Pembinaan akhlak generasi muda

A. Dasar-dasar Pembinaan
Kehidupan beragama salah satu diantara sekian banyak sektor harus mendapatkan perhatian besar bagi bangsa dibandingkan dengan sektor kehidupan yang lain. Sebab pencapaian pembangunan bangsa yang bermoral dan beradab sangat ditentukan dari aspek kehidupan agama, terutama dalam hal pembinaan bagi generasi muda.[1]
Secara harfiah pembinaan berarti pemeliharaan secara dinamis dan berkesinambungan.[2] Di dalam konteksnya dengan suatu kehidupan beragama, maka pengertian pembinaan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran memelihara secara terus menerus terhadap tatanan nilai agama agar segala perilaku kehidupannya senantiasa di atas norma-norma yang ada  dalam tatanan itu. namun perlu dipahami bahwa pembinaan tidak hanya berkisar pada usaha untuk mengurangi serendah-rendahnya tindakan-tindakan negatif yang dilahirkan dari suatu lingkungan yang bermasalah, melainkan pembinaan harus merupakan terapi bagi masyarakat untuk mengurangi perilaku buruk dan tidak baik dan juga sekaligus bisa mengambil manfaat dari potensi masyarakat, khususnya generasi muda.
Membangun kesadaran bagi generasi bukanlah hal yang gampang untuk tercapai secara maksimal, tetapi dalam pembinaan kesadaran yang menjadi hal pokok untuk dibangun. Kesadaran hendaknya disertai niat untuk mengintensifkan pemilikan nilai-nilai dari pada yang sudah dimiliki, sebab dengan cara tersebut akan mampu mewujudkan pemeliharaan yang dinamis dan berkesinambungan.[3]
Unsur pemeliharaan dan dinamisasi menjadi sangat penting untuk mewujudkan suatu kontruksi pembinaan yang utuh dan hakiki. Hal inilah disebabkan karena wujud tatanan itu pada hakikatnya mengandung dua jenis nilai; nilai primer universal terus-menerus, sedangkan nilai sekunder local merupakan pengembangan dari hasil pemahaman nilai primer itu yang mana kondisi suatu tempat tertentu memberikan pengaruh terhadap pribadi seseorang.
Pencapaian tatanan nilai yang tidak jelas dalam hal tingkatan yang dikandung hanya akan kebingungan sehingga berakibat pada ketidaktahuan nilai perbuatan yang dilakukan sehari-hari. Bahkan dia akan menilai secara random bahwa perbuatannya itu benar dan sudah sesuai dengan norma dan aturan yang ada. Padahal apa yang dilakukannya  adalah berbeda dari nilai dan norma tersebut.
Pemilikan nilai primer universal harus didahulukan sebelum mencapai nilai yang sekunder. Sebab di dalam nilai yang primer tersebut terkandung definisi-definisi tentang sesuatu yang baik dan yang buruk (yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan) dan hal ini tidak terkandung dalam nilai sekunder tersebut. Sedangkan nilai sekunder hanya akan membuat suatu kejelasan tujuan terbentuknya tatanan nilai dengan jaminan tidak melampaui nilai primer.
Perpaduan dua nilai inilah dalam suatu tatanan akan menghilangkan kesan bahwa nilai primer itu hanya berfungsi sebagai ranjau-ranjau yang sangat berbahaya bagi orang-orang yang melaksanakannya, padahal dia membutuhkan sesuatu yang semuanya sudah diatur nilai primer yang dimilikinya.
Karen itulah pembinaan harus berwujud  suatu konstruksi yang utuh dan hakiki yang mau tidak mau harus memasukkan dua unsur tersebut di atas ke dalam suatu tatanan nilai yang dilakukannya setiap saat, yaitu pemeliharaan dan dinamisasi. Dinamisasi dimaksudkan agar tatanan nilai tidak hanya  berbentuk satu substansi searah akan menciptakan suatu pekerjaan yang tidak bermanfaat, bahkan sia-sia belaka, sebab tidak ada tatanan yang mendukungnya dari aspek lain.
Dalam hal ini pembinaan dimaksudkan adalah pembinaan keagamaan yang mempunyai sasaran pada generasi muda, maka tentu aspek yang ingin dicapai dalam hal ini adalah sasaran kejiwaan setiap individu, sehingga boleh dikatakan bahwa pencapaiannya adalah memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Keunikan dimaksudkan tidak karena ditentukan prototipitas tema pembahasannya, melainkan disebabkan karena sasaran yang diambil merupakan suatu pengelompokkan demografis yang gencar-gencarnya mengalami perubahan dan perkembangan psikologi kejiwaan anak.[4]
Dalam masa ini jatidiri dan sikap arogan masih sangat kuat untuk diperpegangi bagi generasi muda, sehingga memerlukan kehati-hatian yang ekstra ketat. Sehingga mampu menanamkan nilai-nilai dan konsep pembinaan, khususnya dalam hal pembinaan akhlak melalui ajaran tasawuf dalam merubah perilaku generasi muda dalam kehidupan sehari-hari.[5] Sebab tujuan utama dari pembinaan ini adalah memberikan arti ajaran tasawuf terhadap upaya pembinaan yang menimbulkan kesadaran diri akan nilai-nilai agama secara umum dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam perkembangan psikologi remaja dikatakan bahwa perkembangan psikologi remaja sedikit mempunyai pengaruh terhadap cara-cara penanaman dan pemahaman nilai agama. Hal ini diungkapkan oleh ahli psikologi remaja bahwa pada satu pihak remaja tidak begitu saja mampu menerima konsep-konsep, nilai-nilai suatu ajaran, apalagi ajaran yang membatasi diri seseorang, tetapi  terkadang dipertentangkan dengan citra diri dan struktur kognitif yang dimilikinya.[6]
Pembinaan yang bercorak keagamaan atau keislaman akan selalu bertumpu pada dua aspek, yaitu aspek spiritualnya dan aspek materialnya. Aspek spiritual ditekankan pada pembentukan kondisi batiniah yang mampu mewujudkan suatu ketentraman dan kedamaian di  dalamnya.[7] Dan dari sinilah memunculkan kesadaran untuk mencari nilai-nilai yang mulia dan bermartabat yang harus dimilikinya sebagai bekal hidup dan harus mampu dilakukan dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-harinya saat ini untuk menyongsong kehidupan kelak, kesadaran diri dari seorang remaja sangat  dibutuhkan untuk mampu menangkap dan menerima nilai-nilai spiritual tersebut, tanpa adanya paksaan dan intervensi dari luar dirinya.
Sedangkan pada pencapaian aspek materialnya ditekankan pada kegiatan kongkrit yaitu berupa pengarah diri melalui  kegiatan yang bermanfaat, seperti organisasi, olahraga, sanggar seni dan lain-lainnya. Kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dimaksudkan agar mampu berjiwa besar dalam membangun diri dari dalam batinnya, sehingga dengan kegiatan tersebut, maka tentu dia akan mampu memiliki semangat dan kepekatan yang tinggi dalam kehidupannya.[8]
Mengenai keterikatan pembina keislaman didasarkan pada lokasi dan daerah tertentu, tentu merupakan tantangan tersendiri dalam melakukan pembinaan, sebab pembinaan tersebut akan menemukan beberapa kendala. Namun aspek pembinaannya akan lebih terfokus dan terarah, bahkan akan memberikan ciri dan corak pembinaan tersendiri.
Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan kesejarahan dengan cara membuat fakta sejarah dari berbagai sumber tentang latar belakang sejarah yang ada di darah dimaksud dengan menampilkan fakta bahwa pemuda mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia, terutama dalam mengusir penjajah dari belahan bumi Indonesia. Dan juga mampu menumpas segala pergerakan-pergerakan yang hendak menghancurkan Pancasila di bumi pertiwi.
Pendekatan-pendekatan  yang disebutkan di atas, maka tentu akan memberikan semangat dan dorongan kepada generasi muda sebagai harapan bangsa. Dan memberikan semangat patriotisme kebangsaan yang juga dianggap sudah hilang dari dalam diri generasi yang  saat ini. Penanaman semangat kepahlawanan memberikan nilai positif bagi generasi muda, sebab  tentu akan membangun semangat dan menumbuhkan jiwa  kepahlawanan, baik terhadap negara, agama maupun bangsa.[9]
Membangun jiwa kepahlawanan ke dalam diri generasi muda adalah salah satu unsur dalam  melakukan pembinaan, dan pembinaan dapat terarah dan konstruktif.  Sehingga perlu suatu kesadaran moral bahwa generasi muda adalah yang selalu mengambil peran dalam  setiap langkah yang bermanfaat bagi  bangsa dan agama, pada dasarnya mereka akan mengambil peranan  dan terpanggil untuk berbakti sebagai suatu tuntutan,[10] baik tuntutan itu datang sebagai generasi bangsa maupun sebagai generasi agama.
Karena itu, suatu pembinaan adalah untuk konstruksi pembinaan itu sendiri yang utuh dan hakiki, sehingga dalam pembinaan harus mengambil suatu bentuk bagaimana seharusnya konstruksi itu dibangun dari dalam diri, sehingga mampu menghasilkan tindakan-tindakan islami yang praktis dalam melakukan kegiatan, baik di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
Penciptaan moralitas Islam ini  adalah merupakan suatu hal yang amat penting untuk memantapkan kehidupan keberagaman mereka, mereka akan menjadi mantap apabila sudah mengetahui secara benar nilai-nilai Islami, termasuk di dalamnya nilai-nilai kesufian yang tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai yang sudah di pahami sebelumnya.[11] Demikian pula dengan manfaat-manfaat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Bahkan secara tidak langsung mereka akan memahami fungsi-fungsi keagamaan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembentukan moralitas Islam pada setiap generasi muda Islam, harus ditempatkan pada nomor urut teratas dan menjadi skala prioritas suatu pembinaan. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa di tangan pemudalah tanggung jawab perwujudan realitas Islam. yang dimaksud realitas Islam adalah kegiatan-kegiatan yang mesti dan seharusnya dilakukan generasi secara konstruktif dan berkesinambungan dalam membangun jati diri dan  perilaku yang baik.[12]
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mewujudkan realitas ini adalah mereka harus mempunyai tanggung jawab secara pribadi-pribadi atau secara  terkoordinasi menjadi suatu kelompok berbuat dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kezaliman dan kejahatan pada setiap saat. Perintah tersebut  sudah termaktub dalam Al-Qur’an QS. Al-Imran (3) : 110:
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka.[13]
B. Model Pembinaan Islam
Memahami suatu model bagi pembinaan Islam terlebih dahulu harus dipahami bagaimana  konsep Islam mengenai kehidupan dimana pembinaan itu diarahkan. Bahkan tidak hanya sampai di sini, untuk bisa memahami konsepsi kehidupan beragama secara tepat dan efektif kita harus mengadakan kajian mendalam tentang apa yang sebenarnya nilai-nilai yang dikandung Islam dalam memberikan konsep kehidupan.
Karena itu, Islam memberikan suatu konsep mengenai kehidupan keagamaan dalam masyarakat, sehingga lahirlah dua dimensi. Pertama, dimensi mahdhah, yaitu berupa  ajaran agama yang  menuntun manusia untuk melakukan ibadah langsung dengan Allah swt. Kedua, dimensi ghairu  mahdhah yaitu berupa ajaran agama yang mendorong manusia untuk bermuamalah dengan manusia lainnya.
Menurut Muhammad Assad, konsep Islam bagi suatu kehidupan dijelaskan bahwa Islam adalah  program hidup sesuai dengan hukum-hukum alam yang ditetapkan oleh Allah swt, atas penciptaannya berupa hasil yang dicapainya yang tertinggi ialah koordinasi yang sempurna dari pada aspek-aspek spiritual dan material kehidupan manusia.[14]
Program hidup merupakan suatu struktur dari aspek-aspek yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup itu sendiri untuk menuju suatu mencapai suatu kesempurnaan kehidupan agama. Aspek-aspek inilah yang dikenal  dengan aspek kehidupan secara parsial, aspek-aspek kehidupan ini bekerja menurut hukumnya  sendiri.
Maka nampaklah bahwa dalam kehidupan antara satu dengan yang lainnya seolah-olah saling berpisah, bahkan seolah-olah tidak ada benang merah yang menghubungkannya. Misalnya aspek kultural, aspek ini bekerja dalam hukum bahwa manusia mempunyai naluri berkehendak dan cara berpikir yang diwujudkan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan sepintas lalu aspek kultural ini tidak mempunyai keterkaitan dengan aspek yang lain seperti nilai-nilai relegius yang berdasarkan pada hukum  bahwa di atas kekuasaan manusia itu masih ada kekuasaan yang lebih tinggi dan Maha tinggi. Tidak ada satupun kekuasaan yang menandinginya. Sehingga kalau demikian keadaannya, maka mungkinkah tujuan hakiki dari pada kehendak dan cara berpikirnya mencapai hasil, yang tidak lain hasil yang harus tercapai adalah terciptanya kehidupan manusia yang aman dan sejahtera.
Apabila dalam merealisasikan kehendak dan cara berpikir tanpa didasari oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa yang Maha Kuasa yang akan terwujud dalam diri manusia adalah sifat ketamakan belaka, kerakusan dan kebuasan manusia itu sendiri. Karena itu, di dalam mencapai kesempurnaan hidup ajaran Islam mencanangkan suatu program yang merupakan suatu totalitas yang mempunyai daya kompelektsitas dan mempunyai kemampuan untuk diajak bekerja sama antara aspek yang satu dengan aspek yang lainnya. Dengan program demikianlah itulah tujuan hidup sebenarnya akan betul-betul terjamin tercapai keselamatan di dunia.
Melihat program hidup yang merupakan suatu struktural dari berbagai aspek kehidupan yang secara parsial seolah-olah nampak berpisah-pisah, maka yang akan  nampak adalah mengadakan pembinaan secara menyeluruh dalam kehidupan manusia. Dan pembinaan itu harus merupakan suatu pembinaan yang  serupa, yaitu pembinaan yang islami.
Ironisnya adalah suatu hal yang sangat wajar apabila dalam pembinaan terdapat beraneka ragam rupa pembinaan kemudian tentu  akan menghasilkan keganjilan-keganjilan pembinaan  yang pada gilirannya  eksistensi keberagaman menjadi akan kurang dan tidak berbekas dari dalam diri seseorang.
Dengan demikian pembinaan yang  serupa inilah yang kita maksudkan  bahwa pembinaan akan menjadi kompleks. Dengan titik tolak bahwa  cara demikian mencapai tujuan dari pembinaan yang diidam-idamkan, yaitu berupa realitas Islam yang membawa kesuksesan manusia dalam mengarungi kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Pembinaan untuk demikian itulah kita maksudkan salah satu cara untuk menciptakan konstruksi pembinaan yang utuh dan hakiki. Namun hal ini belum menyentuh pada bentuk yang kongkrit dalam keterikatan  itu dengan suatu wilayah tertentu  yang mana hal tersebut akan lebih mengefektifkan konstruksi pembinaan itu sendiri. Gambaran umum ini hanya dimaksudkan sebagai indikasi bahwa kompleksitas pembinaan merupakan satu hal yang mampu membentuk konstruksi pembinaan yang diharapkan
Berikut ini lebih jauh dapat dijelaskan aspek-aspek yang paling utama yang harus dicapai oleh setiap individu, seperti dua dimensi di atas, meliputi:
a)     Dimensi Mahdah
Seperti yang telah kita ketahui di atas bahwa  dimensi mahdah itu  lahir setelah kita mengadakan kajian mendalam tentang konsepsi kehidupan menurut Islam, di samping lahir juga dimensi gairu mahdah. Dimensi mahdah ini dalam struktur tatanan nilai pada hakikatnya adalah nilai universal bagi setiap orang yang beragama.
Kemampuan menggunakan dimensi mahdah dalam segala perilakunya akan menciptakan seorang untuk menjadi muslim yang  betul-betul beriman dan bertakwa. Sedangkan orang-orang yang betul-betul beriman dan bertakwa menurut Abu A’la Maududi adalah muslim yang membuat aspek dari segala kehidupannya untuk sepenuhnya mengabdi kepada Allah swt, seluruh hidupnya adalah yang penuh dengan ketaatan dan ketundukan, kepasrahan diri dan  sekali-kali tidak akan bersikap arogan atau mengikuti kemauannya sendiri yang di dalamnya ada dipengaruhi oleh hawa nafsu manusia.
Kalau melihat keterangan al-Maududi tersebut, maka menjadi jelaslah bahwa pada intinya kemampuan penguasaan dan kepatuhan kepada Allah swt, adalah iman kepada Allah. Dan lebih lanjut al-Maududi mendefinisikan bahwa iman itu bukan suatu konsep mata fisikal belaka, melainkan iman adalah corak suatu perjanjian dengan Allah sang pencipta, dan menukar kehidupan dirinya dengan rahmat dan kehendak Allah swt.
Oleh karena itu, dengan dasar penguasaan dimensi mahdah ini orang akan membuang jauh-jauh terhadap sifat-sifat manusiawinya yang tercela menggantikannya dengan sifat-sifat yang terpuji sebagai refleksi dari keimanan yang mendalam. Adapun hasil optimal dari penguasaan  keimanan tersebut adalah melahirkan kesadaran yang besar dalam menjalankan perintah-perintah Allah swt dan mampu menjauhi larangan-larangan agama secara sadar.
b)    Dimensi gairu mahdah
Dimensi gairu mahdah pada dasarnya hanya merupakan pengembangan dari penguasaan dimensi  pertama yaitu dimensi mahdah, dan merupakan hasil dari pembekalan nilai sekunder lokal semata. Setelah itu kita mempunyai kesadaran untuk menjalankan ajaran-ajaran pokok agama dalam Islam berupa kegiatan mahdah, berupa shalat, puasa, haji, sadaqah, dan sebagainya.
Gambaran tersebut merupakan hasil penguasaan dimensi mahdah, dimana kita harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk memahami apa sebenarnya nilai-nilai yang terkandung di dalam ibadah mahdah dan hikmah yang dapat diperoleh manusia, sebab untuk memahami tersebut perlu hikmah, sehingga manusia mampu menangkap dibalik perintah tersebut.
Demikian pula dalam upaya membentuk kepribadian seseorang atau proyeksi program  hidup kemanusiaan. Usaha pengembangan ini harus diusahakan mencapai tingkat setinggi-tingginya agar mampu melayani segala kebutuhan manusia. Dimensi ghairu mahdah dalam struktur tatanan nilai kita di sebut dengan nilai sekunder lokal.
Secara kongkritnya bahwa suatu aktivitas kemanusiaan sebagai hasil penguasaan dimensi mahdah dengan pembekalan  nilai sekunder sangat banyak dipengaruhi oleh kondisi lokal yang ada. Dan ditentukan bentuknya oleh sistem sosial dan budaya wilayah tertentu. Misalnya dalam situasi umat Islam mengalami kelumpuhan dengan diperkosanya hak-hak asasinya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Maka tentu diperlukan perjuangan yang tidak sedikit dalam membangun nilai-nilai  yang sesuai dengan ajaran Islam.
Perjuangan ataupun gerakan yang dilakukan untuk membebaskan diri dari belenggu kezaliman sebagai suatu amalan ibadah disisi Allah swt, sesuai perintah dalam Al-Qur’an untuk memperjuangkan segalanya di jalan Allah swt, QS al-Hajj (22) : 78
Terjemahnya:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.[15]
Amalan seperti tersebut di atas, merupakan hasil dari pemahaman nilai primer tadi yang sudah dikembangkan  dalam diri manusia. Yang berupa amalan-amalan yang sudah  ditetapkan dalam ajaran Islam sebagai cara untuk memotivasi umatnya untuk mampu bekerja keras dalam merubah hidup dan kehidupan manusia menjadi lebih baik.[16]
Namun akan berbeda pula sekiranya seseorang yang sudah berada dalam wilayah yang sudah dilindungi hak-hak kemanusiaannya untuk beribadah dan melakukan kegiatan-kegiatan agama lainnya. Sekalipun berada dalam wilayah dimaksud tetapi tetap memerlukan suatu perjuangan yang besar oleh setiap individunya, sebab perlindungan hak asasi yang sudah diberikan, bukan jaminan seseorang untuk terhindar dari pengaruh budaya melalui sistem komunikasi secara internasional, yang sewaktu-waktu mampu menguasai kita.
Karena itu, dalam menghadapi situasi ini, yang harus dilakukan adalah aktivitas yang diwujudkan dalam propaganda secara besar-besaran untuk senantiasa menghargai dan menunjang tinggi budaya sendiri yang sudah sejalan dengan nilai-nilai Islam (nilai primer).
Pembinaan yang mempunyai materi doktrin dengan dimensi mahdah dan ghairu mahdah tersebut merupakan suatu kerangka dalam membangun model pembinaan yang lebih efektif bagi generasi muda bangsa. Sebab dengan memberikan sentuhan  dua dimensi tersebut di atas, berupa ibadah mahdah yaitu kewajiban mutlak yang harus dipahami (ibadah kepada Allah), dan ghairu mahdah yaitu kewajiban untuk menselaraskan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
C. Materi Pembinaan Islam
Materi yang dipergunakan dalam pembinaan ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari dimensi kedua yaitu dimensi ghairu mahdah. Penekanannya pada suatu nilai saja yang ada dimensi ghairu mahdah tersebut. Bukan berarti di luar dari dimensi tersebut dianggap lebih utama dan sudah tidak penting lagi.
Namun penentuannya didasarkan pada suatu asumsi bahwa nilai-nilai yang dikandung pada dimensi mahdah sudah tetap dan tidak akan ada perubahan apapun di dalamnya, bahkan  sudah menjadi fitrah utama dalam kehidupan manusia untuk menjalankannya  sesuai apa yang disyariatkan dalam Al-Qur’an. Seperti yang disebutkan pada QS al-Ruum (30) : 30
Terjemahnya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[17]
Karena itu, dimensi mahdah menjadi mutlak dan posisinya sudah kuat, dalam arti tidak boleh dikesampingkan. Apalagi kalau dikaitkan dengan pembinaan generasi muda. nilai-nilai yang utama itulah yang seharusnya mendapat perhatian dan pemeliharaan terus menerus, sedangkan nilai yang harus dikembangkan sedemikian rupa sebagai dinamisasi budaya yang harus dijalankan menurut ajaran utamanya.
Materi pembinaan merupakan usaha untuk mendapatkan kerangka acuan bagaimana seharusnya materi pembinaan yang harus dikembangkan dalam pembinaan akhlak generasi muda. dengan pendekatan nilai-nilai tasawuf. Demikian pula dengan aspek generasi mudanya yang tidak bisa dilepaskan dari generasi bangsa dan tumpuan negara. Mawasdi Rauf menilai bahwa kepeloporan pemuda merupakan hal yang biasa dalam suatu bangsa, tetapi senantiasa memerlukan perhatian dari semua pihak.[18]
Melalui pertimbangan sejarah tersebut di atas, para generasi muda Islam harus digembleng untuk selalu mengembangkan tugas kepeloporan dalam rangka mewujudkan kehidupan yang agamis sesuai dengan nilai-nilai Islam. dalam hal materi pembinaan generasi muda, maka sudah tentu aplikasinya adalah membangun patriotisme kebangsaan di dalam diri generasi muda. beberapa diantara yang harus dibebankan pada generasi muda, antara lain : tanggung jawab pemuda dalam memikul amanat agama dan bangsa.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin pada dasarnya adalah menjadikan bagi para penganutnya sejahtera dalam kehidupan dunia, memiliki tanggung jawab, baik dalam hal menjaga lingkungan dan alam, maupun dalam menjaga sikap dalam berhubungan dengan orang lain. Salah satu contohnya yaitu dalam Al-Qur’an diperintahkan untuk berakhlak mulia sebagai bagian dari menjaga sikap dalam berhubungan dengan orang lain. Salah satu contohnya yaitu dalam Al-Qur’an diperintahkan untuk berakhlak mulai sebagai bagian dari menjaga sikap setiap individu agar memiliki moral dan akhlak.
Karena itu, sikap yang harus dibina bagi generasi dan secara umum manusia adalah memelihara relation ship (hubungan) antara manusia dengan manusia lainnya. Dan untuk melakukan pemeliharaan tersebut manusia diharapkan berpedoman pada nilai-nilai Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Tanggung jawab yang diemban oleh generasi muda sangat besar, diantaranya yaitu meneruskan  perjuangan risalah agama Islam. sebagai generasi muda Islam, tentu dalam segala aktivitas dan perilakunya diharapkan mencerminkan nilai-nilai Islam, baik sebagai pencari jatidirinya maupun sebagai kelompok anak didik.
D. Bentuk-bentuk pembinaan akhlak di Watampone
Secara keseluruhan pembinaan akhlak bagi generasi muda, khususnya di sekolah-sekolah sudah dilakukan, di antaranya kegiatan pesantren kilat yang di adakan oleh pihak masing-masing sekolah pada setiap bulan ramadhan. Di dalamnya dilakukan kajian agama, ceramah agama, serta taddarrus Al-Qur’an.
Selain kegiatan tersebut di atas, pihak sekolah juga secara rutin melaksanakan perayaan-perayaan keagamaan, misalnya Maulid Nabi, isra’ mi’raj dan lain-lain sebagainya, kesemuanya upaya pihak sekolah untuk melakukan pembinaan agama bagi siswa-siswi.
Bahkan saat ini, pemerintah Kabupaten Bone, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Bone membentuk sekolah percontohan pembinaan agama di sekolah, yaitu  dengan menunjuk SMU 4 Watampone untuk menjadi model percontohan yang dimaksud.
Di dalam program tersebut telah dilakukan pendalaman Al-Qur’an kepada para siswa melalui kajian Al-Qur’an yang secara rutin dilaksanakan. Dan pihak sekolah sudah menyiapkan sarananya berupa buku-buku tafsir Al-Qur’an  yang dibiayai oleh pemerintah daerah.

[1]Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental , (Cet, IV; Jakarta PT. Bulan Bintang, 1982), h. 12.

[2]Departemen Pendidikan dan Nasional. Kamus  Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Jakarta Press, 1995), h. 504.
[3]Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Cet, I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 199.
[4]Zakiah Daradjat, op.,cit,. h. 44.
[5]Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Cet, I; Jakarta : Prameda Media, 2003),           h. 218.
[6]Netty Hartati, op.,cit., h. 63.
[7]Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya : Usaha Nasional, 1984), h. 68.
[8]Netty Hartaty, M.Si.  (et.al.) Islam dan Psikologi, (Cet. I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2004), h. 441.
[9]Ahmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 160.
[10]Ibid., h.
[11]Zakiah Daradjat, op.,cit, h. 113.
[13]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h. 41
[14]Quraish Shihab, Memberikan Al-Qur’an (Cet, XV; Bandung : Mizan, 1997), h. 185.
[15]Departemen Agama RI, op.cit., h.241
[16]Quraish Shihab, op.cit., h. 507.
[17]Departemen Agama RI, op.cit., h.341
[18]Mawasdi Rauf, Pandangan Mereka Tentang Sejarah Pemuda Indonesia “Forum  Pemuda, No. 62. Vol. VI Tanggal 11 Februari 1989.

0 Komentar