengalami krisis. Di sisi lain hal ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap otoritas alumni dalam ikut menentukan formasi kepengurusan dus meneguhkan superioritas terhadap proses pengkaderan formal organisasi. Pada kongres-kongres selanjutnya -seiring dengan kemandirian IPPNU- akan kita lihat bahwa hal tersebut tidak lagi terjadi.



Pada tanggal 1 Maret 1988, formatur yang terdiri atas empat orang terpilih hasil kongres Jombang ditambah dengan Dra. Titin Asiyah Thohir mengadakan rapat dan melalui surat keputusan formatur nomor 01/SKF/7455/III/1988 menetapkan susunan pengurus PP IPPNU periode 1988-1992 sebagai berikut:

Dewan Pelindung:

Pengurus Besar NU

PP Muslimat NU



Dewan Pembina:

Dra. Umroh Machfudzoh

Dra. Machsanah

Dra. Machsusoh Ujiati

Dra. Titin Asiyah Thohir

Dra. Ellyati Rosyida



Ketua Umum: Ulfah Mashfufah

Wakil Ketua I: Nur Izzah Ansor

Wakil Ketua II: Sholihah Adnan

Wakil Ketua II: Rini Iriani Musthafa



Sekretaris Jenderal: Siti Marhamah

Wakil sekjen I: Lailil Mukarramah

Wakil sekjen II: Khodijah

Wakil sekjen III: Sri Sundari



Bendahara Umum: Siti Dauliana

Bendahara I: Siti Mamduha

Bendahara II: Wiwiek Robiatul Adawiyah



Departemen-departemen:



Organisasi:

Liyen Darningsih

Masyrifah



Pendidikan dan Pembinaan Kader:

Masdiyah

Nafisah



Dakwah dan Pengabdian Masyarakat:

Ummi Chusnul Chotimah

Nadliroh



Kependudukan dan Lingkungan Hidup:

Yenni

Ida Elvira



Wiraswasta dan Koperasi:

Lathifah Hanum

Eka Virgianti



Olahraga dan Seni:

Nurul Fatchiyati

Kun Machsusy Permatasari



Alumni dan Hubungan Luar Negeri:

Mimin Mastiani

Cholilah



Kepengurusan ini dilantik pada tanggal 17 April 1988 di auditorium DPP KNPI Kuningan, Jakarta. Acara pelantikan pengurus IPNU-IPPNU ini dihadiri antara lain Drs. Asnawi Latief, dan Drs. Tosari Wijaya, keduanya mantan ketua umum IPNU, H.A. Chalid Mawardi, Dubes Syria yang mantan ketua umum GP Ansor, dan Ny. Hj. Wahid Hasyim. Dalam amanatnya, Menteri Pemuda dan Olahraga, Ir. Akbar Tanjung mengatakan agar IPPNU tidak hanya menyiapkan kader-kader untuk kepentingan terbatas di lingkungan NU, akan tetapi harus mampu melahirkan kader-kader bangsa untuk kepentingan nasional.(21) Menpora menyarankan agar IPNU-IPPNU hendaknya mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang berkenaan dengan kepemudaan dan remaja, untuk kemudian menentukan peranannya dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Kepengurusan ini dilantik secara resmi oleh Pengurus Besar NU yang dalam hal ini diwakili oleh Drs. Asnawi Latief atas nama Ketua Umum PBNU. Dalam pesannya, Asnawi berharap agar IPNU-IPPNU istiqomah dalam melakukan perjuangan, melaksanakan hasil kongres "harfan wa ma'nan" dan siap menerima kritik." (22)



Pelantikan ini sekaligus mengawali kiprah IPPNU sebagai calon anggota baru KNPI sehubungan dengan surat permohonan kepada Menpora Akbar Tanjung agar bisa dilibatkan secara aktif dalam federasi ormas kepemudaan seluruh Indonesia itu.(23) Sebelum kongres Jombang, IPPNU masih memiliki kendala untuk bisa diterima sebagai anggota KNPI karena secara administratif nama organisasi masih menunjukkan jati dirinya sebagai organisasi pelajar. Dalam kacamata korporatisme negara yang begitu kuat melalui upaya pemerintah dalam mengendalikan semua kelompok kepentingan dalam masyarakat menjadi satu wadah, penolakan ini merupakan salah satu manifestasi eufimistik belum diakuinya loyalitas dan ketaatan IPPNU terhadap penerapan asas tunggal dan keputusan satu organisasi untuk pelajar. Penolakan ini secara politis menyudutkan IPPNU di tengah konstelasi ormas kepemudaan lain. Dalam struktur masyarakat patron-client Orde Baru yang sangat kental, budaya "mohon restu" dan legitimasi pemerintah adalah senjata yang ampuh dalam melakukan eliminasi bertahap terhadap kekuatan politik manapun yang mengambil posisi berseberangan dengan pemerintah. Bahkan NU -untuk membuktikan loyalitas kewarganegaraannya- lewat muktamar ke-28 tahun 1989 sekali lagi harus menegaskan komitmennya sebagai suatu organisasi yang hanya menaruh perhatian terhadap pelayanan di bidang-bidang sosial-ekonomi, kultural dan pendidikan saja, tidak lagi berkutat dengan politik praktis. Hal inilah yang antara lain mendorong IPPNU untuk tegas memperjuangkan keanggotaannya dalam KNPI. Setelah perubahan mendasar dalam kongres Jombang, upaya IPPNU tersebut membuahkan hasil. Dalam kongres ke-6 KNPI tahun 1990 di Jakarta dan Musyawarah Pimpinan Paripurna KNPI di Lembang, Jawa Barat, bulan Juli 1993, IPPNU diundang sebagai peninjau. Berikutnya pada Kongres Pemuda/KNPI akhir tahun 1993 IPPNU secara resmi menjadi anggota sekaligus pengurus DPP KNPI.





Revitalisasi Kiprah IPPNU



Dua perubahan besar yaitu gerakan kembali ke khitthah yang berujung pada penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi serta perubahan "pelajar" menjadi "putri-putri" menjadi dasar amanat yang harus diemban kepengurusan pasca kongres Jombang. Berkaitan dengan hal tersebut, tugas berat yang harus dilakukan pengurus adalah, pertama mensosialisasikan perubahan nama sekaligus substansi organisasi kepada pihak luar dan kedua, menjabarkan dan melaksanakan operasionalisasi perubahan tersebut kepada seluruh anggota IPPNU. Kesemuanya ini membutuhkan konsolidasi intern yang mantap dan kerja sama yang kooperatif dari pihak-pihak luar, khususnya sesama organisasi pemuda. Muktamar NU ke-27 di Situbondo sebenarnya sudah memberikan pedoman yang baku bagaimana gerakan kembali ke khitthah dilaksanakan. Namun kongres Jombang belum memberikan arahan yang jelas bagaimana orientasi IPNU-IPPNU setelah perubahan namanya. Oleh karena itu, PP berinisiatif untuk mengadakan temu wicara alumni dan seminar citra diri tingkat nasional. Acara ini diselenggarakan di Graha Wisata Remaja, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta pada tanggal 12-16 Oktober 1989. Temu wicara dan seminar ini dihadiri oleh 60 peserta terdiri dari Pucuk Pimpinan, 12 Pimpinan Wilayah dan sejumlah alumni IPNU-IPPNU. Dalam seminar ini dihadirkan beberapa narasumber dari Dedpadgri, Menpora, KNPI, GP Ansor dan Fatayat NU. Acara ini dimaksudkan untuk mempertegas dan memperjelas posisi IPNU-IPPNU pasca kongres Jombang dan pasca khitthah NU, baik dalam lingkungan intern badan otonom NU, maupun secara ekstern di antara ormas-ormas pemuda di tanah air.(24) Hasil-hasil seminar ini kemudian disahkan di Lampung sebagai salah satu keputusan konbes IPNU-IPPNU.



Pada tanggal 13-16 Oktober 1990, IPPNU -bersama IPNU- mengadakan konperensi besarnya yang ke-4 setelah konbes-konbes sebelumnya di Pekalongan, Semarang dan Banjarmasin. Konbes yang dilaksanakan di PP Darul Ma'arif, Tegineneng, Lampung Selatan ini membahas juklak organisasi, administrasi, dan kaderisasi serta memberikan rekomendasi untuk pelaksanaan kongres XI IPNU dan X IPPNU. Peserta konbes mendapat pengarahan dari beberapa menteri Kabinet Pembangunan V diantaranya Menneg Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Menneg UPW, Menteri Agama, Menteri Penerangan dan Menneg Pemuda dan Olahraga. Di samping itu konbes juga dihadiri oleh Ketua Umum PBNU K.H.Abdurrahman Wahid yang memaparkan "Arah Strategi PBNU dalam Mempersiapkan Kader-kader Jam'iyah".



Revitalisasi sistem pengkaderan memang sudah menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat adanya dua kelemahan mendasar dalam sistem kaderisasi IPPNU selama satu dekade terakhir yaitu: Pertama, kurang intensifnya pelaksanaan pengkaderan yang dilakukan organisasi hampir di semua tingkatan kepengurusan; dan kedua, kelemahan dari sistem pengkaderan itu sendiri.(25) Sistem kaderisasi yang dipakai sampai saat itu adalah sistem kaderisasi yang dihasilkan konbes IPNU-IPPNU tahun 1979 di Banjarmasin. Wajar jika sistem itu dinilai tidak lagi memenuhi tuntutan kehidupan organisasi yang sudah mengalami perubahan cukup mendasar selama satu dekade. Untuk menjawab dinamika organisasi yang berubah semakin cepat konbes gabungan IPNU-IPPNU ini menghasilkan Juklak Pengkaderan. Di samping itu konbes menyusun Pedoman Pelaksanaan Organisasi dan Administrasi serta Citra Diri IPNU-IPPNU sebagai petunjuk operasional perubahan kata "pelajar" menjadi "putra-putri". Kongres mendatang direkomendasikan oleh konbes untuk diadakan di Jawa Tengah.



Sejalan dengan kiprah PBNU, dalam hal ini K.H.Abdurrahman Wahid, yang memelopori berdirinya Forum Demokrasi pada tahun itu, IPNU-IPPNU dalam konbesnya kembali menggeliat menyuarakan keprihatinan mereka terhadap bidang-bidang yang dianggap timpang. Dalam pokok-pokok pikiran mengenai Pembangunan Politik, konbes secara tidak langsung menyoroti marjinalisasi peran politik yang terus berlangsung serta rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan bernegara sebagai berikut:



Perkembangan politik dalam konteks demokratisasi harus menghindarkan kecenderungan marjinalisasi setiap kekuatan dan potensi politik yang ada pada kelompok-kelompok informal di luar supra dan infra struktur politik yang ada. Kekuatan sosial politik yang ada pada kelompok-kelompok kecil harus tetap mendapatkan tempat untuk tetap eksis dan berkembang ...

Harus dihindarkan adanya image bahwa kegiatan politik untuk masyarakat terbatas dalam pengertian pemilu yang lima tahun. Untuk menghindarkan hal itu, maka komunikasi politik dari para pelaku politik terutama di tingkat pusat dengan masyarakat yang ada di pedesaan harus dijalin secara efektif ...(26)



Nuansa kritis yang kembali muncul dalam tubuh IPNU-IPPNU ini menandakan bahwa pergulatan internal organisasi, yang selama hampir satu dekade sebelumnya 'dipaksa' untuk menata kembali bentuk, tujuan, sasaran, dan bidang garapannya -setelah berbagai upaya depolitisasi pelajar dilakukan oleh pemerintah Orde Baru- telah berakhir. Saat bagi IPNU-IPPNU untuk mereaktualisasi kiprahnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat sudah tiba, namun di saat yang sama hegemoni pemerintah masih kuat mencengkeram seluruh kekuatan politik di tanah air. Oleh karena itu masih tampak adanya butir-butir pemikiran konbes yang bernada membela status quo, terutama peran politik ABRI seperti dalam ungkapan berikut:



ABRI sebagai salah satu unsur kekuatan pembangunan selama ini telah mengambil peranan positif dengan dwifungsinya. IPNU-IPPNU berpendirian, pelaksanaan dwifungsi ABRI perlu ditingkatkan secara kualitatif untuk mendorong terciptanya mekanisme kehidupan politik nasional yang mantap dan munculnya prakarsa-prakarsa dinamis dari seluruh anggota masyarakat sebagai manifestasi kehidupan demokrasi.(27)



Pernyataan tersebut sebenarnya menunjukkan ambiguitas IPNU-IPPNU dalam memandang demokratisasi. Melestarikan dwifungsi di satu sisi dan menegakkan demokrasi di sisi lain adalah dua hal yang bertentangan. Dalam kacamata sejarah politik dunia, supremasi sipil memang tidak harus menjadi syarat tegak demokrasi. Namun hal yang salah dalam sistem politik di tanah air adalah dengan adanya dwifungsi ABRI yang memberi peran sebagai stabilisator dan dinamisator, maka peluang militerisasi birokrasi menjadi begitu terbuka. Begitu kuat peran politik ABRI, dapat dilihat dari adanya Direktorat Sosial Politik yang bernaung di bawah Departemen Dalam Negeri yang berwenang penuh mengatur setiap izin keramaian. Ketua Umum PBNU, K.H.Abdurrahman Wahid, dengan Forum Demokrasinya berkali-kali menjadi korban pencekalan sebagai narasumber di berbagai forum akibat politik perizinan ini. Selanjutnya, hampir seluruh jabatan kepala daerah dati I maupun dati II diduduki oleh anggota ABRI aktif. Sedangkan para purnawirawan militer diberi 'jatah' untuk menduduki jabatan komisaris BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Pendek kata, hampir tidak mungkin bagi kekuatan politik formal manapun untuk menyuarakan 'perbedaan' di tanah air, karena berbeda berarti melawan pemerintah.



Sebagai badan otonom NU, IPNU-IPPNU mau tidak mau harus tetap melakukan hubungan konsultatif berkaitan dengan kebijakan politik NU. Namun, demikian pula sebaliknya, setiap kegiatan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU akan berimbas kepada seluruh lembaga formal NU. Tekanan kepada NU dan lembaga-lembaganya yang sempat surut, kembali menguat menjelang Pemilu 1992. Di tengah-tengah maraknya ormas yang mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden RI periode 1993-1998, NU bertahan untuk tidak ikut dalam pernyataan dukung-mendukung ini. Sebagai akibat, tekanan kepada NU semakin meningkat

0 Komentar