Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas Sanad




1.    Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadis Mutawattir
Secara etimologi mutawattir berasal dari kata tawara yang berarti beruntun. Secara terminologi pengertiannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang secara logika tidak mungkin bersekongkol untuk berbohong.  Mulai dari periwayat yang pertama hingga terakhir memiliki kesamaan sifat, artinya sama-sama thiqah. Konsep ini secara definitif dikemukakan oleh al-Baghdadi walaupun jauh sebelumnya al-Syafi‘i menyebutkan dengan istilah khabar 'ammah.
Ulama hadis berbeda pendapat tentang berapa jumlah bilangan periwayatnya untuk dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang mengatakan harus empat periwayat,  sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah.  Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang,  ada yang dua puluh orang,  ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang,  ada yang tujuh puluh orang,  dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar. Kemudian menurut al-Suyuti bahwa hadis yang layak disebut mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang. Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang banyak diikuti oleh para Muhaddisin.
Pada prinsipnya hadis mutawatir ini bersifat qath‘i al-wurud (sesuatu yang pasti benar-benar bersumber dari Nabi). Dengan tidak diperlukan lagi kajian tentang sanad atau rijal (periwayat hadis), bahkan menurut Imam Nawawi, sekalipun periwayatnya bukan muslim. Ulama sepakat bahwa hadis mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya untuk mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadis mutawatir.  Ada atau tidak hadis mutawatir juga masih dipertentangkan:
a.    Menurut Ibn Hibban dan al Hazimi tidak ada.
b.    Menurut Ibn Shalah ada namun sangat jarang.
c.    Menurut Ibn Hajar dan al-Suyuti memegang ada.
Hadis mutawatir dibagi menjadi dua:
1)    Mutawatir lafdi.
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dengan satu bentuk redaksi yang sama, ada yang mengatakan cukup dalam artinya saja yang sama.  Contoh hadis:
من كذب علي متعمدا قليتبؤا مقعده من النار
Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari dua ratus periwayat. Menurut Ibn Hajar dalam sharh al-Bukhari hadis itu diriwayatkan lebih dari empat puluh sahabat, termasuk di antaranya sepuluh sahabat yang dijamin langsung masuk surge.
2)    Mutawatir  ma'nawi.
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang sama dalam artinya meskipun berbeda dalam bentuk redaksinya. Contoh hadis ini adalah hadis yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadis ini diriwayatkan oleh kurang lebih seratus periwayat.
2.    Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah jalur periwayat tidak mencapai batasan minimal dari hadis mutawattir. Sebagian golongan seperti Rafidlah dan Qadariyah, mengatakan hadis ini tidak bisa diamalkan. Hadis ahad sendiri dibagi menjadi tiga:
a.    Masyhur.
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawattir. Contoh hadis:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
b.    ‘Aziz
Dinamakan ‘Aziz karena kelangkaan hadis ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadis yang jumlah periwayatnya tidak kurang dari dua. Contoh:
لايؤمن أحدكم حتى أن أكون أحب إليه من والده وولده
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari dua jalur sahabat  yakni Anas dan Abi Hurairah.
c.    Gharib.
Adalah hadis yang diriwayatkan satu periwayat saja di dalam semua tingkatanya, hadis. Gharib terbagi menjadi tiga:
1)    Gharib dalam redaksi dan jalur hadis. Contoh:
قال رسول الله "إن هذا الدين متين  فأوغل قيه برفق ولا تبخض إلا نفسك عبادة الله فإن المنبت لا أرضا قطع ولا ظهرا أبقى
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Shawkah dari Jabir dari Ibn al-Munkadir.
2)    Gharib dalam jalur sanad.
Hadis ini diriwayatkan oleh satu periwayat dari seorang sahabat yang redaksinya berbeda dengan redaksi periwayat-periwayat lain dari sahabat  lain.
3)     Gharib dalam sebagian redaksinya. Contoh:
مارواه الترمذى عن مالك بن أنس عن نافع عن إبن عمر " فرض رسول الله زكاة الفطر على كل حر أوعبد ذكرا كان أو أنشى من المسلمين ألخ
Letak gharib hadis ini adalah pada kalimat من المسلمين. Karena Imam Malik menambahkan kalimat itu, yang mana berbeda dengan periwayat-periwayat yang lain.  Cara mengukur kemutawattiran sebuah hadis dapat kita lakukan dengan mencari hadis pada kitab-kitab hadis yang ada. Apabila hadis yang kita maksud kita temukan dalam berbagai kitab, dan jalur hadis tersebut 10 atau lebih serta memenuhi kriteri-kriteria dalam hadis mutawattir, maka hadis yang kita maksud dapat kita katakan sebagai hadis mutawattir.
3.    Peran al-Syahid dalam Analisis Kuantitas Sanad
Pengertian Syahid adalah hadis yang riwayatnya diikuti periwayat lain dari jalur sahabat  yang berbeda, dengan matan yang menyerupai dalam segi lafad dan maknanya ataupun hanya dari segi maknanya saja. Syahid ada dua yaitu: syahid lafdzi dan syahid ma‘nawy. Syahid lafdzi ialah syahid yang menguatkan dalam segi lafad dan maknanya. Sedangkan syahid ma‘nawi hanya menguatkan dalam segi maknanya.
Syahid sangat diperlukan dalam proses penelitian hadis, untuk menguatkan posisi suatu hadis dalam segi kuantitasnya. Sebuah hadis yang pada mulanya gharib dapat naik tingkatnya menjadi ‘aziz, masyhur atau bahkan mutawattir bila ada syahid. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh al-Syafi‘i dari Malik dari Abd Allah bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi:
الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتى  تروا الهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين يوما
Pada mulanya Imam Syafi‘i dianggap sendirian di dalam meriwayatkan hadis ini. Oleh karena itu, hadis ini dikatakan gharib. Akan tetapi kemudian ditemukan hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasa'i dari Ibn Hunain dari Ibn Abbas, maka ke-gharib-an hadis tersebut secara otomatis hilang.
4. Cara Mengukur Kemutawatiran Hadis
Sebuah hadis bisa di kategorikan mutawatir ataupun tidak adalah berdasarkan jumlah periwayat pada tingkat sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut. Sebagaimana pendapat mayoritas ulama, parameter hadis mutawatir yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah jumlah periwayat di tingkat sahabat sebanyak sepuluh orang. Dengan demikian, apabila suatu hadis diriwayatkan kurang dari sepuluh sahabat, maka bukan termasuk kategori hadis mutawatir.
E.    Tahammul wa 'Ada'  al-Hadis
1.    Pengertian Tahammul al-Hadis
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahammul adalah mengambil atau menerima hadis dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadis, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadis, yang nantinya juga berimplikasi –seperti diungkapkan oleh al-Karmani - pada boleh dan tidaknya hadis tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
2.    Syarat-syarat Tahammul al-Hadis
Mayoritas ulama' ahli hadis menganggap boleh atau sah anak di bawah umur menerima riwayat hadis. Hal itu dikarenakan, bila kita amati lebih jauh tidak jarang sahabat atau tabi‘in yang menerima hadis yang diriwayatkan oleh Hasan, Husain, Abd Allah bin Zubair, Ibn Abbas dll,  tanpa membedakan mana hadis yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al-Hafiz Ibn Kathir dalam bukunya Ihtisar Ulum al-Hadis, bahkan beliau menambahkan bahwa tahammul hadis orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun, hadis yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada') setelah masuk Islam.  Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah faktor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baligh.
3.    Pengertian Ada'  al-Hadis
Ada' secara etimologis berarti sampai atau melaksanakan. Adapun secara terminologis Ada' al-hadis berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadis dari seorang guru kepada muridnya.
4.    Syarat-syarat  Ada' al-Hadis
Mayoritas ulama hadis, ushul , dan fiqh sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadis harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqah).  Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadis maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat  yaitu Islam , baligh, berakal, dan taqwa.  Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh periwayat hadis –seperti diungkapkan al-Zanjani - lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekurangannya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.
5.    Shighat Tahammul Wa Ada'  al-Hadis dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad
Metode penerimaan sebuah hadis dan juga penyampaiannya kembali ada 8 (delapan) macam yaitu:
a.    Sima‘ (mendengar).
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima‘ mencakup imla' (pendiktean), dan tahdis (narasi atau memberi informasi).  Menurut mayoritas ahli hadis sima‘ merupakan shighat riwayat yang paling tinggi. Ketika seorang periwayat ingin meriwayatkan hadis yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafad berikut: سمعت , حدثنى, أخبرنى, أنبأنى, dan  قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir  jama'  نا.
Muhaddis periode awal terbiasa menggunakan lafad سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafad حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafad tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mengajarkan hadis yang didengar langsung.  Hadis yang diriwayatkan dengan salah satu lafad diatas menunjukkan sanad bersambung.
b.    Al- Qira’ah (membacakan hadis pada syaikh).
Qira’ah sendiri yang juga disebut al-ard‘  memiliki dua bentuk. Pertama, seorang periwayat membacakan hadis pada syaikh, baik hadis yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadis, sementara periwayat dan syaikh berada pada posisi mendengarkan. Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syaikh memang hafal hadis yang dibacakan kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel.  Akan tetapi jika syaikh tidak hafal hadis yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al- Juwayni menganggapnya sebagai bentuk sima‘ yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadis melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama yang berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan sima dalam menerima hadis adalah al-Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Periwayatan dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.
c.    Ijazah.
Salah satu bentuk menerima hadis dan meriwayatkanya adalah dengan cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadis yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibn Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid‘ah.  Sekalipun bentuk ini banyak dikritik oleh kalangan muhaddisin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, peneliti lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadis Nabawi.  Dengan demikian kekhawatiran golongan pertama akan terjadinya pemalsuan dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
Ijazah hadis sendiri sebenarnya memiliki beberapa variabel. Menurut Qadli  Iyad terdapat delapan macam, dan menurut Ibn Shalah ada tujuh macam.  Namun peneliti tidak akan menjelaskan ke semua variabel secara panjang lebar, melainkan peneliti mencukupkan diri dengan konsep dasar Ijazah sebagaimana yang telah peneliti terangkan diatas.
d.    Munawalah
Yaitu tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadis tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Siddiq Bashir Nasr dalam bukunya Dlawabit al- Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam:
1)    Guru mengatakan “ini adalah hadis yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
2)    Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepadaku”.
3)    Seorang murid membawakan hadis yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadisku, riwayatkanlah ia dari ku”.  Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadis kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadis yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
e.    Mukatabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadis, baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain, kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam, yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah.  Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadis dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadis diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان .
f.    al-I’lam (memberitahukan).
I’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadis ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadis riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab “ya” atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama hadis dan ushul fiqh  memperbolehkan bentuk ini sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya.  Namun demikian sejumlah muhaddisin dan pakar  ushul  tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadis, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Ghazali dan Ibnu Shalah dalam bukunya al-Muqaddimah.
Namun ketika golongan kedua berasalan dengan tidak adanya izin sehingga hadis yang diriwayatkan dengan cara ini dianggap tidak sah, tentunya alasan ini juga harus mereka jadikan syarat dalam meriwayatkan hadis baik yang didengar langsung atau yang lainnya, yang nantinya berimplikasi pada banyak hadis yang diriwayatkan secara tidak sah. Karena kami yakin banyak sekali syaikh yang membacakan hadis pada muridnya tanpa disertai dengan penegasan (izin) agar hadis tersebut disampaikan ulang. Dalam hal ini al-Ramahurmuzi  berpendapat “sekalipun syaikh melarang mereportasekan hadis darinya, namun larangan itu tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap menyampaikan hadis tersebut”.
g.    Wasiyah
Wasiyah adalah penegasan syaikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya.  Sejumlah ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis yang diperoleh dengan cara wasiyat.  Wasiyat hadis menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seolah-olah syaikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa hadis tersebut adalah hadis yang ia riwayatkan.
Namun demikian mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah,  bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang menerima hadis dengan cara ini ingin meriwayatkan kembali maka harus sesuai dengan redaksi aslinya, dan harus menjelaskan bahwa hadis tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafad حدثنا, karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Sedangkan alasan ulama lain yang tidak memperbolehkannya adalah, menerima hadis dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h.    Wijadah
Wijadah adalah periwayat menemukan hadis yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadis tersebut dari penulisnya. .    Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Ulama yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika si penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafadوجدت بخط فلان   atau  وجدت فى كتاب فلان بخطه. Kebolehan meriwayatkan hadis dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Sekalipun peneliti tidak menutup mata dari komentar orang-orang yang menolak metode Wijadah, namun jika orang yang mewartakannya sudah memenuhi ketentuan yang berlaku, peneliti lebih setuju pada pendapat yang mengesahkannya Karena bagaimanapun juga metode ini pernah dilakukan pada masa-masa awal, walaupun masih dalam jumlah terbatas. Keterbatasan ini menurut peneliti tidak lebih dari langkah untuk meminimalisir terjadinya distorsi dalam mewartakan nilai-nilai agama. Yang terpenting, periwayat maupun data yang menjadi sumber primer harus kredibel.
6.    Pengertian Hadis Mu'an'an dan Muannan dan Implikasinya Terhadap Persambungan Sanad
Hadis mu’an’an adalah hadis yang dalam proses pewartaannya hanya menyebutkan lafad عن فلان عن فلان   tanpa memberi penjelasan apakah hadis tersebut diperoleh dengan mendengar langsung atau yang lain.  Kata عن bukan sengaja diletakkan oleh periwayat yang namanya disebut sebelumnya, melainkan ia datang dari orang yang ada di bawahnya.  Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Himam حدثنا قتادة عن أنس, maka kata ‘an di situ merupakan perkataan Himam, bukan Qatadah. Karena ‘An berkesinambungan dengan حدثنا. Disamping itu kebiasaan seorang guru dalam meriwayatkan hadis dengan mengatakan حدثنا, أخبرنا, dll, tidak dengan kata عن. Dengan demikian, dalam kasus Himam di atas masih belum dapat dipastikan kata apa yang digunakan oleh Qatadah ketika meriwayatkan hadis dari Anas. Sehingga juga berakibat pada belum adanya kejelasan, apakah sanad Qatadah dari Anas bersambung atau tidak.
Sementara terkait dengan Muasarah (seperiode) apakah ia bisa dijadikan sebagai salah satu metode untuk menetapkan bersambungnya sanad, masih menjadi perdebatan yang sangat hangat di kalangan kritikus hadis. Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahih-nya mengatakan “Mu'asarah saja sudah bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk memastikan kemuttasilan sanad, dengan catatan sanad tersebut tidak mengadung unsur tadlis, sekalipun tidak ada informasi lebih lanjut yang menjelaskan bahwa keduanya pernah bertemu”. Imam Muslim tidak men-syaratkan adanya liqa’ dan sima', yang terpenting dalam pandangan beliau adalah ketsiqahan periwayat yang menjadi perekam fakta kesejarahan hadis.  Pendapat ini juga dikemukakan oleh mayoritas kritikus hadis di antaranya al-Hakim. Sementara Al-Madini dan muridnya al-Bukhari mengharuskan adanya pertemuan dan berkumpul antara periwayat, walaupun hal itu hanya terjadi sekali.
Abu Bakar al-Shayrafi menjelaskan lebih lanjut bahwa seorang periwayat yang telah dikenal sebagai orang yang mendengar hadis dari seorang syaikh, bila kemudian ia meriwayatkan hadis dari syaikh tersebut maka hadis yang diriwayatkan dianggap muttasil. Demikian juga orang yang diketahui bertemu dengan syaikh kemudian meriwayatkan darinya. Anggapan ini terus berlaku sampai ada kejelasan bahwa hadis yang diriwayatkannya mengandung unsur tadlis.
Bagaimanapun juga dalam uji ketersambungan sanad, hadis ini tidak  terlepas dari kritikan para muhaddis lain. Syu’bah misalnya menyatakan hadis yang dirwayatkan dengan ‘an tidak pantas disebut sebagai hadis, melainkan ia adalah –seperti juga diungkapkan al-Nawawi - ucapan yang disepakati oleh ulama klasik untuk menolaknya. Di antara orang yang menolak kemuttasilan sistem transmisi (sanad) hadis ini adalah al-Baihaqi. Beliau mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Qays sebagai sampel, yang kemudian dijadikan sebagai alasan untuk memastikan ketidak bersambungan serial mata rantainya.  Yang demikian ini dikarenakan hadis tersebut mengandung kemungkinan besar bahwa orang yang menjadi tangga perantara tidak mendengar langsung dari gurunya, melainkan ia mendapatkannya dari orang lain yang sengaja tidak disebutkan dalam serial mata rantainya.
Penulis melihat pertentangan seputar hadis mu’an’an yang terjadi di kalangan para pendahulu kita hanyalah sebatas wacana pemikiran. Pendapat ulama yang kontra mu’an’an misalnya –menurut persepsi peneliti- sebenarnya merupakan langkah protektif untuk membendung eskalasi pemalsuan hadis, sehingga mereka memilih sikap menolak segala bentuk hadis yang diriwayatkan dengan ‘an, karena pada tataran prosesnya ia dianggap tidak jelas.
Namun tidak demikian halnya dengan golongan yang setuju. Sekalipun dalam hadis ini terdapat beberapa kemungkinan tidak bersambungnya sanad, semisal tidak mendengar langsung, namun dengan adanya beberapa syarat yang dikemukakan oleh golongan kedua, maka kemungkinan-kemungkinan negatif itu akan segera hilang dengan sendirinya. Dan dari sini dapat dimengerti bahwa tidak semua hadis mu’an’an dapat diterima oleh golongan ini, melainkan yang bersumber dari orang-orang tertentu.
Sama halnya dengan mu’an’an adalah hadis muannan , yaitu hadis yang dalam pola penyampainnya banyak menggunakan أنّ. Al-Barmawi menyatakan sebenarnya pertentangan seputar perkataan periwayat أنّ فلان قال/ عن فلان أنه قال tidak perlu diperpajang, karena keduanya sama saja dengan periwayat mengatakan  قال فلان. Melainkan yang perlu kita cermati disini apabila periwayat yang menjadi sumber primer hadis mengatakan إن فلان قال/ فعل كذا atau lafad lain yang tidak menunjukkan adanya sima' (mendengar).
Oleh karenanya, al-Hafiz Ibn Rajab memberikan jalan tengah. Menurut beliau perkataan periwayat berupa إن فلان قال/ فعل كذا dalam kemuttasilan sanad terdapat dua macam. Pertama, jika periwayat memang mendengar atau menyaksikan langsung ucapan atau perbuatan yang diceritakan, maka ia sama dengan قال فلان/ فعل فلان كذا, yang berarti serial mata rantainya bersambung. Kedua, kemungkinan kedua ini periwayat tidak mendengar atau melihat sendiri, semisal masanya berbeda.  Jika memang demikian, maka contoh yang disebut terakhir ini bisa dipastikan tidak muttasil.

0 Komentar