Al-Qur'an Dalam Ushul Fiqh


Al-Kitab

Bukti bahwa al-Qur'an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-Qur'an itu datang dari Allah, dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kesahannya dan kebenarannya.
Kata al-Kitab menurut bahasa adalah tulisan, sesuatu yang tertulis tetapi sudah menjadi umum di dalam ajaran Islam untuk nama al-Qur'an, yaitu Kalam Allah SWT yang diturunkan dengan perantara malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata berbahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasulullah SAW dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibaca. la ditadwinkan diantara dua lembar mushaf, mulai dengan aI-Fatihah dan ditutup dengan an-Nas, dan telah sampai kepada kita dengan mutawatir, dianggap beribadah apabila membacanya. Ada pula yang mendefinisikan al-Qur'an dengan: Lafadh bahasa Arab yang diturunkan untuk direnungi, diingat dan mutawatir. Al-Qur'an tidak mengalami pergantian atau perubahan apapun. Baik isi, lafadh maupun susunan serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Hal ini dijamin oleh Allah SWT dengan firman-Nya:
Artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-Dzikr (al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami sielalu menjaganya." (al-Hijr: 9)
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab
Ayat-ayat al-Qur'an berikut ini menjelaskan ke-bahasa Arabannya ketika turun kepada Nabi Muhammad SAW.
Artinya:
".... dan al-Qur'an ini berbahasa Arab yang nyata." (an-Nahl: 103)
Artinya:
"Al-Qur'an itu turun dibawa oleh Ruhul Amin ke dalam hatimu agar kamu termasuk orang yang memberi peringatan. la turun dengan bahasa Arab yang jelas." (Asy-Syu'arâ: 193-195)
Artinya:
"Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur'an dalam bahasa Arab, mudah-mudahan engkau mengerti." (Yusuf: 2)
Artinya: "Demikianlah Kami turunkan al-Qur'an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan berulangkali di dalamnya sebagian dari ancaman, mudah-mudahan mereka bertaqwa dan mudah-mudahan al-Qur'an itu menimbulkan pengajaran bagi mereka." (Thâhâ: 113)
Artinya: "Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yaitu bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui." (Fushshilat: 4)
Artinya:
"Dan demikianlah Kami wahyukan al-Qur'an dalam bahasa Arab." (asy-Syûra: 7)
Artinya:
"Sesungguhnya Kami jadikan al-Qur'an itu berbahasa Arab supaya kamu memahaminya." (az-Zukhruf: 3)
Artinya:
"Dan ini adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang dzalim dan sebagai khabar gembira bagi orang-orang yang berbuat baik." (al-Ahqâf: 12)
Artinya:
"(lalah) al-Qur'an dalam bahasa Arab yang tldak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa." (az-Zumar: 28)
Tentang ke-bahasa Arab-an al-Qur'an ini, Imam asy-Syafi'i mengemukakan di dalam ar-Risalahnya sebagai berikut: "Yang wajib atas orang-orang yang pandai ialah hendaknya mereka itu tidaklah berpendapat (mengatakan sesuatu) kecuali karena mereka telah mengetahui. Dan memang ada pula orang yang berkata di dalam masalah ilmu yang sekiranya mereka mau menahan diri tidak mengatakannya akan lebih baik baginya dan lebih selamat. Insya Allah."
Diantara mereka ada yang berpendapat: "(Sesungguhnya di dalam al-Qur'an itu ada yang Arab dan ada yang 'ajam (asing)."
Padahal al-Qur'an itu menunjukkan sesungguhnya di dalam al-Qur'an itu sendiri tidak ada sesuatupun kecuali mesti berbahasa Arab.
Dan orang yang berpendapat seperti ini seperti mendapatkan seseorang yang menerima pendapatnya itu daripadanya, karena taqlid kepadanya, dan meninggalkan bagi masalah itu dari hujjahnya, dan masalah yang lain dari orang yang menentangnya.
Dan karena taqlid, menjadi lengahlah orang di kalangan mereka, dan semoga Allah mengampuni kita dan mereka.
Dan barangkali saja orang yang berpendapat "di dalam al-Qur'an sesungguhnya terdapat yang bukan berbahasa Arab, dan hal itu diterima daripadanya," adalah karena berpendapat di dalam sebagian al-Qur'an itu terdapat sesuatu yang khusus, yang sebagian dari padanya tidak diketahui oleh sebagian bangsa Arab.
Padahal bahasa Arab itu lebih luas, lafadhnya paling banyak, dan kami tidak mengetahui ada orang yang dapat menguasai seluruhnya itu kecuali Nabi, akan tetapi tidak satupun kalimat padanya yang berada pada orang-orang umumnya, sehingga di situ lalu tidak terdapat orang yang dapat memahaminya."
Di halaman lain asy-Safi'i mengemukakan:
"Dan termasuk keseluruhan ilmu dengan Kitabullah itu ialah mengetahui bahwa semua yang di dalam Kitabullah itu sesungguhnya diturunkan dalam bahasa Arab."
Beliaupun mengemukakan dalil Al Qur'an sebagai berikut :
Artinya:
"Dan sekirannya Kami jadikan al-Qur'an itu bacaan dalam bahasa 'ajam, pastilah mereka akan berkata: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya, apakah 'ajam atau Arab?" Katakanlah: al-Qur'an itu untuk orang-orang yang beriman merupakan petunjuk dan penyembuh. Dan orang-orang yang tidak beriman di dalam telinga mereka ada sumbatan, dan al-Qur'an itu bagi mereka merupakan kegelapan. Mereka itu dipanggil dari tempat yang jauh." (Fushshilat: 44)
Karena al-Qur'an itu berbahasa Arab, berarti kebahasa Araban al-Qur'an itu merupakan bagian dari al-Qur'an itu. Karena itu terjemahannya bukanlah al-Qur'an. Apabila kita shalat membaca terjemahan al-Qur'an tidaklah sah shalat kita, sebab yang diperintahkan ialah membaca al-Qur'an, bukan terjemahannya. Imam Abu Hanafiyah membolehkan shalat membaca terjemahan al-Qur'an di dalam bahasa Parsi. Tetapi katanya beliau surut dari pendapatnya itu.
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, al-Qur'an itu sarnpai kepada kita dengan jalan mutawatir. Karena itu tidak termasuk mutawatir ialah bacaan syadz (yang tidak bisa dikenal) dan yang tidak disepakati para qurra', dan karena itu tidak dinamakan al-Qur'an serta tidak sah bershalat membaca bacaan syadz itu. Adapun bacaan yang disepakati ialah bacaan imam yang tujuh: Ibnu Katsir (Makkah, wafat 120 H), Nafi' (Madinah, wafat 169 H), Ibnu 'Amir (Syam, wafat 118 H), Abu 'Amr Ibnu -'Ala' (Basrah, wafat 157 H), 'Asim (Kufah, wafat 127 H), Hamzah (Kufah, wafat 156 H), al-Kisai (Kufah, wafat 189 H). Ada tiga bahasa lainnya yang oleh para qurra' belum disepakati, yaitu: Abu Ja'far (Madinah, wafat 128 H), Ya'qub (Basrah, wafat 205 H) dan Khalaf (Kufah, wafat 129 H). Selain itu mereka sudah disepakati akan kesyadzannya.
Apakah bacaan syadz itu boleh digunakan sebagai istinbath hukum? Dalam hal ini terdapat perselisihan.
Al-Ghazali berpendapat bacaan syadz tidak boleh menjadi hujjah, sebab bacaan tersebut tidak termasuk al-Qur'an. Seperti misalnya bacaan Ibnu Mas'ud tentang tebusan orang bersumpah:
Artinya:
"Siapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa tiga hari berturut-turut."
Ayat ini terdapat di dalam Surat aI-Mâidah ayat 89. Dan yang mutawatir sebagai berikut:
Artinya: "Siapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa tiga hari."
Tanpa ada kata-kata mutata-bi'at yang artinya berturut-turut. Dan karena itu tidak wajib berpuasa tiga hari berturut-turut. Jadi menurut ayat tersebut mereka yang melanggar sumpah, supaya menebus sumpahnya dengan memberi makan kepada sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa kita makan, atau memberi pakaian kepada mereka, atau membebaskan seorang budak. Kalau tidak sanggup atau tidak mendapatkan untuk melakukan demikian, hendaklah ia berpuasa tiga hari.
Tetapi Imam Abu Hanafiyah berpendapat bacaan syadz itu menjadi hujjah, karena itu berpuasa di sini harus tiga hari berturut- turut.
Imam Ghazali berpendapat, yang dapat menjadi hujjah itu ialah apabila sesuatu itu tidak diragukan lagi memang dari Nabi Muhammad SAW, tetapi apabila hal itu merupakan keragu-raguan apakah itu memang datang dari Nabi Muhammad apa bukan, yang seperti ini tidak dapat menjadi hujjah.
Al-Qur'an turun kepada Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu, di dalam bahasa Arab, dan kalimatnyapun dari Allah SWT. Membaca inilah yang dimaksud membacanya itu beribadat. Hal ini berbeda dengan hadits. Sebab hadits itu merupakan wahyu dari Allah SWT tetapi lafadh dan kalimatnya dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Demikian pula hadits qudsi, yaitu wahyu dari Allah yang biasanya dimulai oleh Nabi Muhammad dengan: Allah berkata dan kemudian isinya diterangkan sebagai kata-kata Allah SWT. Tentu saja apabila memenuhi perintah-perintah yang terkandung di dalamnya itulah juga beribadat. Yang dimaksud membaca di sini, ya sekedar membaca itu saja sudah mendapatkan pahala, sudah dianggap beribadat. Membaca lambat atau cepat, lancar atau tidak lancar, faham maknanya ataupun tidak.
1. Kehujjahan al-Qur'an
Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan al-Qur'an dengan ucapannya sebagai berikut:
"Bukti bahwa al-Qur'an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-Qur'an itu datang dari Allah, dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kesahannya dan kebenarannya. Sedang bukti kalau al-Qur'an itu datang dari Allah SWT, ialah bahwa al-Qur'an itu membuat orang tidak mampu membuat atau mendatangkan seperti al-Qur'an."
Membuat orang tidak mampu (al-I'jâz) itu baru terjadi, demikian Abdul Wahhab Khallaf, apabila tiga hal berikut ini terdapat pada sesuatu. Yaitu adanya tantangan (at-ta-haddy), adanya motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan dan ketiadaan penghalang yang mencegah adanya tantangan.
Nabi Muhammad SAW ketika menyatakan kenabiannya dan orang-orang kafir menentangnya dan juga menentang ajaran Allah SWT (al-Qur'an) beliau berkata: "Apabila engkau sekalian meragukan semua ini, cobalah kamu datangkan atau kamu buat saja satu surat yang sama dengan al-Qur'an."
Ucapan seperti ini bukan berarti gurauan seraya dijawab dengan: Mana ada di dunia ini sesuatu yang sama dengan yang lain. Bukan begitu. Akan tetapi makna yang terpenting pernyataan ini ialah bahwa manusia tidak akan mampu menyusun satu ayat pun sebagaimana ayat al-Qur'an, baik mengenai susunan dan keindahan bahasanya, dan juga maknanya, lebih-Iebih kepastian dan kebenaran akan isinya yang mutlak yang berlaku dan tidak bisa dipungkiri.
Allah sendiri berfirman di dalam al-Qur'an sebagai berikut:
Artinya:
"Dan apabila engkau sekalian di dalam keadaan ragu-ragu terhadap apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, buatlah satu surat yang serupa dengannya, dan datangkanlah saksi-saksimu selain Allah, apabila engkau sekalian memang orang-orang yang benar." (al-Baqarah: 23)
Di dalam surat yang lain Allah juga berfirman:
Artinya:
"Apakah mereka berkata Muhammad itu membuat-buat al-Qur'an? Katakanlah Muhammad; Datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah apabila engkau sekalian memang orang-orang yang benar." (Hud: 13)
artinya: "Katakanlah Muhammad, sekiranya jin dan manusia berkumpul untuk membuat yang serupa menyamai al-Qur'an ini mereka tidak akan dapat melakukannya, sekalipun sebagian mereka membantu kepada sebagiannya." (al-Isrâ': 88)
Juga Allah menegaskan:
artinya:
"Apakah mereka mengatakan Muhammad itu membuat-buatnya. Sebenarnya mereka tidak beriman. Hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang sepadan dengan al-Qur'an itu. Apabila mereka itu orang-orang yang benar." (ath-Thûr: 33-34)
Betapapun mereka, yang menantang al-Qur'an itu tidak dapat memberikan yang serupa dengan al-Qur'an itu, apakah itu dari segi bahasanya, atau isinya dan lebih-lebih ketepatan isinya yang menyangkut baik riwayat orang-orang dahulu, tentang jagad raya dan hukum-hukum yang dikemukakan oleh Allah SWT.
Dan dunia juga membuktikan dikarenakan orang-orang tidak melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagaimana yang tercantum di dalam al-Qur'an, dan mereka berbuat yang seolah-olah menentangnya, maka bencanalah yang terjadi.
2. Segi-segi kemu'jizatan al-Qur'an.
Mengapa mereka lemah? Dan apa segi-segi kemu'jizatannya?
Kemu'jizatan al-Qur'an tidak dari segi lafadhnya saja, tetapi juga makna dan isinya. Dikemukakan misalnya tentang rahasia-rahasia alam, hingga kini belum juga terungkap, atau sebagian saja yang terungkap. Susunan bahasanya yang indah, dan dapat dibaca dalam segala keadaan, hingga kini tidak ada sesuatu yang menyamainya, dan tidak ada pula yang menandinginya. Hal ini dapat dirasakan oleh mereka yang memahami bahasa Arab dengan baik. Demikian kesucian al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan.
Bahkan juga al-Qur'an mengantar orang untuk memikirkan kejadian-kejadian di sekitarnya, agar kita merenungkan sifat keilmiahan dan kegunaan dari benda-benda di sekeliling kita.
Allah berfirman di dalam al-Qur'an sebagai berikut:
Artinya: "Apakah mereka tidak merenungkan al-Qur'an? Sekiranya al-Qur'an itu datang bukan dari Allah, pastilah mereka mendapatkan di dalam al-Qur'an itu pertentangan yang banyak." (an-Nisâ': 82)
Artinya:
"Dan Kami menurunkan besi, padanya terdapat kekuatan yang dahsyat dan kemanfaatan-kemanfaatan yang banyak bagi manusia." (al-Hadîd: 25)
Allah menyebut tentang besi di saat besi belum berkembang kemanfaatan dan kekuatannya sebagai sekarang ini. Allah juga mengatakannya bahwa ilmu pengetahuan manusia mengembangkan besi datang beratus-ratus tahun kemudian sesudah firman Allah tersebut. Ini berbicara secara umum tentang kemampuan manusia dalam ilmu.
Juga Allah berfirman di dalam al-Qur'an:
Artinya:
"Sesungguhnya di dalam ciptaan Allah yang berupa langit dan bumi, perbedaan malam dan siang, merupakan tanda-tanda akan kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal. Yaitu mereka yang selalu ingat kepada Allah ketika sedang berdiri, duduk ataupun dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, kemudian mereka berkata: "Oh Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan segalanya ini sia-sia, Maha suci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka." (Ali Imran: 190-191)
Sejarah membuktikan firman Allah SWT:
Artinya:
"Dan apabila Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan penyelewengan di dalam negeri itu, karena itu sudah sepantasnya berlaku ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan mereka itu sehancur-hancurnya," (al-Isrâ': 16)
Bukankah apabila orang-orang sudah suka memenuhi hawa nafsunya, lupa kepada masyarakat sekitarnya, ini akan menjadi bibit-bibit revolusi, yang biasa dikenal dengan revolusi sosial?
Betapa sejarah modern membuktikan pernyataan Allah SWT. Al-Qur'an memberikan juga riwayat bangsa-bangsa yang lalu. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah tahu riwayat-riwayat itu. Allah berfirman:
Artinya: "Itu adalah diantara berita-berita gaib yang Kami mewahyukan kepadamu, engkau sendiri dan kaummu setelah ini tidak mengetahuinya." (Hud: 49)
Di samping itu al-Qur'an juga mengatakan tentang apa yang akan terjadi, dan ternyata benar terjadi, yaitu:
Artinya:
"Alif lam mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan akan menang dalam beberapa tahun lagi" (ar-Rûm: 1-4)
Ayat ini menceriterakan terjadinya perang antara Romawi yang Nasrani dengan Persia yang Majusi. Mula-mula bangsa Romawi kalah, tetapi kemudian menang dan kalahlah bangsa Persia.
Demikian pula di dalam ayat yang lain Allah berfirman:
Artinya:
"...Sesungguhnya engkau akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman..." (al-Fath: 27)
Sebelum terjadinya perdamaian Hudaibiyyah, Nabi Muhammad SAW bermimpi akan memasuki kota Mekkah bersama sahabatnya dalam keadaan sebagian mereka bercukur dan sebagian lagi bergunting. Kata Nabi hal itu kelak akan terjadi. Dan sampailah berita ini di kalangan ummat Islam, orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan setelah perdamaian Hudaibiyyah Nabi dan pengikutnya tidak memasuki Mekkah dan Masjidil Haram, mereka mengolok-olok Nabi dan dikatakan oleh mereka, Nabi Muhammad SAW pembohong. Tetapi bagaimana kenyataannya? Beberapa waktu kemudian, firman Tuhan itu terwujud. Yaitu Nabi dan pengikutnya masuk kota Mekkah dan Masjidil Haram.
al-Qur'an susunan bahasanya fashih, ungkapan bahasanya baligh. Hal ini akan dapat dirasakan bagi mereka yang memahami bahasa Arab dengan baik.
3. Mengetahui sebab-sebab turunnya al-Qur'an.
Sebab-sebab turunnya al-Qur'an, yang biasa disebut dengan Asbabunnuzul, sangatlah penting dipandang dari dua segi:
  1. Mengetahui ke-i'jazan al-Qur'an itu pokoknya ialah: mengetahui keadaan yang sesungguhnya ketika ayat itu diturunkan, ditujukan kepada siapa.
  2. Tidak mengetahui Asbabunnuzul, dikhawatirkan orang akan terjatuh kepada perselisihan yang tidak ada gunanya dan tidak semestinya.
Suatu ketika Sayyidina Umar RA bertanya kepada Ibnu Abbas, "Hai Ibnu Abbas kenapa ummat ini berbeda-beda pendapat dan berselisih, padahal Nabinya itu satu?"
Ibnu Abbas menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, al-Qur'an diturunkan kepada kita, kitapun membacanya dan kitapun mengetahui apa sebabnya ia turun. Dan sesudah kita ini, akan ada suatu kaum yang membaca al-Qur'an, akan tetapi mereka itu tidak mengetahui sebabnya ia itu diturunkan, menjadikan ia akan mengemukakan pendapat (ar-ra'yu) Apabila mereka masih mengemukakan pendapatnya, terjadilah perselisihan yang akan menimbulkan pertempuran."
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Bukhari, ia bertanya kepada Nafi': "Bagaimana pendapat Ibnu Umar tentang orang Haruriyah." Ibnu Umar menjawab: "Mereka itu makhluk yang paling jelek, sebab mereka memperlakukan ayat untuk orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman."
Inilah ar-ra'yu yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dan kita diperingatkan terhadapnya, tidak lain karena ar-ra'yu yang demikian itu muncul dari kebodohan tentang arti yang dibawa oleh al-Qur'an ketika turunnya.
Dan diriwayatkan, pada waktu Marwan mengirim utusan, bertanya kepada Ibnu Abbas: "...Apabila orang yang bergembira karena memperoleh apa yang ia senangi dan dipuji karena meninggalkan suatu pekerjaan itu dipaksa, maka pastilah kita semua akan disiksa."
Ibnu Abbas menjawab: "...Apa maksud kamu sekalian dengan ayat ini?" Soalnya Nabi memanggil orang-orang Yahudi, beliau menanyakan mereka akan sesuatu, akan tetapi mereka menyembunyikannya dari Nabi, dan memberitahukan hal yang lain, mereka menunjukkan kepadanya akan halnya mereka dipuji lantaran yang telah mereka khabarkan kepada Nabi sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi kepada mereka, dan merekapun gembira atas apa yang mereka sembunyikan, kemudian Ibnu Abbas membaca ayat:
Artinya:
"Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan engkau menyembunyikannya" lalu mereka melemparkan janji itu di belakang punggung mereka dan mereka menukarkannya dengan harga yang sedikit. Jangan sekali-kali kamu menyangka orang-orang yang bergembira lantaran apa yang mereka telah lakukan dan mereka suka supaya dipuji-puji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan, jangan kamu mengira mereka akan terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." (Ali Imran: 187-188)
Nyatalah ayat ini tidak seperti apa yang disangka oleh Marwan. Ketika Qudamah bin Madh'un dituduh minum khamr dizaman Umar, dan Umar mau menjilidnya, Qudamah berkata: "Demi Allah, sekiranya saya memang meminum khamr sebagaimana mereka menuduhnya kepada saya, betapapun engkau tidaklah berhak menjilid saya, sebab Allah telah berfirman:
Artinya:
"Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman, dan mengerjakan amal-amalan yang shaleh, kemudian mereka tetap bertaqwa dan beriman, kemudian mereka tetap bertaqwa juga dan berbuat bauk, dan Allah ltu suka kepada orang-orang yang berbuat baik." (al-Mâidah: 93)
Sedang saya termasuk mereka."
Ternyata penafsiran Qudamah tentang minum yang tidak berdosa itu keliru. Yang dimaksud dalam ayat itu ialah orang yang minum atau makan makanan haram ketika mereka dulu masih kafir.
Hal ini jelas, ketika Umar bertanya kepada Ibnu Abbas: Bagaimana? Dijawab oleh Ibnu Abbas, ayat itu turun sebagai pemaafan kepada orang-orang dahulu, dan menjadi hujjah bagi orang-orang sekarang ketika menghadapi mereka, waktu itupun khamr belum lagi diharamkan kepada mereka, sebab Allah berfirman:
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, jauhilah oleh kamu sekalian, mudah-mudahan engkau berbahagia." (al-Mâidah: 90)
Kalaulah orang itu, demikian Ibnu Abbas, termasuk orang yang beriman dan beramal shaleh, kemudian bertaqwa dan kemudian berbuat baik, sesungguhnya Allah melarangnya untuk meminum khamr. Umar menjawab: "Engkau benar." Jelaslah dengan tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan menyimpangkan dari maksud yang sebenarnya dari ayat itu. Karena itulah, mengetahui sebab-sebab turunnya ayat ini menyebabkan seseorang akan mengerti dengan baik terhadap al-Qur'an.
Hasan berpendapat bahwa Allah tidak menurunkan ayat kecuali wajiblah bagi seseorang mengetahui di dalam hal apa ia itu diturunkan dan apa maksud Tuhan dengan ayat itu.
Demikian pula wajib diketahui, bagaimana orang atau bangsa Arab ketika ayat itu turun, sebab apabila hal itu tidak diperhatikan juga akan menimbulkan kesamaran di dalam memahami al-Qur'an.
Misalnya saja firman Allah:
Artinya:
"Sempurnakanlah olehmu semua akan haji dan umrah karena Allah." (al-Baqarah: 196)
Di sini yang terdapat adalah perintah menyempurnakan haji. Kenapa? Dulu bangsa Arab memang sudah menjalankan ibadah haji. Sekarang mereka tetap juga diperintahkan melakukan ibadat haji, hanya saja tatacara yang dilakukan pada waktu dulu yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam, misalnya tentang wuquf di Arafah dan lain-Iainnya. Dan perintah inipun berlaku bagi semua umat Islam. Allah pun berfirman tentang wajib haji diayat lain, sebagai berikut:
Artinya:
"....Oh Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami apabila kami lupa atau bersalah..." (al-Baqarah: 286)
Menurut Abu Yusuf, ayat ini berlaku pada masalah kemusyrikan, karena mereka dahulu baru saja dari kekufuran masuk Islam, kemudian mereka itu ingin bertauhid akan tetapi keliru dengan kekufuran, karena itu AIlah mengampuni mereka dari hal tersebut sebagaimana AIlah mengampuni mereka apabila mereka mengucap kufur karena dipaksa. Jadi ayat ini untuk masalah syirik. Tidak berlaku untuk sumpah di dalam cerai, membebaskan budak, jual-beli, sebab pada waktu mereka dahulu tidak ada sumpah dan pembebasan budak itu.
Jelaslah kemu'jizatan al-Qur'an akan dapat diketahui dengan mengetahui suasana dan keadaan ketika ayat al-Qur'an itu diturunkan, dan tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur'an akan menyebabkan keragu-raguan, bahkan yang jelas bisa menjadi samar, atau mungkin keliru sama sekali.
4. Sifat-sifat hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an.
Umumnya hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an itu bersifat garis besarnya saja, tidak sampai kepada perincian yang kecil-kecil. Kebanyakan penjelasan al-Qur'an ada dalam as-Sunnah. Sekalipun demikian, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an cukup lengkap. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT di dalam al-Qur'an:
Artinya:
"Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab." (al-An'am: 38)
al-Qur'an telah sempurna, sebab syari'at juga sudah sempurna, sebagaimana Allah berfirman:
Artinya:
"Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu sekalian akan agamamu, dan Kusempurnakan Pula kepadamu sekalian akan nikmatKu, dan Akupun ridla Islam sebagai agama bagi kamu sekalian." (al-Mâidah: 3)
Memang sudah jelas, hukum-hukum shalat, zakat, haji dan lain-lainnya, namun al-Qur'an tidak menjelaskannya dengan tuntas, yang menjelaskannya adalah as-Sunnah, demikian pula tentang perkawinan, transaksi, qishash dan lain-lainnya.
Sebagaimana kita ketahui, dalil-dalil atau ladasan pokok di dalam Islam adalah al-Qur'an, as-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qiyas. Semua itulah yang akan menjelaskan al-Qur'an. Mula-mula as-Sunnah, kemudian al-Ijma' dan kemudian al-Qiyas. Semua ini landasannya juga terdapat di dalam al-Qur'an.
Jadi kesimpulannya, kebanyakan hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an itu kulli (bersifat umum, garis besar, global), tidak membicarakan soal yang kecil-kecil (juz'i).
5. Asas-asas hukum
Asas-asas hukum sebagai yang tercantum di dalam al-Qur'an ialah:
  1. Tidak memberatkan.
Hal ini dinyatakan dalam firman Allah:
Artinya:
"Dan tidaklah Allah membuat atasmu dalam agama itu suatu kesukaran." (al-Hajj: 78)
Demikian pula firman Allah yang lain:
Artinya:
"Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (al-Baqarah: 286)
Nabipun bersabda:
Artinya:
"Aku diutus membawa agama yang mudah lagi gampang." (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)
Juga dalam riwayat lain:
Artinya:
"Tidaklah Rasulullah disuruh memilih antara dua perkara kecuali beliau mesti memilih yang lebih mudahnya apabila di dalam yang lebih mudah itu tidak dosa." (HR. Bukhari)
Sebagai contoh, shalat yang dilakukan dengan berdiri, dibolehkan dilakukan dengan duduk bagi mereka yang sakit. Dan ketika Ramadlan boleh seseorang tidak berpuasa apabila sakit atau bepergian, asal nanti diganti di waktu lain.
  1. Islam tidak memperbanyak beban atau tuntutan.
Artinya segala sesuatu yang ditentukan di dalam al-Qur'an, juga di dalam as-Sunnah semua manusia mampu melakukannya.
  1. Ketentuan-ketentuan Islam datang secara berangsur-angsur. Contohnya, khamr mula-mula dikatakan oleh Allah, orang-orang tidak diperbolehkan shalat apabila dalam keadaan mabuk, kemudian dikatakan di dalam khamr itu ada kemanfaatannya tetapi ada juga kemafsadatannya, akan tetapi kemafsadatannya itulah yang lebih besar. Akhirnya khamr sama sekali diharamkan.
Ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an tidak banyak, kurang lebih 200 ayat saja.
6. Pokok-pokok isi al-Qur' an
  1. Masalah tauhid, termasuk di dalamnya segala kepercayaan terhadap yang gaib. Manusia diajak kepada kepercayaan yang benar yaitu mentauhidkan Allah SWT.
  2. Ibadat, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan di dalam hati dan jiwa.
  3. Janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan yang baik/pahala bagi mereka yang berbuat baik, dan ancaman yaitu siksa bagi mereka yang berbuat kejelekan. Janji akan memperoleh kemulyaan baik di dunia maupun di akhirat dan ancaman akan kesengsaraan baik di dunia maupun di akhirat. Janji dan ancaman di akhirat berupa surga dan neraka.
  4. Jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, yang berarti berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridlaan Allah SWT.
  5. Riwayat dan ceritera, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik itu sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh maupun nabi-nabi utusan Allah SWT.
7. Macam-macam hukum
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, hukum yang dikandung dalam al-Qur'an itu terdiri tiga macam:
  1. a. Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan keimanan (kepada Allah, malaikat, para nabi, hari kemudian, dan lain-lainnya).
  2. b. Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
  3. c. Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan ucapan, perbuatan, transaksi (aqad) dan pengelolaan harta Inilah yang disebut fiqhulqur'an, dan inilah yang dimaksud dengan Ilmu Ushul Fiqh sampai kepadanya.
Selanjutnya Abdul Wahhab mengemukakan hukum-hukum amaliyah di dalam al-Qur'an terdiri atas dua cabang hukum:
  1. Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT.
  2. Hukum-hukum mu'amalah, seperti aqad, pembelanjaan, hukuman, jinayat dan lain-lain selain ibadah, yaitu yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, baik perseorangan maupun kelompok. Inilah yang disebut hukum muamalah, yang di dalam hukum modern bercabang-cabang sebagai berikut:
    1. Hukum badan pribadi, tentang manusia, sejak adanya dan kemudian ketika berhubungan sebagai suami istri, di dalam al-Qur'an terdapat sekitar 70 ayat (diistilahkan dengan al-ahwalusy syakhabiyyah).
    2. Hukum perdata, yaitu hukum muamalah antara perseorangan dengan perseorangan juga perseorangan dengan masyarakat, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan. Ayat-ayat tentang ini sekitar 70 (al-ahkamul madaniyyah).
    3. Hukum pidana, sekitar 30 ayat (al-ahkamul Jinayyah).
    4. Hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan, kesaksian dan sumpah, sekitar 13 ayat (al-ahkamul murafa'at).
    5. Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hukum dan pokok-pokoknya. Yang dimaksud dengan ini ialah membatasi hubungan antara hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkamud dusturiyyah).
    6. Hukum ketatanegaraan, yaitu hubungan antara negara-negara Islam dengan negara bukan Islam, tatacara pergaulan dengan selain muslim di dalam negara Islam. Semuanya baik ketika perang maupun damai. Ayat tentang ini sekitar 25 ayat (al-ahkamud dauliyyah).
    7. Hukum tentang ekonomi dan keuangan, hak seorang miskin pada harta orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dengan orang-orang kaya, antara negara dengan perorangan. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkamul istishadiyyah wal maliyyah).
8. Dalalah ayat-ayat al-Qur'an yang qath'iy dan dzanni
Nash-nash al-Qur'an itu bila dilihat dari sudut cara datangnya adalah qath'iy, artinya pasti. Al-Qur'an dari Allah SWT, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan oleh beliau disampaikan kepada umatnya tanpa ada perubahan ataupun penggantian.
Ketika turun kepada Rasulullah, oleh beliau disampaikan kepada sahabatnya, lalu dicatat oleh para sahabat, dihafal dan kemudian diamalkan. Abu Bakar dengan perantara Zaid bin Tsabit mentadwinkan al-Qur'an, demikian pula sahabat-sahabat yang lain mencatat. Kemudian dihimpun dan himpunan ini dipelihara oleh Abu Bakar, demikian pula oleh Umar. Semua menurut urutan yang ditentukan oleh Nabi Muhammad SAW. Himpunan ini kemudian oleh Umar ditinggalkan kepada puterinya Hafshah ummil mukminin, isteri Rasulullah. Di masa Utsman, naskah ini diambil oleh beliau, dihimpunnya dengan perantara Zaid bin Tsabit dan dibantu oleh para sahabat Anshar dan Mujahirin, jadilah sebagaimana kita kenal Mushhaf Utsman, yang kemudian beberapa mushhaf itu dikirim oleh Utsman ke beberapa kota umat Islam.
Al-Qur'an ini tetap terpelihara, sebagaiman dijamin oleh Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur'an dan sungguh Kami memeliharanya." (al-Hijr: 9)
Apabila al-Qur'an itu ditinjau dari dalalah atau hukum yang dikandungnya dibagi dua:
a. Nash yang qath'i dalalahnya atas hukumnya
Yaitu nashnya menunjukkan kepada makna yang bisa dipahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan menerima ta'wil, tidak ada pengertian selain daripada apa yang telah dicantumkan.
Misalnya saja firman Allah SWT sebagai berikut:
Artinya:
"Dan bagimu para suami separuh dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak." (an-Nisâ': 12)
Ayat ini sudah qath'i, tidak ada pengertian lain selain daripada yang dikemukakan oleh ayat itu.
Juga misalnya di dalam surat yang lain:
Artinya:
"Deralah tiap lelaki dan perempuan yang berzina itu seratus deraan." (an-Nûr: 2)
Jelas deraan itu seratus kali. Tidak ada pengertian yang lain. Jadi ayat ini qath'i. Demikian pula yang menunjukkan harta pusaka, arti had dalam hukum atau nishab, semuanya sudah dipastikan, sudah dibatasi.
b. Nash yang dzanni dalalahnya
Yaitu yang menunjuk atas yang mungkin dita'wilkan, atau dipalingkan dari makna asalnya, kepada makna yang lain, sepert firman Allah:
Artinya:
"Dan wanita-wanita yang dicerai itu hendaklah menahan dari tiga quru'." (al-Baqarah: 228)
Quru' tersebut di dalam bahasa Arab mempunyai dua arti, yaitu suci dan haid (menstruasi). Karena itu ada kemungkinan, yang dimaksud di sini tiga kali suci, tetapi juga mungkin tiga kali menstruasi. Jadi di sini, berarti dalalahnya tidak pasti atas satu makna dari dua makna yang dimaksud. Karena itu para mujtahidin berselisih pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendirian tiga kali suci, ada pula yang berpendirian tiga kali haid. Demikian Abd. Wahhab Khallaf.

0 Komentar