Akhlak dalam keluarga

Birrul Walidain
Istilah birrul walidain berasal langsung dari Nabi Muhammad saw dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abdullah ibn Mas’ud seorang sahabat nabi yang terkenal bertanya kepada Rasulullah saw tentang amalan apa yang paling disukai oleh Allah swt, beliau menyebutkan. Pertama shalat tepat pada waktunya; kedua birrul walidain dan ketiga, jihad fisabilillah. Teks lengkapnya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman Abdullah ibn Mas’ud ra, dia berkata; aku bertanya kepada nabi saw apa amalan yang paling disukai oleh Allah swt? beliau menjawab “Shalat tepat pada waktunya”. Aku bertanya lagi; kemudian apa? Beliau menjawab “Birrul Walidain”. Kemudian aku bertanya lagi; seterusnya apa? Beliau menjawab “Jihad fi sabilillah” (H. Muttafaqun Alaih).
Birrul walidain terdiri dari kata birru dan al-walidain. Birru atau al-birru artinya kebijakan (ingat penjelasan tentang al-birru dalam surah al-Baqarah ayat 177). Al-walidain artinya dua oran tua atau ibu bapak. Jadi birrul walidain adalah berbuat kebajikan kepada kedua orang tua.
Semakna dengan birrul walidain, Al-Qur’an al-Karim megggunakan istilah ihsan (wa bi al-walidaini ihsana), seperti yang terdapat antara lain dalam surat al-Isra’ ayat 23:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Kedudukan Birrul Walidain
Birrul walidain menempati kedudukan yang istimewa dalam ajaran Islam. Ada beberapa alasan yang membuktikan hal tersebut, antara lain:
  1. Perintah ihsan kepada ibu bapak diletakkan oleh Allah swt di dalam Al-Qur’an langsung sesudah perintah beribadah hanya kepada-Nya semata-mata atau sesudah larangan mempersekutukan-Nya. Allah berfirman (QS. Al-Baqarah  2:83)
  2. Allah swt mewasiatkan kepada umat manusia untuk berbuat ihsan kepada ibu bapak (QS. Al-Ankabut  46:15).
  3. Allah swt meletakkan perintah berterima kasih kepada ibu bapak langsung sesudah perintah berterima kasih kepada Allah swt Allah  berfirman. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman 31:14)
  4. 4. Rasulullah saw meletakkan birrul walidain sebagai amalan nomor dua terbaik sesudah shalat tepat pada waktunya. “Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman Abdullah ibn Mas’ud Ra dia berkata: “Aku bertanya kepada nabi saw; apa amalan yang paling disukai oleh Allah swt? beliau menjawab “shalat tepat pada waktunya”. Aku bertanya lagi; kemudian apa? Beliau menjawab “birrul walidain”. Kemudian aku bertanya lagi; seterusnya apa? Beliau menjawab “Jihad fisabilillah”. (H. Muttafaqun Alaih).
  5. Rasulullah saw meletakkan uququl walidain (durhaka kepada dua orang ibu bapak) sebagai dosa besar nomor dua sesudah syirik. “Diriwayatkan oleh Abu Bakrah Nufa’i ibn al-Harris ra, dia berkata “Rasulullah saw bersabda: Tidaklah akan aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar? Beliau mengulangi lagi pertanyaan tersebut tiga kali. Kemudian para sahabat mengiyakan. Lalu Rasulullah saw menyebutkan “yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada ibu bapak”. Kemudian beliau merubah posisi duduknya yang semula bersitelekan menjadi duduk biasa dan berkata lagi. Begitu juga perkatan dan sumpah palsu”. Beliau mengulangi lagi hal yang demikian hingga kami mengharapkan mudah-mudahan beliau tidak menambahnya lagi (HR. Muttafaqun Alaih).
  6. Rasulullah saw mengaitkan keridhaan dan kemarahan Allah swt dengan keridhaan dan kemarahan orang tua. Beliau bersabda: “Keridhaan rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan rabb (Allah) ada pada kemarahan orang tua” (HR. Tirmidzi)
Demikianlah Allah dan rasul-Nya menempatkan orang tua pada posisi yang sangat istimewa sehingga berbuat baik kepada keduanya menempati posisi yang sangat mulai, dan sebaliknya durhaka yang keduanya juga menempati posisi yang sangat hina. Hal demikian menurut hemat kita, mengingat jasa ibu bapak yang sangat besar sekali dalam proses reproduksi dan regenerasi umat manusia. Allah swt menciptakan manusia buat pertama kali (Nabi Adam as) dari tanah, dan menciptakan pasangannya (Hawa) dari tulang rusuk Adam, kemudian dari pertemuan. Begitulah seterusnya Allah swt menetapkan sunnnah-Nya tentang reproduksi dan regenerasi secara sah dan diridhai-Nya melalui hubungan suami istri antara seorang ibu dan bapak.
Bentuk-bentuk Birrul Walidain
Banyak cara bagi seorang anak untuk dapat mewujudkan birrul walidain tersebut, antara lain sebagai berikut:
  1. Mengikuti keinginan dan saran orang tua dalam berbagai  aspek kehidupan, baik masalah pendidikan, pekerjaan, jodoh maupun masalah lainnya. Tentu dengan satu catatan penting; selama keinginan dan saran-saran itu sesuai dengan ajaran Islam. Apabila bertentangan atau tidak sejalan dengan ajaran Islam, anak tidaklah punya kewajiban untuk mematuhinya. Bahkan harus menolaknya dengan cara yang baik, seraya berusaha meluruskannya. Hal demikian sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,… (QS. Luqman 31:15)
  2. Menghormati dan memuliakan kedua orang tua dengan penuh rasa terima kasih dan kasih sayang atas jasa-jasa keduanya yang tidak mungkin bisa dinilai dengan apapun. Ibu yang mengandung dengan susah payah dan penuh penderitaan. Ibu yang melahirkan, menyusui, mengasuh, merawat dan membesarkan. Bapak yang membanting tulang mencari nafkah untuk ibu dan anak-anaknya. Bapak yang menjadi pelindung untuk mendapatkan rasa aman. Allah swt berwasiat kepada kita untuk berterima kasih kepada ibu bapak sesudah bersyukur kepada-Nya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman 31:14)
  3. Membantu ibu bapak secara fisik dan materiil. Misalnya sebelum berkeluarga dan mampu berdiri sendiri anak-anak membantu orang tua (terutama Ibu) mengerjakan pekerjaan rumah; dan setelah bekeluarga atau berdiri sendiri membantu orang tua secara financial, baik untuk membeli pakaian, makanan, minuman, apalagi untuk berobat. Rasulullah saw menjelaskan bahwa betapapun banyak engkau mengeluarkan uang untuk membantu orang tuamu tidak sebanding dengan jasanya kepadamu: “Tidak dapat seorang anak membalas budi kebaikan ayahnya, kecuali jika mendapatkan ayahnya tertawan menjadi hamba sahaya, kemudian ditebus dan dimerdekakannya. (HR. Muslim).
  4. Mendoakan ibu bapak semoga diberi oleh Allah swt keampunan, rahmat dan nilai-nilai sebagainya. Allah swt menukilkan dalam Al-Qur’an doa nabi Nuh memintakan kemampuan untuk orang tuanya, dan perintah kepada setiap anak untuk memohonkan rahmat Allah bagi orang tuanya. Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan”. (QS.  Nuh: 71:28)
  5. Setelah orang tua meninggal dunia, birrul walidain masih bisa diteruskan dengan cara antara lain; Menyelenggarakan jenazahnya  dengan sebaik-baiknya; Melunasi hutang-hutangnya; Melaksanakan wasiatnya; Meneruskan silaturahmi yang dibinanya di waktu hidup; Memuliakan sahabat-sahabatnya dan Mendoakannya. Seorang laki-laki dari Bani Salimah datang bertanya kepada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, adakah sesuatu kebaikan yang masih dapat saya kerjakan untuk itu bapak saya sesudah keduanya meninggal dunia? Rasulullah menjawab” “Ada, yaitu; menshalatkan jenazahnya, memintakan ampun baginya, menunaikan janjinya, meneruskan silaturahminya dan memuliakan sahabat (HR. Abu Daud)”. Demikianlah beberapa bentuk dirrul walidain yang bisa kita lakukan terhadap kedua orang tua baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal dunia.
Uququl Walidain
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa Allah swt menempatkan perintah untuk birrul walidain langsung sesudah perintah untuk beribadah kepada-nya, maka sebaliknya Allah swt pun menempatkan uququl walidain sebagai dosa besar yang menempati ranking kedua sesudah syirik.
Uququl walidain artinya mendurhakai kedua orang tua. Istilah inipun berasal langsung dari Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadits.
Dosa-dosa besar adalah: mempersekutukan Allah, durhaka kepad kedua orang tua, membunuh orang dan sumpah palsu” (HR. Bukhari).
Durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah swt, sehingga azabnya disegerakan Allah di dunia ini. Hal itu dinyatakan oleh Rasulullah saw:
“Semua dosa-dosa diundurkan oleh Allah (azabnya) sampai waktu yang dikehendaki-Nya kecuali durhaka kepada kedua orang tua, maka sesungguhnya Allah menyegerakan (azabnya) untuk pelakunya di waktu hidup di dunia ini sebelum dia meninggal” (HR. Hakim).
Dalam hadis lain Rasulullah saw menjelaskan bahwa Allah swt tidak akan meridhai seseorang sebelum dia mendapatkan keridhan dari kedua orang tuanya:
Keridhaan rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan rabb (Allah) ada pada kemarahan orang tua (HR. Tirmidzi)
Hak, Kewajiban dan Kasih Sayang Suami Isteri
Salah satu tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk mencari ketentraman atau sakinah. Allah swt berfirman:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum 30:21).
Dalam ayat di atas Allah swt menjelaskan bahwa yang berperan membuat keluarga menjadi sakinah ada dua actor, pertama mawaddah, kedua rahmah. Dalam bahasa Indonesia padanan kedua kata itu adalah kasih actor sebagaimana terlihat dalam terjemahan ayat di atas. Tapi kalau ada yang bertanya apa beda antara kasih dan actor, mungkin tidak semua kita bisa dengan tepat dan cepat bisa menjelaskannya. Menurut hemat penulis-merujuk beberapa sumber-mawaddah, lahir dari sesuatu yang bersifat jasmani (kecantikan, kegagahan), sedangkan rahmah lahir dari sesuatu yang bersifat rohani (berhubungan batin). Dalam interaksi yang terjadi antara suami isteri, kedua factor itu berperan. Pada pasangan muda, yang laki-laki masih gagah dan yang wanita masih cantik, actor mawaddahlah yang dominan, sedangkan pada pasangan tua, tatkala yang laki-laki sudah tidak lagi gagah dan wanita tidak lagi canti, yang lebih dominan adalah actor rahmah. Kita tidak boleh mengabaikan salah satu dari dua actor tersebut. Idealnya memang kedua actor tersebut harus berjalan bersama-sama, tetapi kondisi itu tidak bisa dipertahankan terus, karena kondisi fisik tidak bisa dipertahankan terus menerus seperti waktu muda, dia akan tunduk kepada sunnatullah, yang muda akan tua, yang kencang akan keriput, yang hitam jadi putih dan seterusnya. Berbeda dengan hubungan batin, sikap saling menghormati dan saling menghargai tentu bisa dipertahankan terus sepanjang kehidupan.
Dalam konteks ini, penulis punya dugaan kuat bahwa yang dianggap oleh kawula muda sekarang ini dengan cinta tidak lebih dari mawaddah, sebab rasa cinta yang muncul lebih banyak disebabkan oleh actor fisik, bukan actor rohani.
Empat kriteria memilih pasangan hidup
Karena membina keluarga tidaklah hanya dengan modal cinta dalam pengertian mawaddah semata, sebagaimana sudah diuraikan di atas, tetapi haruslah berdasarkan mawaddah dan rahmah. Maka sekali lagi kita ingatkan perlu berhati-hati dalam memilih pasangan hidup. Ikutilah bimbingan yang diberikan oleh Rasulullah saw tentang kriteria apa yang dipakai oleh laki-laki dalam menentukan calon istri atau sebaliknya oleh seseorang wanita untuk menentukan menerima atau menolak lamaran yang masuk. Dalam salah satu hadis Rasulullah saw memberikan tuntunan.
“Seorang wanita dinikahi berdasarkan empat pertimbangan karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Peganglah yang memiliki agama niscaya kedua tanganmu tidak akan terlepas” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud)
Dimulai oleh Rasulullah saw  dengan menyebutkan tiga kriteria yang mengikuti kecenderungan atau naluri setiap orang yaitu tentang kekayaan, kecantikan dan keturunan, kemudian diakhiri dengan satu kriteria pokok yang tidak boleh ditawar-tawar yaitu agama. Buya Hamka mengumpamakan kekayaan, keturunan dan kecantikan masing-masing dengan angka nol, sedangkan agama dengan angka satu. Angka nol berapapun banyaknya tidak akan bernilai tanpa ada angka satu. Sebaliknya, sekalipun tidak ada angka nol, angka satu sudah memberikan nilai. Misalnya dapat wanita shalihah dan kaya nilainya 10. Shalihah, kaya dan keturunan baik-baik nlainya 100. Shalihah, kaya, keturunan baik-baik dan cantik nilainya 1000. Bila ada angka satu, angka-angka nol dibelakangnya jadi berharga. Tapi tanpa angka satu, semua angka nol- berapa buah pun berderet-deret tidak ada nilainya. Buya Hamka menanamkan teorinya ini dengan teori seribu.
Hak-hak Bersama Suami Isteri
Dalam hubungan suami isteri di samping hak masing-masing ada juga hak bersama yaitu (1) hak tamattu’ badani (menikmati hubungan sebadan dan segala kesenangan badani lainnya), (2) hak saling mewarisi, (3) hak nasab anak dan (4) hak muasyarah bi al ma’ruf (saling menyenang dan membahagiakan). Karena nomor 4 akan diuraikan tersendiri maka di bawah ini penulis uraikan secara ringkas tiga nomor pertama.
Hak tamattu badani
Salah satu hikmah perkawinan adalah pasangan suami isteri satu sama lain dapat saling menikmati hubungan seksual yang halal, bahkan berpahala. Islam memang mengakui bahwa setiap manusia normal membutuhkan penyaluran nafsu birahi terhadap lawan jenisnya. Islam tidak memerangi nafsu tersebut tetapi juga tidak membiarkannya lepas tanpa kendali. Islam mengatur penyalurannya secara halal dan baik melalui ikatan perkawinan.
Karena sifatnya hak bersama, tentu juga sekaligus menjadi kewajiban bersama. Artinya hubungan seksual bukanlah semata kewajiban suami kepada isteri, tetapi juga merupakan kewajiban isteri kepada suami. Suami tidak mengabaikan kewajiban ini sebagaimana isteri tidak boleh menolak keinginan suami.
Hak saling mewarisi
Hubungan saling mewarisi terjadi karena dua sebab; pertama, karena hubungan darah; kedua, karena hubungan perkawinan. Dalam hubungan perkawinan ini yang mendapat warisan lainnyalah pasangan suami isteri. Suami mewarisi isteri dan isteri mewarisi suami. Dalam surah An-Nisa  ayat 12 dijelaskan  bahwa suami mendapat ½ (setengah) dari harta warisan bila isteri tidak punya anak, dan ¼  bila isteri punya anak. Sebaliknya isteri dapat ¼ bila suami tidak punya ana, dan 1/8 bila suami punya anak.
Hubungan saling mewarisi hanya berlaku dalam perkawinan yang sah menurut syariat Islam dan sesama muslim. Bila perkawinannya tidak sah, atau salah seorang tidak muslim baik dari awal atau ditengah-tengah perkawinan maka haknya batal.
Hak nasab anak
Anak yang dilahirkan dalam hubungan perkawinan adalah anak berdua, waluapun secara formal Islam mengajarkan supaya anak dinisbahkan kepada bapaknya, sehingga seorang anak disebut Fulan ibn Fulan, atau Fulanah bintu Fulan, bukan fulan ibn Fulanah atau Fulanah ibnu Fulanah. Apapun yang terjadi kemudian (misalnya perceraian) status anak tetap anak berdua. Masing-masing tidak dapat mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut, walaupun pengendalian dapat memilih dengan siapa anak ikut. Perlu diingatkan di sini bahw penisbahan seorang anak kepada bapaknya secara formal tetap berlaku sekalipun bagi anak perempuan setelah menikah. Anak perempuan kalau sudah menikah tidak diajarkan oleh Islam untuk menisbahkan dirinya kepada suami sebagaimana yang menjadi tradisi sebagian masyarakat kita.

Kewajiban Suami Kepada Isteri
Hak isteri atau kewajiban suami kepada isteri ada empat; (1) membayar mahar, (2) memberikan nafkah (3) menggauli isteri dengan sebaik-baiknya (ihsan al-asyarah) dan (4) membimbing dan membina keagamaan isteri.
Mahar
Mahar adalah pemberian wajib dari suami untuk isteri. Suami tidak boleh memanfaatkannya kecuali seizing dan serela isteri. (QS. An-Nisa 4:20-21). Jumlah minimal dan maksimal mahar tidak ditentukan oleh syara’. Tergantung kemampuan suami dan kerelaan isteri. Yang penting ada nilainya. Bahkan boleh dengan sepasang sandal, atau mengajarkan beberapa ayat Al-Qur’an, atau masuk Islam, seperti yang pernah terjadi di zaman Rasulullah saw:
“Diriwayatkan dari Amir ibn Rabiah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah kawin dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah bertanya “Apakah engkau rela dari diri dan hartamu dengan sepasang sandal? Perempuan itu menjawab “Ya”. Lalu Rasulullah saw membolehkannya. (HR. Ahmad, ibn Majah dan Tirmidzi).
Nafkah
Nafkah adalah menyediakan segala keperluan isteri berupa makanan, minuman, pakaian, rumah, pembantu, obat-obatan dan lain-lain. Hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah 2:233)
Ihsan al-Asyarah
Ihsan al-Asyarah artinya bergaul dengan isteri dengan cara yang sebaik-baiknya. Teknisnya terserah kepada kiat masing-masing suami. Misalnya; membuat isteri gembira, tidak mencurigai isteri, menjaga rasa malu isteri, tidak membuka rahasia isteri pada orang lain, mengizinkannya mengunjungi orang tua dan familinya, membantu isteri apabila ia memerlukan bantuan sekalipun dalam tugas-tugas rumah tangga, menghormati harta miliknya pribadi dan lain-lain.
Ihsan al-Asyarah adalah suatu kewajiban berdasarkan firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.  (QS. An-Nisa 4:29)
Rasulullah saw sudah memberikan contoh teladan bagaimana bergaul dengan isteri dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu beliau menegaskan:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik akhlaknya. Dan yang paling baik di antara mereka ialah yang paling baik terhadap isterinya (HR. Ahmad).
Membimbing dan mendidik keagamaan isteri
Seorang suami bertanggung jawab di hadapan Allah terhadap isterinya karena dia adalah pemimpinnya. Setiap pemimpin harus mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Oleh karena itu menjadi kewajiban suami mengajar dan mendidik isterinya supaya menjadi seorang imraah shalihah. Dia harus mengajarkan hal-hal yang harus diketahui oleh seorang wanita tentang masalah agamanya terutama syariah, seperti masalah thaharah, wudhu, haidh, nifas, shalat, puasa dzikir, membaca Al-Qur’an, kewajiban wanita terhadap suami, anak-anak, orang tua, tetangga dan karib kerabat. Juga tentang cara berpakaian dan tata pergaulan yang islami serta hal-hal lainnya. Di samping mengajar, seorang suami mempunyai kewajiban membimbing isterinya mengamalkan ajaran Islam.
Jika seorang suami tidak mampu mengajarkannya sendiri, dia harus memberikan izin kepada isterinya untuk belajar di luar atau mendatangkan guru ke rumah atau minimalkan buku bacaan.
Kewajiban Isteri Kepada Suami
Hak suami atau kewajiban isteri kepada suami hanya dua; (1) patuh pada suami dan (2) bergaul dengan suami dengan sebaik-baiknya (ihsan al-asyarah)
Patuh pada suami
Seorang isteri wajib mematuhi suaminya selama tidak dibawah ke lembah kemaksiatan. Aisyah ra pernah bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang paling berhak dipatuhi oleh seorang isteri. Rasulullah  menjawab “suaminya” (HR. Hakim).
Dalam kesempatan lain lebih ditekankan lagi oleh Rasulullah saw:
“Kalau aku boleh memerintahkan seseorang  sujud kepada seseorang, tentu akan aku perintahkan seseorang isteri untuk sujud pada suaminya (HR. Tirmidzi)
Ihsan al-Asyarah
Ihsan al-Asyarah isteri terhadap suaminya antara lain dalam bentuk; menerima pemberian suami, lahir dan batin dengan rasa puas dan terima kasih, serta tidak menuntut hal-hal yang tidak mungkin, meladeni suami dengan sebaik-baiknya (makan, minum, pakaian dan sebagainya), memberikan perhatian pada suami sampai hal-hal yang kecil-kecil (misalnya kalau suami pergi kerja antarlah sampai ke pintu, kalau pulang jemputlah ke pintu, sehingga hati suami terpaut untuk selalu di rumah apabila tidak bertugas), menjaga penampilan supaya selalu rapi dan menarik, dan lain-lain sebagainya.
Demikianlah akhlak suami isteri yang pembahasannya kita fokuskan pada masalah hak dan kewajiban yang tentu saja tidak bisa terlepaskan dari aspek hukum.

0 Komentar