Tinjauan tentang Maslahah Mursalah dalam Ekonomi

A. Maslahah Mursalah
  1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab   ?????? – ????????  menjadi  ???????  atau??????????    yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal  dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:  ???????? – ???????? – ??????????- ???????? menjadi???????  yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).[1]
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan dibatalkan syariat.[2]
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat.[3] Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.[4]
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.
  1. Macam-macam Maslahah Mursalah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi diantaranya:[5]
  1. Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
    1. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’ meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
    2. Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’,
    3. Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
à        Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.
à        Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh serkumpulan makna nash (ayat atau hadist)
  1. Dari segi Kandungan Maslahah
    1. Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti  untuk semua kepentingan orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas ummat/kelompok.
    2. Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (magfud)
Pentingnya pembagian kedua  kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
  1. Dari segi berubah atau tidaknya Maslahah
    1. Maslahah al-Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
    2. Maslahah al-Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.
Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa al-Syalabi, dimaksudkan untuk memberi batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan tidak.
Sesungguhnya masih ada pembagian maslahah yang dikemukakan para ahli ushul fiqih yakni dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, tapi ini akan diuraikan pada tingkatan maslahah, karena pembagian maslahah ini mewakili macam-macam kemaslahatan yang telah dijelaskan tadi.
  1. 3. Tingkatan-tingkatan Maslahah Mursalah
Para ahli Ushul sepakat bahwa syariat Islam bertujuan untuk memelihara 5 hal yakni: (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3)memelihara akal, (4) memeliharar keturunanan, dan (5) memelihara harta.[6] Sementara Hamka Haq dalam bukunya “Falsafat Ushul Fiqih” mengemukakan bahwa terdapat 6 aspek kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat diantaranya, (1) memelihara agama, (2) memelihara jamaah, (3) memelihara jiwa, (4) memelihara akal, (5) memelihara keturunan dan (6) memelihara harta benda. Aspek ini diurut berdasarkan prioritas urgensinya.[7] Adapun mengenai kemaslahatan setiap aspek tersebut dibedakan dalam tiga tingkatan yakni:
  1. Tingkatan pertama; maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun  duniawi.
  1. Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak sampai punah.
  1. c. Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah
Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.
Seperti telah dikemukakan, masing-masing dari enam perkara yang telah disebutkan sebagai tujuan pokok syariat pada asasnya dapat dilihat dari tiga sisi tersebut. Misalnya dalam aspek pemeliharaan agama, maka yang menjadi dharuriyah adalah aqidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa aqidah yang benar maka agama tidak mungkin tumbuh dan berkembang, sebab tidak ada sarana sekali unsur agama yang dapat dikabulkan oleh Allah SWT tanpa aqidah tauhid. Sementara itu, guna memudahkan manusia menyalurkan naluri tauhidnya, maka diadakanlah oleh syariat sejumlah praktek ibadah ritual. Dalam ibadah itulah setiap manusia diharapkan akan semakin menghayati amal tauhidnya kepada Tuhan. Karena itu, jika tauhid diwajibkan maka dengan sendirinya ibadah yang mengatur kepada memperkokoh tauhid itupun turut serta situasi lainnya, ibadah seringkali dibolehkan bahkan dianjurkan untuk ditinggalkan. Lihat saja, mengapa seorang wanita haid dilarang bershalat dan berpuasa? Mengapa shalat dhuhur dapat digabung atau dikurangi rakaatnya dalam jama’ qashar. Semua itu disebabkan karena ibadah itu sangat relatif, artinya sangat terkait dengan tempat, waktu dan situasi. Dan sebagai pelengkap atau tahsisninya menyangkut agama ialah segala hal yang menjadi penunjang terlaksananya ibadah dan lebih menambah nikamatnya ibadah itu, misalnya thaharah.[8]
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang bersifat kully atau mutlak dan juz’iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting terutama dalam menetapkan hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia. Misalkan saja, memelihara jiwa itu bersifat dharuriy yang hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut tidak  berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang  sifat dharuriy-nya lebih tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja dikorbankan. Sementara itu,  memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya sampai pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnya dharuriyah.[9]
Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah adalah wajib secara dharuriyah, karena  hal ini pada posisi terpenting kedua sesudah pemeliharaan aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang mengorbankan jiwanya demi membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya dengan perlunya negara itu, haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang  mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah, tetapi hanya bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan  terselenggaranya suatu jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi itu, negara tidak dapat terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya hanyalah hajiyyah, maka syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan kedudukan seorang pemimpin.
Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas adalah dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur teori  maslahah mursalah, baik macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu dibedakan sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah.
B. Ekonomi
    1. Pengertian Ekonomi
Definisi tentang ekonomi secara umum adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan, pemanfaatan uang, tenaga dan waktu dan sebagainya yang berharga; tata kehidupan perekonomian (suatu negara); urusan keuangan rumah tangga (organisasi, negara).[10]
Definisi diatas senada dengan definisi M. Dawam Raharjo dalam bukunya mengungkapkan bahwa ekonomi sebagai sebuah ilmu adalah tentang perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan alat-alat pemuas yang langka, yang kemudian mengandung pilihan dalam penggunaannya. Definisi ini mencakup aspek yang lebih luas selain berupa “kajian tentang produksi, distribusi, dan konsumsi kekayaan di dalam masyarakat manusia “ juga mengenai kegiatan objek ekonomi, yaitu “kekayaan” yang tak lain adalah “kekayaan material”.[11]
Sedangkan Taqiyuddin An-Nabhani mengemukakan bahwa kata “ekonomi” diambil dari Bahasa Yunani Kuno (Greek), yang maknanya adalah “mengatur urusan rumah tangga”, dimana anggota yang mampu, ikut terlibat dalam menghasilkan barang-barang berharga dan membantu memberikan jasa, lalu seluruh anggota keluarga yang ada ikut menikmati apa yang mereka peroleh. Kemudian populasinya semakin banyak dalam rumah-rumah, lalu menjadi suatu kelompok yang diperintahkan oleh satu negara.
Oleh karena itu, menurutnya kata “ekonomi” bukanlah makna bahasa, yang berarti hemat, juga bukan berarti kekayaan. Akan tetapi berarti makna istilah untuk suatu sebutan tertentu, yaitu kegiatan mengatur urusan harta kekayaan. Baik yang menyangkut kegiatan memperbanyak jumlah kekayaan serta menjaga pengadaannya, maupun yang berhubungan dengan tata cara (mekanisme) pendistribusiannya.[12]
Berangkat dari pengertian di atas, maka definisi operasionalnya adalah “ekonomi” dalam artian disiplin ilmu adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha-usaha manusia untuk mencapai kemakmuran serta gejala-gejala yang timbul dari usaha tersebut.[13]
  1. Problematika Ekonomi dalam Masyarakat
Perkembangan  dunia ekonomi yang begitu pesat ternyata berbanding lurus dengan kelahiran problematika-problematika baru dalam kehidupan masyarakat. Hubungan-hubungan yang timbul dari masyarakat adalah asal dari setiap hukum positif diantaranya adalah keimnginan untuk memelihara hubungan-hubungan antar warga masyarakat menimbulkan hukum perdata serta adanya kebutuhan untuk menjaga keamanan dan kedamaian hidup bersama yang melahirkan hukum pidana dan demikian seterusnya.[14]
Norma-norma hukum yang sudah mendapatkan perumusan yuridis sebagai penegasan dari perkembangan terakhir dari penilaian-penilaian manusia tentang nisbah-nisbah sosial yang ada, secara timbal balik dapat mempengaruhi proses produksi dan peredaran barang dalam masyarakat itu dari waktu ke waktu senantiasa berubah-ubah. Karena itu hubungan-hubungan hukum yang telah ada dapat dikatakan mencerminkan hubungan-hubungan ekonomi.
Kemudian daripada itu ada satu hal yang juga mengambil tempat penting dalam soal hubungan antara hukum dengan ekonomi, yakni masalah hak milik.
Sistem liberal kapitalisme yang bersumberkan pada teori Laiser Faire Leiser Aller memandang hak milik sebagai hak mutlak seseorang individu yang harus dijamin keamanannya oleh penguasa. Ia bebas mempergunakan hak miliknya itu menurut kehendaknya sendiri dan penguasa tidak boleh ikut campur di dalamnya. Sistem ini menciptakan perumusan peraturan-peraturan yang menjamin hak seorang (individu) untuk memiliki, menguasai dan menikmati benda menurut kemauannya sendiri tanpa ada suatu batas (dari penguasa).
Dengan demikian sistem ini melemparkan manusia ke arena perjuangan hidup ini dengan kebebasan alamiah sepenuhnya. Dengan pengetahuan, bahwa manusia pada tabiatnya mengandung perbedaan-perbedaan kekuatan, baik jasmaniah maupun kercerdasan otaknya, maka sistem ini mengajak manusia menjadikan hidup ini sebagai medan perebutan rezki untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya masing-masing. Dalam suasana yang demikian itu, si kuat akan bertambah kuat, si cerdik akan lebih leluasa mengambil keuntungan, si lemah dan si bodoh akan lebih senantiasa menjadi mangsa si kuat atau dengan perkataan lain sistem kapitalis merupakan tanah yang subur bagi tumbuhnya praktek-praktek eksploitasi manusia oleh manusia.
Kebalikan dari sistem liberal kapitalisme adalah sistem komunisme yang dalam prinsipnya tidak mengakui secara mutlak hak milik seorang (individu), khususnya dalam hal alat-alat produksi. Dalam sistem ini penguasalah yang menjadi pemilik satu-satunya dari semua harta (benda) yang ada dalam masyarakat dan karena itu penguasalah yang menguasai semua alat produksi dan peredaran barang secara mutlak.[15]
Secara teoritis, karena kepemilikan, penguasa atau semua harta (benda) yang ada dalam masyarakat khususnya atas alat-alat produksi dan peredaran barang ada di tangan penguasa. Maka tentunya penguasa akan memperhatikan dan memenuhi kebutuhan rakyatnya secara adil dan merata, baik kebutuhan-kebutuhan jasmaniah maupun rohaniah. Tetapi karena dalam teori politik komunisme, penguasa adalah wakil dari kelas yang berkuasa yakni kelas : “Proletar”, maka tugas penguasa dalam teori adalah menindas kelas lainnya yang tidak termasuk dalam kelasnya dan dalam prkateknya juga menindas kaum proletar itu sendiri. Dengan demikian terjadilah eksploitasi manusia oleh manusia dengan cara yang lebih sistematis.
Walaupun dengan timbulnya paham “welfare-state” pada zaman modern ini, pelaksanaan dua sistem ekonomi yang sangat berlawanan di atas di banyak negara secara berangsur-angsur mengalami beberapa kelunakan, namun ciri-cirinya yang asli masih tetap berpengaruh besar dalam perumusan-perumusan yuridis mereka. Tetapi dalam satu hal mereka ada persamaan, yakni dalam pandangan mereka terhadap kebendaan dan ini adalah yang menjadi pokok pangkal pemikiran mereka, yakni sama-sama terlalu menyukai benda atau terlalu materialistis, sebagaimana dalam firman Allah:
Artinya: dan sesungguhnya manusia itu sangat suka kepada kebendaan (materialistis). (Q.S. Al-Adiyat, ayat: 8).
Jadi soal kebendaan ini merupakan salah satu masalah pokok dalam kehidupan manusia, dari segi ekonomi menyangkut masalah pemanfaatannya dan dari segi hukum menyangkut masalah kepemilikannya. Namun kemudian satu sama lain mempunyai pengaruh timbal balik yang akan menentukan arah hidup manusia, ini dari satu sisi.
Sedangkan dari sisi lain, akibat kegagalan sistem ekonomi kapitalis ataupun sosialis dan sistem lainnya dalam memenuhi kehidupan ekonomi umat, telah menarik perhatian para ekonom Islam untuk membangun sistem ekonomi alternatif dalam perspektif Islam. semua metode pemecahan terhadap kebobrokan dan absurditas asas-asas (kapitalis dan sosialis termasuk dalam hal ini komunisme) masih bertentangan dengan metode operasional (thariqah)[16] Islam, dimana metode (thariqah) Islam dalam mengambil pemecahan masalah ekonomi adalah juga yang dipergunakan untuk memecahkan setiap masalah manusia, yaitu mengkaji dan memahami realitas masalah ekonomi tersebut, lalu menggali pemecahan masalahnya dari nash-nash sara’ kemudian mengukuhkan kesesuaian antara nash-nash tersebut dengan realitas ekonomi yang ada.
Dari sisi ini dapat dilihat bahwa pada masa sekarang terdapat badan-badan atau lembaga-lembaga perniagaan modern yang semakin berkembang dan menyangkut banyak orang. Dari sini kemudian muncul perbincangan mengenai pendapat-pendapat Islam dari segi halal dan haramnya. Pendapat yang bertentangan ini terjadi di dalam masyarakat Islam yaitu masyarakat Islam modern dan masyarakat Islam ortodoks. Pendapat-pendapat yang bertentangan ini kadang-kadang menimbulkan kesenjangan yang amat luas yang berarti masalah ini bisa melahirkan kebekuan sikap masyarakat dalam melakukan aktifitas ekonomi.

[1] Khairu Umam, at, al; Ushul Fiqih I, (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 135
[2] Abd. Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Ushul Fiqih), diterjemahkan oleh Nur Iskandar Al-Barsany, (Jakarta: Rajawali), h. 124
[3] Nasrun harun, Ushul Fiqih (Cet. II: Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 114
[4] Lihat: Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Studi Komparatif delapan mazhab fiqih), diterjemahkan oleh Ad. Dedi Rohayana, (Cet. I: Jakarta: Rineka Ciprta, 2000), h. 35
[5] Nasrun Haroen.,opcit.,h. 117
[6] Ibid., h.115
[7] Hamka Haq, Falsafat Ushul Fiqih (Yayasan Al-Ahkam, Ujung Pandang: 1998), h. 76
[8] Ibid, h.77
[9] Ibid, h. 78
[10] Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 530
[11] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Cet. I; Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), h. 3
[12] Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, h. 47
[13] Hasan Sadly, Ensiklopedi Indonesia, Jilid II (Jakarta : Ikhtiar Baru – Van Hoeve, 1983),              h. 892
[14] Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan keadilannya (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), h. 137

0 Komentar